Press ESC to close

Menghisap Tembakau: Upaya Orang Jawa agar Tak Tampak “Hina” di Hadapan Bangsa Eropa  

Seperti disebut dalam banyak studi tentang tembakau, tanaman tersebut bukan asli Indoneisa. Melainkan berasal dari Amerika, yang konon sudah ada sejak 1000 SM.

Tembakau lalu melanglangbuana: diperkenalkan ke benua-benua lain. Awak kapal Christopher Colombus menjadi pihak yang membawa tanaman itu ke luar Amerika. Tidak hanya itu, mereka juga mengadopsi kebiasaan menghisap tembakau yang dilakukan oleh suku-suku di Amerika.

Hingga tiba lah tanaman tersebut ke Pulau Jawa pada abad ke-17 (medio 1600-an), dibawa oleh pedagang-pedagang Portugis. Nama tembakau sendiri diadopsi dari bahasa Potugis untuk tumbuhan itu: tumbaco.

Begitulah sampai kemudian, oleh pemerintah kolonial Belanda, tembakau menjadi komoditas yang ditanam di Indonesia.

Lewat Tembakau, Raja Jawa Menolak Rendah di Hadapan Belanda

Menariknya, kebiasaan orang-orang Belanda menghisap tembakau pun juga dilakukan oleh raja atau bangsawan-bangsawan Jawa. Laporan utusan VOC dan catatan dalam Babad Ing Sangkala mengonfirmasi hal tersebut.

Sultan Agung, raja ketiga Mataram Islam, menjadi sosok raja yang cukup disorot lantaran memiliki kebiasaan menghisap tembakau. Terutama dalam beberapa momen penting. Misalnya saat menjamu tamu dari VOC atau saat menyaksikan gladhen kaprajuritan (latihan perang), mengutip buku ngudud: cara orang Jawa menikmati hidup (2012) karya Iman Budhi Santosa.

Baca Juga:  Review Diplomat Mild Menthol: Segar dan Dinginnya Langsung Terasa di Mulut

Iman Budhi Santosa menyebut, kebiasaan raja atau bangsawan Jawa meniru orang Belanda menghisap tembakau bukannya tanpa tujuan.

Ada dua modus penting di baliknya. Satu, sebagai bentuk komunikasi politik. Dua, sebagai upaya membangun persamaan derajat antara penguasa pribumi dengan bangsa-bangsa Eropa yang dianggap lebih maju.

Mulanya cerutu dan pipa

Masa itu, orang-orang Belanda menghisap tembakau dengan model cerutu atau menggunakan pipa yang terbuat dari gading atau perak. Gaya tersebut ditiru sama persis oleh raja atau bangsawan Jawa.

Dengan menyamakan jenis dan gaya dalam menghisap tembakau, rasa inferior sebagai pribumi pun terkikis. Karena merasa sederajat dengan orang-orang Belanda itu.

Dengan begitu, secara psikologis orang-orang Belanda pun tak akan memandang remeh. Negosiasi atau perundingan antara raja Jawa dan Belanda pun bisa berjalan “imbang”.

Lahirlah rokok kretek

Tidak hanya kalangan bangsawan, menghisap tembakau akhirnya juga ditiru oleh kalangan wong cilik pribumi. Tidak ada modus khusus. Memang hanya sebatas “meniru”.

Namun, siapa nyana, dari meniru itu justru lahir produk kebudayaan asli Indonesia: rokok kretek.

Kalangan wong cilik jelas hanya sebatas bisa meniru menghisap saja. Tidak sampai bisa meniru menggunakan cerutu atau pipa. Standarnya terlalu tinggi. Kondisi sosial-ekonomi mereka tak memungkinkan untuk mencapai standar tinggi tersebut.

Baca Juga:  Menyiasati Stok Rokok bagi Calon Jamaah Haji

Oleh karena itu, kalangan wong cilik—khususnya di Jawa—mencoba memanfaatkan potensi-potensi lokal yang tersedia di sekitar. Misalnya, membungkus tembakau dengan klobot (kulit jagung). Atau kalau di kawasan Banyumas sampai Jawa Barat, orang-orang memanfaatkan kawung yang terbuat dari daun nipah sebagai pembungkus.

Kreativitas kalangan wong cilik pun terus berkembang. Misalnya, demi menemukan cita rasa yang lebih mantap dan ada sensasi wanginya, dicampur lah bahan-bahan tambahan seperti menyan, klembak, dan uwur.

Lalu, di kemudian hari, ditambahkan pula bahan lain seperti rajangan cengkeh dengan campuran saus. Lahirlah rokok kretek yang terus eksis sampai hari ini.

BACA JUGA: Ketika Masyarakat Temanggung Lebih Suka Bawa Tembakau daripada Rokok Pabrikan

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *