Press ESC to close

Film, Rokok, dan Realitas Sosial

Diskusi di kelas daring itu tiba-tiba mengarah pada satu pertanyaan: Mengapa adegan seksualitas dalam film ditayangkan dengan cara yang sinematik? Sang dosen langsung menjawab dengan jawaban yang tenang dan ia kuasai. Seks dan seksualitas adalah kodrat manusia, anugerah yang diberi oleh tuhan sejak lahir. Seksualitas sama seperti makan, minum, mandi, dan buang air. Maka penggambaran adegan yang sifatnya sangat manusia sekali itu digambarkan dengan sinematik.

Dalam kehidupan nyata, kodrat manusia itu sangat biasa bahkan dalam tahap praktiknya juga dilakukan dengan (kadang) di luar akal pikiran. Tapi di film, semuanya dibuat berbeda. Karena film juga merayakan diri kemerdakan manusia dari hal yang dianggap paling sederhana.

Jawaban sang dosen membuat saya cukup tercengang dan sejenak berpikir. Film yang saya tonton memang punya banyak adegan sinematis di dalamnya. Tentu pengambilan gambar secara sinematik menjadi satu standar apakah karya tersebut dibilang bagus atau tidak. Ada variable lain yang tidak bisa kita singkirikan. Seperti dialog, plot twist, konflik, dan yang lainnya. Tapi unsur sinematik ini yang cukup menarik perhatian saya. Tidak mungkin seluruh adegan dibuat sedramatis mungkin. Sangat melelahkan dan memakan biaya produksi yang juga mungkin tinggi. Tak setiap sutradara juga siap untuk melakukan hal itu.

Maka ringkasnya, dipilihlah beberapa adegan yang dianggap bisa diambil gambarnya sesinematik mungkin. Saya belum menemukan rumusan pasti adegan mana yang akan dibuat demikian oleh sang sutradara. Tapi perlahan-lahan polanya bisa ditemukan. Tentu kita butuh waktu yang cukup banyak untuk menyaksikan banyak film agar bisa menemukan pola-pola tersebut. Tapi setidaknya asumsi saya begini, seringkali adegan saat bersenggama, mandi, dan kontemplasi dalam film dibuat sinematik. Bahkan juga saat merokok, seringkali dibuat adegan dengan pengambilan gambar yang memukau. Jika menggunakan kacamata semiotika, maka merokok pun sebenarnya hal yang sangat manusiawi sekali.

Baca Juga:  Rokok Unik dan Ancaman Kebangkrutan

Sebuah film dibangun dengan dasar kerangka pemikir sang pembuat. Tentu kita sama-sama tahu bahwa kerangka berfikir seseorang dibangun juga dengan kondisi sosial di lingkungan sang pembuat. Konklusinya adalah, film dibuat juga dari realitas sosial. Saya kira ini tak bisa terbantahkan. Bolehlah dalam kehidupan nyata rokok menjadi satu barang yang diperdebatkan dari sisi manapun. Namun, kepercayaan saya menuntun bahwa rokok bukan satu yang menyeramkan. Kehadirannya legal meski diatur dalam undang-undang perihal konsumsinya.

Banyak sekali film-film yang menampilkan adegan merokok di dalamnya. Ibarat seorang anak remaja yang baru puber-pubernya, saya begitu mendambakan film-film karya Wong Kar Wai. Seolah-oleh karena pubertas itu, saya menganggap bahwa film-film Wong Kar Wai adalah film dengan cita rasa yang tinggi karena penuh dengan adegan sinematik didalamnya, termasuk adegan merokok. Coba tengok film besutan Wong Kar Wai, misalnya Chungking Expess, Im In The Mood For Love, dan Fallen Angel, As Tears Go By, niscaya anda akan terkagum-kagum bagaimana cerdasnya seorang Wong Kar Wai membingkai adegan merokok dalam sebuah film.

Baca Juga:  Analisis Konflik Maia vs Mulan Soal Merokok

Saya kira banyak film yang memperlakukan adegan merokok dengan cara serupa seperti yang Wong Kar Wai lakukan. Kembali pada jawaban sang dosen, adegan sinematik dibuat untuk kegiatan yang sangat manusia sekali. Begitu juga dengan merokok. Maka sebenarnya agak aneh jika harus menghilangkan adegan rokok dalam sebuah sinema. Ini sama saja menghilangkan salah satu unsur yang sangat dekat dengan manusia. Jika sang sutradara ingin menarasikan rokok itu buruk ya silahkan dibuat dengan adegan yang diinginkan. Jika menghapusnya sama saja dengan menghilangkan satu unsur dalam realitas sosial.

Bagaimana pun film sebagai seni bisa dibilang sebagai bentuk merayakan kebebasan. Kritik dibalas kritik, karya dibalas karya. Penghapusan unsur merokok adalah bentuk yang kontradiktif. Apakah kemudian seni pada akhirnya juga harus terhegemoni oleh kelompok antirokok? Jangan sampai. Jika iya dan membiarkannya maka betapa sangat tidak menariknya seni di masa yang akan dating.

Indi Hikami

Indi Hikami

TInggal di pinggiran Jakarta