Press ESC to close

Sebungkus Rokok Enak untuk Kakek, Temani Menikmati Masa Tuanya

Saya akhirnya kerap menemani kakek menghisap rokok  kretek. Sesekali juga membelikannya. Itu menjadi upaya menikmati kebahagiaan atas hal-hal sederhana bersamanya di usianya yang kian menua.

Umur kakek saya sekarang sudah menginjak 74 tahun. Sedari kecil, saya tidak banyak menghabiskan waktu dengannya. Bukan karena tidak dekat, tapi sejak SMP sampai kuliah saya sudah merantau.

Maka ketika ada momen pulang, saya sering menyempatkan waktu untuk ngopi bareng, lalu menyalakan kretek, sambil bercerita tentang kehidupan.

Kakek saya termasuk perokok yang kalau di tongkrongan disebut mulut asbak. Alias berbagai jenis rokok ia hisap. Syaratnya cuma satu, asal enak. Indikator enaknya sederhana, rasanya tidak hambar, serta sensasi pahitnya tidak berlebih.

Masih segar dalam ingatan saya, dulu sering mencuri rokok milik kakek yang beragam. Sebut saja, LA Bold, Djarum Super, Surya, Garpit, Sampoerna, Class Mild dan masih banyak lagi.

Dulu rokok mahal, sekarang kadang ilegal

Kakek saya seorang pekerja keras. Ia seorang pedagang. Jualan pakaian, buah-buahan, warung kelontongan, pokoknya berbagai jenis jualan pernah ia lakoni. Bahkan hingga sekarang ia masih bekerja dengan membuka depot isi ulang air galon dan pom mini.

Kakek bilang, ia tidak mau menganggur, ingin mempunyai aktivitas, dan tentunya ingin mandiri dari hasil keringatnya sendiri tanpa merepotkan anak-anaknya.

Dari kerja kerasnya, ia setidaknya bisa menikmati hiburan dengan membeli rokok-rokok enak, khususnya sigaret kretek mesin (SKM). Namun, semenjak kenaikan cukai yang melambung tinggi, hingga rokok enak menjadi mahal, kakek sudah tak sanggup membeli rokok mahal lagi.

Saya menyadari itu ketika ngopi bareng dan melihat rokok yang kakek  hisap merknya asing. Setelah saya amati, ternyata  rokok ilegal.

Kakek saya bilang, rasanya enak, harganya murah, isinya 20 batang. Kakek saya membeli rokok ini atas rekomendasi penjual warung.

Pantas saja ketika ngebul bareng kakek sering bertanya, “Rokok apa yang sekarang kamu hisap, dan berapa harganya?”

Baca Juga:  Perdebatan Tentang Rokok Paling Enak

Saya pun ceritakan bahwa harga rokok-rokok enak memang sudah melambung tinggi. Ia pun bertanya bagaimana cara saya mengelola keuangan supaya tetap bisa ngebul.

Jawaban saya sederhana, rokok mahal saya beli hanya untuk self reward. Awalnya, saya pikir ia mau menceramahi saya untuk berhenti merokok di tengah kenaikan harga. Ternyata kakek hanya kangen dengan rokok-rokok enak yang sekarang sudah mahal.

“Orang-orang yang nggak merokok suka bilang untuk berhenti, uangnya mending ditabung daripada dipakai beli rokok. Tapi sampai sekarang, orang yang bicara begitu tetap saja miskin dan tidak kaya” ucap kakek saya sambil tertawa.

Perlu diketahui, kakek saya itu bukan perokok “kereta”, alias perokok kencang. Satu bungkus rokok mungkin bisa habis dua hari, Mentok tiga hari. Kendati demikian, kenaikan cukai rokok sudah tidak sebanding dengan penghasilan kakek. Kakek juga tidak memaksakan. Membeli rokok murah asal enak, baginya sudah cukup.

Berbagi rokok dengan kakek

Ketika ngopi bareng kakek, saya sering menawarkan berbagai rokok terbaru yang saya beli. Dari yang murah hingga yang mahal. Merokok bersamanya menjadi ajang review rasa.

Sembari ia menanyakan bagaimana kehidupan saya di rantau, bertanya tentang siapa perempuan saya, kerjaan saya dan masih banyak lagi.

Sebetulnya, ayah saya juga sering membelikan rokok untuk kakek saya. Cuma bedanya ayah saya bukan perokok. Makanya jarang terlibat percakapan ketika ngebul bareng.

Kalau saya sedang di rumah, waktu ngebul bareng kakek itu sudah pasti. Misal setelah makan, setelah salat, dan di malam hari.

Dari pertemuan terakhir ngebul bareng kakek, ia juga masih bercerita bahwa memang sudah tidak pernah beli rokok mahal lagi. Sebelum pamitan pergi ke tempat rantau lagi, saya menyempatkan untuk membeli rokok enak buat kakek.

Baca Juga:  Rokok Kesehatan, Antara Mitos dan Fakta

Sebetulnya ia menolak, ia merasa tidak enak jika diberi satu bungkus, kakek cuma ingin menyomot saja ketika ngebul bareng, bukan diberi.

Namun, tetap saya paksa supaya pemberian rokok saya diterima. Senyuman tampak terpancar di mukanya. Saya pun ikut senang melihatnya.

Usia senja, masih sehat sentosa

Di tengah usia senjanya, kakek saya jarang sakit. Satu-satunya yang mengganggu kesehatannya sekarang, yakni sakit lambung karena kebanyakan minum kopi.

Pernah ia memaksakan diri tetap menyeruput kopi, dampaknya ternyata ia malah batuk darah.

Sebagai orang yang suka ngopi, ia pun memilih untuk mengurangi. Uniknya, ketika konsultasi ke dokter, kakek saya tidak disuruh berhenti merokok, melainkan mengurangi kopi.

Akhirnya untuk menemani kakek ngebul, ia membuat teh yang lebih ramah di lambung. Dan terbukti, kakek saya sehat-sehat saja, tidak pernah batuk darah lagi seperti ketika ia memaksakan banyak minum kopi.

Sampai hari ini, kakek saya masih sehat, bekerja, dan ngebul dengan asyik. Sayang, saya tidak bisa selalu menemani karena bekerja di luar kota. Mungkin nanti ketika pulang, saya akan bawakan rokok-rokok enak untuk kami hisap bersama.

Juru Bicara Komunitas Kretej, Rizky Benang

BACA JUGA: Merek dan Harga Rokok Jadi Gambaran Kondisi Anak untuk Ibunya, Baik-baik Saja atau dalam Kesulitan

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *