Press ESC to close

Perokok di Malioboro Jogja: Sudah Tak Dikasih Area Merokok Layak, Eh Malah Kena Denda Rp7,5 Juta

Merokok di Malioboro, Jogja, terancam denda hingga Rp7,5 juta. Padahal akar masalahnya bukan pada perokoknya.

***

Apapun kebijakan yang pemerintah terapkan perlu memakai prinsip keadilan dan kesetaraan. Apalagi jika itu menyangkut hal legal dalam Undang-Undang, seperti merokok.

Pemerintah banyak mengeluarkan kebijakan, regulasi dan narasi yang memojokkan Industri Hasil Tembakau (IHT), sepaket dengan perokok. Sektor yang pemerintah nikmati hasilnya, tapi habis manis sepahnya dibuang begitu saja.

Selalu saja ada aturan dan wacana nyeleneh yang terlontar dari para pejabat pemerintah. Bukan hanya satu-dua juga, tapi ada sangat banyak.

Komunitas Kretek sudah sangat banyak mengungkap bagaimana pemerintah bekerja. Terutama dalam konteks IHT. Semuanya sama sekali tak mengedepankan azas keadlilan dan kesetaraan.

Masih Hangat Wacana BPJS Tak Tanggung Penyakit akibat Rokok

Sebelum isu merokok di Malioboro, Jogja, kena denda Rp7,5 juta, sudah ada kabar yang seolah menghilangkan hak perokok dalam konteks layanan kesehatan: BPJS tak akan menanggung penyakit akibat rokok.

Komunitas Kretek sudah merespons wacana tersebut dalam tulisan, “Penyakit akibat Rokok Tidak Ditanggung BPJS Kesehatan”.

Wacana yang tentu sangat tidak adil. Pertama, mendapat layanan kesehatan adalah hak semua warga Indonesia. Kedua, perokok kan juga bayar iuran BPJS. Tapi kok malah terancam tidak dilayani.

Merokok di Malioboro Jogja Masuk Pidana

Tidak selesai di situ, pemerintah kembali memberlakukan aturan yang tidak memakai prinsip keadilan dan kesetaraan. Dalam hal ini adalah Pemerintah Kota (Pemkot) Yogyakarta.

Wujudnya, Satpol PP Kota Yogyakarta memberlakukan sanksi yustisi berupa sanksi tindak pidana ringan (tipiring) pada pelanggar aturan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di Malioboro, Jogja, mulai 2025.

Baca Juga:  Apakah Benar Rokok Mild dan Kretek Berperisa Picu Bertambahnya Angka Perokok?

Denda sebesar Rp7,5 juta itu terlihat sebagai upaya memalak belaka. Bagaimana tidak. Dalam PP Nomor 28 Tahun 2024 Pasal 443 mengenai Kawasan Tanpa Rokok, tidak tertuang satu pun kalimat yang menyinggung soal denda.

KTR di Malioboro Jogja Tidak Manusiawi

Seperti termaktub dalam UU Kesehatan No.36/2009 Pasal 115 ayat 2, destinasi wisata seperti Malioboro, Jogja, termasuk yang terikat dalam Perda KTR. Merujuk amanat konstitusi, kawasan tanpa rokok sedianya wajib menyediakan ruang khusus merokok.

Memang pihak Pemkot Jogja sudah menetapkan lima titik ruang merokok yang menjadi fasilitas pendukung terlaksananya aturan KTR. Akan tetapi sialnya, ruang merokok di Malioboro, Jogja, yang Pemkot Jogja sediakan tidak semuanya memenuhi azas keadilan dan kesetaraan. Bahkan terkesan tidak manusiawi. Justru lebih terkesan mengucilkan perokok.

Contohnya, area merokok yang ada di samping Ramayana, yang dibuat alakadarnya saja, tanpa atap pelindung. Hanya ada bangku besi dan plang bertuliskan Area Merokok. Posisinya di pojok parkiran motor.

Sementara di Pasar Bringharjo, posisi area merokoknya ada di area parkiran lantai tiga. Itu pun di gedung belakang. Jika kita masuk dari pintu utama, tak ada satu pun tanda arah atau petunjuk yang menginformasikan keberadaan area tersebut.

Lebih-lebih lagi, area merokok di Pasar Bringharjo itu sungguh sangat tidak nyaman karena sirkulasi udaranya kurang bagus, jadi terasa hareudang (gerah).

Di titik lainnya, persisnya di zona parkiran Abu Bakar Ali, letak area merokok bersebelahan dengan toilet umum. Ketika merokok di sana sungguh sangat tidak nyaman karena bercampur dengan aroma pesing dan tinja. Jika tidak percaya, silakan survei sendiri.

Baca Juga:  Masyarakat Marah Pada KPAI Bukan Karena Rokok, Tapi Karena Persoalan Masa Depan Bulu Tangkis Indonesia

Selesaikan Dulu Akar Masalahnya

Jika Pemkot Jogja mau serius menerapkan KTR, terutama di Malioboro, Jogja, maka kebijakan yang keluar justru bukan sanksi denda dengan angka segila itu. Melainka, berikanlah kelayakan ruang merokok. Toh itu aktivitas legal.

Saya akan memberikan analogi yang mudah dipahami. Saya ambil contoh di Singapura. Warga sana terbilang taat sekali mematuhi aturan tidak buang sampah sembarangan,  berkendara dengan tidak ugal-ugalan, termasuk juga taat merokok pada tempatnya.

Hal itu terjadi karena di Singapura fasilitasnya sudah sangat memadai. Aturan pemilahan sampah dan tempat membuang sampah terintegrasi dengan baik, begitu pula transportasi umumnya. Dampak dari fasilitas yang baik itu menciptakan perilaku yang baik juga.

Dalam konteks perokok di Malioboro, Jogja, maka pemerintah tidak bisa serta merta memberikan sanksi begitu saja. Sebab, sudahkah pemerintah memberi kelayakan ruang merokok?

Jika belum, maka tidak sepatutnya memberikan denda jutaan rupiah. Apalagi sampai mempermalukan perokok di Malioboro, Jogja, dengan memajang foto mereka.

Juru Bicara Komunitas Kretek, Rizky Benang

BACA JUGA: “Merokok Mempercepat Kematian,” Ucap Orang yang Tak Mampu Berpikir Jauh dan Adil

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *