
Catatan Ekspedisi Emas Hijau Edisi Temanggung (Part 3)
Dari penuturan Pak Topo (petani sekaligus budayawan Temanggung), menjadi petani tembakau itu perlu ketelitian yang tinggi. Karena petani tidak hanya menanam lalu dibiarkan begitu saja.
Lebih jauh, menanam tembakau penuh dengan ritus budaya dan spiritual. Yang kemudian termanifestasi dalam tata laku kehidupan.
Kalender Jawa dalam sistem pertanian petani tembakau Temanggung
Sesuai janji, saya akan menjelaskan tentang budaya dan sistem pertanian yang dilakoni petani tembakau di Temanggung.
Secara turun-temurun, ritus menanam tembakau dilakukan dan menjadi prasyarat sebelum penanaman. Ditentukan dulu waktu terbaik melalui hitungan kalender Jawa, khususnya sistem kalender pertanian tradisional: Pranata Mangsa.
Pranata mangsa berasal dari kata Jawa: pranata (aturan) dan mangsa (musim). Digunakan untuk mengatur aktivitas pertanian berbasis pada pengamatan terhadap siklus alam, pergerakan matahari, dan fenomena lingkungan.
Sistem ini membantu petani menentukan waktu yang tepat untuk menanam, merawat, dan memanen tanaman sesuai kondisi musim.
Lebih spesifik lagi, Pak Topo juga menerangkan bahwa menanam tembakau juga dipadukan dengan perhitungan neptu (sistem numerik yang digunakan dalam budaya Jawa untuk menentukan hari baik).
Dalam tradisi Jawa, setiap hari dan pasaran memiliki makna simbolis yang terkait dengan bagian tanaman, seperti akar, batang, daun, bunga, dan buah. Karena dari tembakau yang diambil adalah daunnya, maka hari baik yang dipilih adalah hari yang bermakna daun.
Melawan dua hama
Akan tetapi, sistem tradisional tersebut juga dipengaruhi perubahan iklim. Karena perubahan iklim menyebabkan pergeseran pola musim yang tidak menentu.
Buruknya cuaca yang melanda akan mempengaruhi kualitas tembakau. Jika curah hujan tinggi pada saat tembakau sedang ditanam. Kemungkinan besar tembakau berkualitas tinggi tidak akan didapatkan. Karena tembakau yang bagus justru tumbuh di ladang yang kering.
Selain cuaca, petani tembakau juga harus berhadapan dengan hama. Baik itu hama dari institusi yang suka menaikkan cukai tanpa diskusi maupun hama dalam arti sesungguhnya.
Untuk melawan hama dari institusi, tentu petani kewalahan. Tetapi hama yang akan merusak tanaman, petani punya cara melawannya melalui tradisi yang dinamakan Lekasan.
Siti, wiji, wanci dan wahyu dalam proses menanam
Menanam tembakau di Temanggung tidak bisa dipisahkan dari aspek siti, wiji, wanci dan wahyu. Keseluruhan kegiatan tersebut dirangkum sebagai kegiatan Lekasan.
Kerap kali tradisi ini dianggap sebagai musyrik. Padahal, hal ini dilakukan sebagai langkah penangkal hama, melestarikan budaya, serta pendidikan karakter supaya senantiasa untuk bersedekah.
Dimulai dengan aspek siti berarti (tanah/lahan), petani tembakau di Temanggung mulai membajak lahan, memberi pupuk organik, menyiapkan drainase yang baik, serta memastikan lahan tersebut benar-benar terkena paparan sinar matahari.
Lalu wiji yang berarti benih. Dalam rangka menghasilkan tembakau berkualitas tinggi, maka petani memilih bibit unggulan bernama Kemloko. Varietas ini adalah bibit tembakau yang sudah diwariskan secara turun-temurun dari leluhur.
Kemudian wanci berarti waktu. Musim tanam tembakau di Temanggung biasanya dimulai pada awal musim kemarau (April-Mei) dan panen dilakukan sekitar Juli-Agustus, tergantung cuaca dan varietas tembakau.
Secara tradisi, penentuan waktu menanam juga merujuk perhitungan pranata mangsa (kalender pertanian tradisional) dan juga neptu (penentuan hari baik).
Terakhir, wahyu yang berarti petunjuk Ilahi. Dari penuturan Pak Sangit dan Pak Topo, tembakau berkualitas tinggi tidak hanya dihasilkan dari kerja keras, tetapi juga restu Ilahi.
Ritual Among Tebal petani tembakau Temanggung
Setelah aspek siti, wiji, wanci dan wahyu terpenuhi. Maka dilakukanlah ritual Among Tebal. Ritual ini merupakan bagian dari tradisi masyarakat tani dalam mengawali masa musim tanam tembakau.
Dalam ritual Among Tebal tersebut petani mengenakan pakaian tradisional dan membawa nasi tumpeng, ingkung ayam, jajan pasar, dan berbagai makanan tradisional.
Ritual tersebut menandakan penanaman bibit tembakau secara simbolis. Sebagai bentuk penghormatan kepada Dewi Sri (dewi padi dan bumi) dan Ki Ageng Makukuhan, ia merupakan murid Sunan Kudus dan Sunan Kalijaga, yang diyakini sebagai pembawa tembakau pertama kalinya ke daerah ini.
Dalam tradisi Lekasan, di bagian ritual Among Tebal inilah kerap kali petani dianggap musyrik. Padahal dalam ritual tersebut, makanan yang disajikan juga dimakan bersama oleh petani. Dalam ritual tersebut pun juga dilakukan doa dan zikir. Karena hakikatnya kembali kepada Ilahi.
Selain itu, karena tradisi Lekasan pula lah, para petani tembakau di Temanggung bisa tahu lahan yang mereka garap ada hama atau tidak, benih yang ditanam sehat atau tidak. Karena dengan tradisi ini tidak hanya soal unsur budaya maupun spiritual, tapi juga tentang sistem pertanian.
Dari tradisi turun-temurun inilah yang membentuk karakter masyarakat untuk senantiasa bersedekah. Bukan sebagai formalitas, melainkan sedekah dalam arti memberikan yang terbaik untuk alam semesta sebagai bagian dari diri manusia itu sendiri sekaligus sebagai bentuk bersyukur kepada Ilahi.
Juru Bicara Komunitas Kretek, Rizky Benang
BACA JUGA: Tembakau Itu Ora Margi Neng Dayani, Tidak Mengenyangkan Tapi Memberikan Kekuatan
Leave a Reply