
Lewat jualan rokok, seorang perempuan yang juga merokok melakukan perlawanan terhadap praktik poligami. Itulah sosok Rara Mendut yang cukup melegenda.
***
Saya tidak meminta atau bahkan menyuruh perempuan merokok! Tapi saya mengesalkan masyarakat kita yang masih diskriminatif terhadap perempuan yang merokok. Tidak merokok saja sudah banyak hal yang mengekang perempuan.
Sebagian masyarakat masih menganggap bahwa perempuan yang merokok itu liar, nakal, berandal, tidak bermoral, bahkan dibilang lonte. Bukankah itu sudah sangat berlebihan?
Perempuan merokok juga kerap dikaitkan dengan keimanannya dengan ungkapan, “Pakai hijab kok merokok.” Tidak ada hubungannya sama sekali antara hijab dan rokok.
Ini bukan soal sekadar membela perokok, melainkan jauh lebih dari itu, ada kecacatan logika dan sikap diskriminatif dalam cara pandang kebanyakan masyarakat kita. Fakta yang menyedihkan yang bisa kita lihat sehari-hari di lingkungan sekitar.
Ada kutipan yang sering disebut oleh Rocky Gerung ketika berargumen, dan saya rasa ini sangat cocok untuk orang-orang yang suka melabeli perokok sama dengan tidak bermoral atau nakal dan perilaku amoral lainnya, yaitu logical fallacy.
Memangnya apa hubungannya moral dengan merokok? Tidak ada. Merokok ya merokok, menurut KBBI saja, perokok artinya orang yang suka merokok. Tidak ada satupun kata yang menyinggung moral. Justru sejarah mengatakan rokok bagi perempuan adalah perlawanan.
Rara Mendut, Perempuan Merokok yang Menolak Poligami
Pada zaman Kerajaan Mataram Islam, ada sosok perempuan jelita bernama Rara Mendut. Nasibnya nahas. Sebab, dia dijadikan hadiah perang oleh Sultan Agung kepada Tumenggung Wiraguna, karena keberhasilannya menumpas pemberontakan Pati pada tahun 1627.
Tetapi Rara Mendut bukannya pasrah begitu saja. Di hadapan Nyai Ageng, sang istri Tumenggung Wiraguna, Rara Mendut menolak tegas jadi istri poligami. Dia bahkan menjelek-jelekkan perwira Mataram itu tanpa tedeng aling-aling dihadapan Nyai Ageng.
Hasil lamaran yang berbuah makian ini Nyai Ageng sampaikan apa adanya kepada Sang Tumenggung, yang sontak langsung kebakaran jenggot.
Dengan amarah yang menggelora dalam dada, Tumenggung Wiraguna menjatuhkan hukuman bagi Rara Mendut. Temunggung Wiraguna mewajibkan perempuan jelita itu membayar pajak tiga real sehari. Kalau tidak sanggup, Rara Mendut harus bersedia kawin menjadi istri muda Wiraguna yang sudah tua.
Rara Mendut: Perempuan Merokok untuk Melawan Feodalisme
Tantangan yang Tumenggung Wiraguna bebankan tidak membuat Rara Mendut gentar. Alih-alih menyerah, Rara Mendut justru mengajukan banding kepada Sang Tumenggung.
Rara Mendut menerima tentangan dari Tumenggung demi menghindari menikah, asal Tumenggung juga membekalinya modal untuk berdagang.
Kepada Nyai Ageng, Rara Mendut hanya meminta bekal senilai tiga real. Dan bekal inilah yang kelak akan Rara Mendut gunakan untuk berjualan rokok panjang berikat benang sutera.
Sang Tumenggung merasa tertantang dengan banding yang Rara Mendut ajukan. Ketika Nyai Ageng menyampaikan pesan itu kepada Sang Temunggung, dia menyimpan perasaan takjub karena tidak menduga atas kehendak Rara Mendut.
Perempuan Tangguh vs Penguasa Licik
Sang Tumenggung memang mengizinkan Rara Mendut untuk berjualan rokok dan bahkan memberikan modal lebih dari yang Rara Mendut minta.
Akan tetapi, sebagaimana busuknya praktik feodalisme, Sang Tumenggung meminta agar terpasang tabir di warung Rara Mendut. Tabir yang harus menutup rapat supaya penjualnya tak kelihatan oleh orang yang berlalu-lalang di jalanan.
Kendati demikian, meski berhadapan dengan kelicikan kekuasaan, Rara Mendut mampu membuka warung yang isinya tembakau dari Imogiri, daun klobot, bumbu-bumbu, dan ‘wur’ pemberian Nyai Ageng.
Pembuktian sebagai Perempuan Berdikari
Rara Mendut tidak berjuang sendirian, ada banyak uluran tangan yang membantunya. Tidak main-main, bahkan ada abdi kiai yang membantunya karena memang mahir membuat klobot.
Warung Rara Mendut berhasil membuat tiga puluh bungkus rokok dan dihargai lebih mahal daripada harga di pasaran.Puntungnya bahkan lebih mahal lagi.
“Harga puntung rokoknya menurut panjang dan pendek ukurannya. Ada yang dua real sebatang, ada juga yang dua setengah real, tiga real dan empat real—Mau tahu sebabnya apa? Tentu saja, karena puntung rokok itu bekas kena bibirku dan telah leceh dengan air ludahku yang manis dan harum. (Kalau teman-teman pernah membaca novel “Gadis Kretek” atau menonton filmnya pasti paham).”
Rara Mendut berhasil menjajakan klobotnya kepada masyarakat, bukan karena masyarakat sekadar ingin merokok, melainkan ingin melihat kecantikan dari Rara Mendut.
Dan dari usaha jualan rokok itulah, Rara Mendut mampu memberikan perlawanan kepada Sang Tumenggung Wiraguna, dari sebagai hadiah perang menjadi perempuan yang melawan nafsu penguasa.
Juru Bicara Komunitas Kretek, Rizky Benang
BACA JUGA: Menghisap Tembakau: Upaya Orang Jawa agar Tak Tampak “Hina” di Hadapan Bangsa Eropa
- Pentingnya Rokok bagi Orang Madura untuk Membangun Kerukunan - 10 February 2025
- 4 Falsafah Merokok dalam Prosesi Adat Batak Angkola di Kota Padangsidimpuan - 7 February 2025
- Di Suku Tengger Perempuan Merokok Tidak Distigma Negatif, Jadi Teman saat Kerja di Ladang dan Simbol Kemandirian - 6 February 2025
Leave a Reply