Press ESC to close

Di Pasar Tradisional Papringan Temanggung: Perokok dan Non-Perokok Bisa Sama-sama Enak, Tak Seperti di Malioboro

Melanjutkan cerita safari ke Kota Tembakau, di hari kedua pada Minggu, 27 April 2025, saya berkunjung ke Pasar Tradisional Papringan, Temanggung. Sebuah tempat yang seperti membawa kita kembali ke kehidupan masyarakat Jawa masa lampau.

Pasar Papringan berada di Dusun Ngadiprono, Desa Ngadimulyo, Kecamatan Kedu, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah. Ada banyak keunikan yang pasar tradisional ini tawarkan.

Mulai penentuan hari buka, makanannya, penampilan ragam seni-budayanya, dan kebijakan kawasan tanpa rokok.

Bagi yang ingin berkunjung, sangat penting untuk mengetahui jadwal buka pasar. Untuk jadwal bukanya bisa langsung cek ke media sosial Instagram: @pasarpapringan.

Sebab, pasar ini hanya buka pada Minggu Pon dan Wage (Kalender Jawa) dari pukul 06.00-12.00 WIB. Beruntungnya, ketika saya di Temanggung, ternyata bertepatan dengan Minggu Wage.

Selama safari di Temanggung dua hari itu, saya ditemani oleh Juru Bicara Komite Nasional Pelestarian Kretek (KNPK), Khoirul Atfifudin, yang merupakan orang asli Temanggung.

Di rumahnya lah saya menginap dan menumpang mandi. Berbincang banyak hal, khususnya mengenai industri hasil tembakau (IHT).

Mengubah kebun bambu yang identik dengan mistis menjadi asri

Dari penuturan Atfifudin, Pasar Papringan Temanggung  diinisiasi oleh alumni Institut Teknologi Bandung (ITB), Singgih Susilo Kartono, dengan menjadikan bambu sebagai ikon dari pasarnya Memanfaatkan kebun bambu rindang di dusun tersebut.

Itulah kenapa namanya “Papringan”, berasal dari kata “pring” yang berarti bambu.

Sebelum Pasar Papringan eksis, kebun bambu di dusun tersebut justru terabaikan dan dijadikan tempat buang sampah. Akibatnya, tempat itu menjadi kotor dan terkesan mistis.

Tetapi berkat Singgih Susilo Kartono, tempat itu disulap menjadi pasar dengan suasana asri.

Baca Juga:  Melihat Tata Niaga Tembakau di Temanggung
Suasana Pasar Papringan Temanggung Komunitas Kretek
Suasana Pasar Papringan Temanggung Komunitas Kretek

Pasar Papringan Temanggung sajikan tempo dulu di masa kini

Tidak hanya asri, seni-budaya Jawa juga bergeliat di sini. Sejak masuk, saya sudah disambut dengan alunan gamelan.

Semua penjualnya pun mengenakan pakaian tradisional, seperti lurik dan berkebaya lengkap dengan bawahan kain batik.

Kulinernya pun demikian. Setiap lapak menawarkan kuliner khas tradisional Jawa seperti ndas borok, bajingan, entho cotot, rodo kemul, cethil, dll.

Hari itu memang hari keberuntungan saya. Ketika di pasar, ternyata ada saudara Khoirul Atfifudin yang sedang membuka lapak makanan. Alhasil saya ditraktir makan di sana, heuheu.

Pasar Papringan Temanggung juga mengusung tema organik. Para penjual menyajikan makanannya tanpa menggunakan alat yang terbuat dari plastik. Mereka memakai anyaman bambu, anyaman rotan, batok kelapa, maupun daun pisang.

Itulah sebabnya, kalau kita membawa air minum dengan kemasan plastik, maka tidak boleh dibawa masuk.

Selain kuliner tradisional, ada juga lapak hasil tani berupa sayur dan buah, serta hasil kerajinan tangan. Rasanya benar-benar seperti kembali ke masa lampau.

Sistem jual beli di Pasar Papringan juga unik. Di sana, rupiah tidak berlaku (tentu bukan secara harfiah ya. Melainkan simbolik belaka).

Untuk jajan di sana, kita perlu menukar uang kita dengan “pring,” mata uang yang berlaku di Pasar Papringan. Satu pring setara dengan uang Rp2 ribu. Sementara satu dolar setara dengan Rp16.846,02.

Perokok dan yang nggak merokok sama-sama enak di Pasar Papringan Temanggung

Lama saya berkeliling di Pasar Papringan supaya bisa melihat banyak hal yang ada di sana. Sobat kretekus perlu tahu, di Pasar Papringan, banyak sekali larangan merokok yang terpampang di setiap sudut.

Baca Juga:  Tanaman Bisa Bicara dan Mendengar, Nilai Luhur dari Negeri Tembakau

Tapi tenang, di sini juga terpampang banyak area merokok di setiap sudut. Bahkan di salah satu sudut, area merokoknya terdapat lapak warung kopi.

Di tempat ini, cermin perokok santun sangat terasa. Tidak ada orang yang melanggar, barang satu orang pun. Tahu kenapa perokok di sana tertib? Karena area merokoknya layak!

Di sana tersedia asbak dari bambu dan tempat duduk untuk para pengunjung yang merokok. Ruang merokok di Pasar Papringan juga terbilang nyaman, meskipun sederhana.

Berbeda dengan area merokok di Malioboro, Yogyakarta. Dari penelusuran tim Komunitas Kretek, area merokok di Malioboro jauh dari kata layak. Justru malah mirip tempat yang merepresentasikan bahwa perokok perlu disingkirkan.

Dari sini kita tahu bahwa sejatinya ada jalan yang bisa saling membahagiakan bagi para perokok dan juga yang nggak merokok. Caranya simpel, yaitu memberikan area merokok yang layak.

Juru Bicara Komunitas Kretek, Rizky Benang

BACA JUGA: “Kota Tembakau” Temanggung di Ujung Tanduk, Petani Mulai Tinggalkan Tembakau karena Cukai Mencekik bikin Harga Menukik

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *