Press ESC to close

Dampak Kenaikan Cukai Bakal Mencipta Krisis Lebih Parah

Sejatinya dampak kenaikan cukai 2020 telah mengemuka sejak diberlakukannya tarif cukai baru pada April lalu. Dampak ini terlihat dari menurunnya permintaan bahan baku. Industri rokok melakukan berbagai langkah efesiensi, termasuk merumahkan sejumlah tenaga kerjanya.

Terbukti dengan naiknya harga rokok di pasaran yang mengacu kenaikan tarif cukai 23% – HJE 35%, membuat perokok berangsur memilih beralih ke tingwe atau turun kasta ke rokok murah. Sejak awal tarif baru diberlakukan, sudah banyak pihak yang memprediksi kalau serapan tembakau akan menurun, bahkan hingga 30 persen.

Terbukti, pada bulan Mei 2020 produksi rokok turun 12,3 persen secara year on year (yoy). Dan di bulan Juni 2020 tercatat menurun 8,1 persen. Pandemi datang. Tantangan bertambah. Penurunan bisa saja terjadi hingga entah kapan.

Di tengah kondisi yang serba sulit ini, sebagaimana kita tahu, resesi ekonomi akibat pandemi telah memukul banyak sktor usaha. Kemudian mengemuka pula wacana kenaikan cukai 2021, selain pula soal simplifikasi.

Artinya, pemerintah kembali menimpakan bebanan kepada industri rokok, jika demikian konsumen harus membayar lebih harga rokok. Kondisi demikian belum tentu akan membawa pemulihan ekonomi seperti yang ditargetkan.

Baca Juga:  Hidup Sehat dan Merokok

Cukai rokok selama ini dijadikan sebagai instrumen pengendali yang dilatari narasi kesehatan. Semakin kentara saja ini menjadi semacam cara untuk mengeruk pendapatan dari Industri Hasil Tembakau (IHT). Padahal, dampak kenaikan cukai yang lalu saja sudah membuat banyak stakeholder terpuruk.

Bicara sektor IHT di negeri ini, problem di hulu tak hanya dialami petani tembakau, petani cengkeh pula mengalami derita yang sama. Jatuhnya harga cengkeh menyentuh harga 50 ribu sampai 60 ribu per kilogram, ini tak semata soal pandemi namun juga menyangkut skema tata niaga. Pada masa jayanya dulu, cengkeh bisa dihargai 100-150 ribu per kilogram.

Sebagaimana kita tahu, industri rokok dalam negeri menyerap 90% produksi cengkeh dari petani di berbagai daerah. Jatuhnya harga ini dipengaruhi juga banyak sektor usaha yang tidak berlangsung optimal terdampak pandemi. Sementara pabrikan rokok harus melakukan pengurangan kuota produksi, termasuk serapan terhadap cengkeh.

Sementara di hilir, ritel dan kelas asongan pula mengalami penurunan penghasilan. Harga rokok yang terus naik secara gradual membuat konsumen harus berhitung lebih. Artinya, rokok utama yang biasa dibeli harus diatur kapan dibelinya, tersisih oleh pilihan lain yang harganya lebih murah.

Baca Juga:  Menjajaki Logika Koplak Antirokok

Semua problem itu masih harus dibebani pula dengan sentimen dan kampanye negatif soal rokok, diskriminasi pada perokok, dan segala upaya ‘membunuh’ kretek. Tak ayal ini pun mempengaruhi nasib petani tembakau–juga petani cengkeh.

Dampak kenaikan cukai yang bertumpu pada skema pengendalian tembakau ini terbukti telah mencipta kebangkrutan bagi pabrikan kecil. Banyak pabrikan yang harus tutup beroperasi terdampak regulasi yang tak berpihak ini. Jika pemerintah bersikeras menaikkan lagi tarif cukai untuk tahun depan, maka sama artinya mencipta krisis yang lebih parah.

Jibal Windiaz

anak kampung sebelah