Press ESC to close

Penghasilan Rp20 Ribu Tak Dianggap Miskin: Bukti Negara Miskinkan Rakyatnya, Lucunya Tuduh Rokok Jadi Penyebabnya

Ironisnya hidup di Indonesia. Penghasilan Rp20 ribu per hari sudah masuk dalam kategori tidak miskin.

***

Kita tidak bisa memilih terlahir dari rahim siapa. Kalau bisa berandai, semua orang pasti berharap terlahir dari rahim orang tua yang kaya. Jika ada yang bilang ingin terlahir dari keluarga miskin.

Akan tetapi, terlahir dari keluarga miskin asal itu di negara maju rasa-rasanya masih mendingan. Misalnya daratan Skandinavia, khususnya Swedia.

Terlahir miskin di Swedia, kesejahteraan kita orang miskin setidaknya cukup terjamin karena adanya kebijakan ekonomi progresif dan inklusif: seperti pendidikan gratis, hingga perawatan kesehatan dan tunjangan pengangguran.

Selain itu, Swedia juga menyediakan akses pelatihan kerja sekaligus menjamin penempatan kerjanya. Bahkan pemerintahnya juga mengantisipasi jika seseorang kehilangan pekerjaan: dilatih ulang untuk mendapatkan pekerjaan baru.

Semua itu bisa terjadi karena Swedia menerapkan pajak progresif yang tinggi bagi individu dan perusahaan yang berpenghasilan tinggi. Mereka menerapkan prinsip membesarkan yang kecil tanpa mengecilkan yang besar.

Sialnya, kita terlahir di Indonesia. Menjadi orang miskin di negara ini, jangan harap mendapat jaminan kesejahteraan sebagaimana. Nalar pemerintah kita, sepertinya tak akan sampai pada titik nalar pemerintah Swedia. Jauh sekali.

Memang secara Undang-Undang (UU) orang miskin itu dipelihara oleh negara! Iya dipelihara kemiskinannya. Tetapi tenang dulu, pemerintah sudah berusaha untuk menghapus angka kemiskinan kok.

Di Indonesia, penghasilan Rp20 ribu per hari tidak termasuk miskin

Badan Pusat Statistik (BPS) menetapkan garis kemiskinan per September 2024 sebesar Rp595.242 per kapita per bulan. Angka ini mencerminkan jumlah pengeluaran minimum yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan dasar.

Baca Juga:  Tembakau Penyelamat Muka dan Polusi Kendaraan di Jakarta

Dengan penghitungan tersebut, seseorang masuk kategori tidak miskin jika pengeluarannya setara dengan Rp148.750 per minggu atau Rp21.250 per hari.

BPS juga menyatakan bahwa tingkat kemiskinan yang tercatat dalam Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) periode September 2024, yakni sebesar 8,57%, merupakan tingkat terendah sepanjang sejarah.

Jika berpatokan pada laman informasi harga pangan Kota Yogyakarta, harga 1 kilogram beras jenis IR. (64) senilai Rp12.800, Minyakita 1 liter Rp17.000, telur 1 kilogram Rp27.000,  Daging Ayam Ras Karkas 1 kilogram Rp35.000.

Sialnya, hidup kan tidak hanya soal makan. Ada biaya listrik, transportasi/bensin, dan situasi darurat. Belum lagi kenaikan harga bahan pokok, kebutuhan mendesak, dan lain-lain.

Realita hidup tidak seindah seperti turunnya angka kemiskinan dengan patokan uang senilai Rp595.242 per bulan.

Data BPS sungguh menghina kewarasan. Bagaimana bisa mengatasi kemiskinan hanya dengan mengganti standarisasinya. Cethek sekali.

Menyalahkan Rokok sebagai Penyebab Jatuh Miskin

Lucunya lagi, pemerintah justru menyalahkan rokok sebagai penyebab kemiskinan. Padahal dari fakta di atas saja, kemiskinan di Indonesia sejatinya bersifat struktural.

Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyebut,  berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2021, persentase pengeluaran per kapita masyarakat di perkotaan untuk rokok kretek filter sebesar 11,30%, sedangkan untuk telur ayam ras hanya 4,30%

Baca Juga:  Surat Cinta Untuk Mikha Tambayong si Duta Jantung

Dipertebal dengan pernyataan Kepala BPS Sumatera Selatan, M Wahyu Yulianto yang menyebut, “Penduduk miskin ini banyak mengonsumsi rokok. Rokok menjadi pengeluaran penduduk miskin yang cukup signifikan, mencapai 20% setiap bulannya. Bayangkan dari pengeluaran Rp560 ribu per kapita, hampir 20% atau Rp100 ribunya untuk membeli rokok.”

Pernyataan yang Mengada-ada

Pernyataan dua lembaga tersebut mengada-ada belaka.

Pertama, penduduk miskin yang Wahyu sebut ternyata pendapatannya hanya berbeda Rp35 ribu dari standar yang BPS gunakan, yakni Rp595.242.

Kedua, merokok tidak merokok, hanya menghemat Rp100 ribu juga tidak akan membuat orang miskin sejahtera. Tetapi kenapa pemerintah bersikeras menyalahkan rokok sebagai penyebab kemiskinan?

Susah memang menjadi orang miskin di Indonesia. Alih-alih mendapat jaminan kesejahteraan–sebagaimana di Sewdia–eh malah disalah-salahkan.

Juru Bicara Komunitas Kretek, Rizky Benang

BACA JUGA: Hikayat Seorang Perempuan yang Merokok untuk Menolak Praktik Poligami

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *