Press ESC to close

Merek dan Harga Rokok Jadi Gambaran Kondisi Anak untuk Ibunya, Baik-baik Saja atau dalam Kesulitan

Sepengalaman saya, jenis rokok yang saya hisap ternyata jadi gamabaran apakah saya dalam kondisi baik-baik saja di perantauan atau tidak.

Hampir sepuluh tahun saya merantau. Dari Surabaya hingga Jogja. Tiap pulang, ibu selalu suka mencomot bungkus rokok yang saya geletakkan di sebelah saya saat kami duduk berdua.

“Ini rokok apa? Harganya berapa?” Ibu selalu bertanya demikian.

Awalnya saya pikir, ibu menyayangkan uang yang saya belikan rokok. Barangkali akan lebih baik jika untuk membeli camilan atau makanan. Biar saya gemuk. Meski ibu tahu belaka, sekalipun makan saya banyak, tapi nyatanya tak menggemuk juga.

Seiring waktu saya pun tahu. Ternyata alasan ibu selalu bertanya merek dan harga rokok yang saya hisap adalah untuk memastikan, apakah keadaan saya cukup baik di perantauan?

Rokok mahal gamabaran hidup sedang baik-baik saja

Semasa masih di Surabaya—kerja dengan gaji pas-pasan—saya lebih sering pulang dengan membawa rokok-rokok tidak jelas. Kadang rokok murahan, lintingan, bahkan rokok ilegal berharga Rp8 ribuan.

Lalu kini, seusai mendapat pekerjaan lebih layak di Jogja, saya lebih sering merokok WIN Filter seharga Rp28 ribuan. Sesekali bahkan Djarum MLD Fresh Cola seharga Rp30 ribuan.

Baca Juga:  Kudus, Kota yang Hidup Bersama Kretek

“Rokokmu sekarang makin mahal. Alhamdulillah,” kata ibu suatu kali.

Lalu baru saya tahu kemudian. Ternyata jika tahu rokok yang saya hisap tidak jelas, ibu sering khawatir kalau saya sedang dalam kondisi jatuh-bangun di perantauan. Sampai beli rokok pun harus yang paling murah.

Sementara ketika sekarang rokok saya berganti lebih jelas, ibu merasa kondisi saya membaik. Itu membuatnya tenang sekaligus bersyukur.

Alhasil, karena tidak ingin membebani pikiran ibu, kalau saya pulang saya akan beli rokok yang lebih enak. Sekadar untuk menggambarkan bahwa anaknya dalam kondisi baik. Kendati ketika di perantauan, sedianya saya tidak dalam keadaan baik hingga perkara rokok pun harus mencari yang semurah mungkin.

Berbagi dengan pakde dan simbah

Gambaran lain adalah kemampuan saya untuk berbagi dengan pakde dan simbah. Orang yang sering saya kunjungi tiap pulang kampung.

Dulu, saya teramat jarang membelikan rokok untuk mereka. Sebenarnya bukan keharusan. Tapi saya saja yang pengin berbagi. Apalagi mereka juga tak selalu bisa membeli rokok.

Jika saya kedapatan bisa berbagi rokok dengan mereka—atau salah satu dari mereka—ibu menyimpulkan, saya sedang punya rezeki sedikit lebih. Itu membuatnya tenang.

Baca Juga:  Berikut Cara Membuat Asbak Dari Bungkus Rokok

Tapi kalau tidak, balik di subbab sebelumnya: apakah rokok yang saya hisap murahan? Kalau iya, ibu akan menghampiri saya untuk menawarkan bantuan. Barangkali saya dalam kesulitan keuangan.

Tapi seorang anak seringkali tidak mau melibatkan orangtuanya dalam kesulitan yang anak hadapi. Alhasil, seorang anak memilih jalan kamuflase: menjadi sultan di rumah sendiri, meski saat kembali ke tanah rantau harus menjadi “gembel” lagi.

Penulis: Muchamad Aly Reza

Editor: Komunitas Kretek

BACA JUGA: Rekomendasi Rokok Enak dari Harga Rp10.000 sampai Rp50.000 Versi Komunitas Kretek

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *