
Catatan Ekspedisi Emas Hijau Jilid II: Memaknai “bertani” ala petani tembakau di Kayumas Situbondo
“Bertani itu tak cukup membaca ilmu pertanian. Tapi juga harus mampu berkomunikasi dengan tanaman.” – Cak Anam, petani tembakau dari Kayumas, Situbondo.
***
Namanya Khairil Anam (27). Ia lahir dari keluarga petani tembakau yang sudah turun temurun hidup dari tembakau. Tidak hanya untuk kebutuhan perut, tapi juga pendidikan.
Panggilan akrabnya, Cak Anam. Saya bertemu dengannya di Desa Ketowan, Kecamatan Arjasa, Kamis, 24 Juli 2025. Persis di daerah bawah sebelum masuk ke pegunungan Desa Kayumas. Pertemuan itu terjadi di tengah upaya saya mengulik tembakau di Situbondo, selain Tambeng.
Di perjalanan ke Kayumas, saya dan Angga ditemani Cak Sofyan, salah satu pendiri Gerakan Situbondo Membaca. Perjalanan dari pusat Kota Situbondo ke Ketowan kira-kira menghabiskan waktu sekitar satu jam. Sampai di rumah Cak Anam sekitar pukul 13.00 WIB.
Keluar dengan penampilannya yang bersarung dan berpeci hitam khas santri Madura, rupanya Cak Anam dan Cak Sofyan berasal dari satu almamater di pesantren. Cak Sofyan merupakan kakak tingkatnya. Ekspedisi kami mempertemukan mereka yang sudah lama tak berjumpa.
Pesan dari bapak: hiduplah jadi petani
Sejak kecil, Cak Anam selalu senang jika ikut orangtua ke sawah. Motifnya sederhana: karena makan siang di sawah jauh lebih nikmat, ditemani pemandangan hijau dan semilir angin.
“Kalau di rumah, makan itu cuma menghabiskan satu centong, tapi di sawah bisa lebih dua centong,” ucap Cak Anam sambil tertawa mengenang masa kecilnya.
Kendati lahir dari keluarga petani dan sejak kecil ikut ke sawah, saat itu Cak Anam belum pernah terbesit sedikit pun untuk menjadi petani. Semua itu berubah ketika bapak Cak Anam meninggal pada 2024.
Ada satu pesan dari sang bapak yang sampai sekarang terus terkenang dalam ingatan Cak Anam–yang membuatnya akhirnya memilih jalan hidup sebagai petani.
“Mau jadi apa pun kamu nanti, jangan pernah lupakan urusan tani,” pesan almarhum itu Cak Anam pegang teguh.
Bertani bukan hanya soal ke ladang, filosofi ala petani Kayumas Situbondo
Bertani bukan hanya soal pergi ke ladang. Karena kata bapak Cak Anam, hidup itu seperti bertani. Bertani itu pelajaran kehidupan.
Sebab, kalau mau tanamannya tumbuh subur, maka harus pandai memilih bibit yang bagus. Rawat dengan sungguh-sungguh. Dan begitulah sejatinya kehidupan berjalan.
Guru pertama Cak Anam adalah bapaknya sendiri. Menurutnya, bapaknya itu termasuk orang yang perfeksionis dalam proses tanam. Kalau tanah dilihat masih gembur, tanah akan dibajak terus sampai tiga kali. Dan terbukti, menurut Cak Anam, hasilnya memang berbeda dari lahan petani yang lain.
Tidak hanya itu, Cak Anam juga belajar ilmu pertanian dari nonton YouTube. Cak Anam tidak melewatkan satu pun referensi supaya ia handal menjadi petani. Termasuk isu politik dalam pertanian, maupun ritus kebudayaan, dan spiritual.
Gaya bertani petani Kayumas Situbondo: Berbicara dengan tanaman
Tidak hanya bapaknya, Cak Anam juga belajar pertanian ke berbagai orang. Salah satunya Abah Junaidi: seorang yang membudidayakan jamur Jakaba (Jamur Keberuntungan Abadi). Yakni pupuk organik cair yang dibuat dari hasil fermentasi air cucian beras (air leri) dan bahan-bahan organik lainnya.
Kepadanya juga Cak Anam belajar tentang mikroorganisme dan pengolahan lahan. Setelah Cak Anam implementasikan hasil belajar itu ke tanaman cabai, hasilnya terbukti meningkat. Dari luas lahan 350-400 meter persegi, dari hanya bisa panen 1 kuintal menjadi 1,2 kuintal.
Dari hasil pembelajarannya dengan berbagai orang itu, Cak Anam juga menyadari satu hal penting bahwa kalau bertani itu tak cukup membaca ilmu pertanian. Tapi juga harus mampu berkomunikasi dengan tanaman.
Menurutnya, tanaman akan menunjukkan apa yang akan tumbuh itu tergantung siapa yang di atasnya. Misalnya, jika menunjukkan gejala nengger (sudah besar tapi layu), itu berarti tanahnya terlalu asam. Bisa diatasi dengan memakai kapur dolomit supaya tanahnya kembali netral.
Komunikasi yang dimaksud itu, seorang petani harus jeli melihat tanaman. Memperhatikan tumbuh kembangnya. Memahami gejalanya, supaya tahu cara merawatnya. Jika tidak bisa berkomunikasi, maka sudah pasti mati.
Adat pertanian Ketowan
Kata Cak Anam, rata-rata petani di daerah Desa Ketowan, Kecamatan Arjasa, mempunyai lahan seluas setengah hektare. Kalau di atas satu hektare, itu sudah termasuk “orang punya”.
Kendati demikian, lahan Cak Anam memang tidak luas. Kurang dari satu hektare. Tapi dari lahan kecil itu justru mampu membuat sekeluarga hidup dan mengenyam pendidikan.
Mengingat lahannya yang kecil, kerja sebagai buruh tani di Ketowan akan dibayar Rp40 ribu, untuk jam kerja dari pukul 06.00-10.00 WIB.
Di sisi lain, ada perbedaan cukup signifikan yang saya temukan di sini. Para petani di Jawa Timur merasa tidak cocok bertani menggunakan metode tumpang sari (dua atau lebih jenis tanaman ditanam bersamaan di satu area). Berbeda dengan masyarakat di Jawa Tengah.
Bukan tidak mau mendapatkan hasil panen lebih dari berbagai tanaman. Hanya saja, jika tumpang sari dilakukan, ketika tanahnya mau ditanam tembakau, hasilnya jadi tidak normal. Hal itu disebabkan karena tanaman cabai itu membuat tanah menjadi panas.
Ada pula yang unik dari adat pertanian di Ketowan. Masyarakatnya mempercayai bahwa ketika tanaman jagung bermasalah karena kena hama ulat, ada semacam tradisi yang dipercaya dapat menghilangkan hama, yaitu membuat bubur yang bahannya dari ulat, lalu ditaruh di ladang. Jadi tidak perlu memakai obat.
Perihal pertanian tembakau dan kepercayaan setempat
Petani tembakau sudah pasti menanam sayuran. Tapi petani sayur-mayur belum tentu menanam tembakau. Cak Anam sendiri ketika memulai jadi petani, tanaman yang pertama kali ia tanam itu cabai. Ia mengaku pada awalnya tidak terlalu paham dengan varietas tembakau. Salah satu alasannya karena banyak sekali jenis varietasnya.
Dari penuturan Cak Anam, masyarakat Ketowan sendiri dulunya banyak menanam bibit Opot (tembakau sawah). Namun, entah mengapa beberapa tahun kebelakang, bibit Opot dianggap kurang bagus.
Lalu masyarakat beralih ke bibit bernama Moris. Tetapi karena Moris kurang diminati, akhirnya masyarakat secara keseluruhan pindah ke Kasturi. Baik itu Kasturi Putih atau Kasturi Benyak (mirip angsa: jarak antar tangkai lebar). Cak Anam sendiri menanam bibit Kasturi Putih.
Kemudian, perihal penyemaian, biasanya masyarakat Ketowan menyemainya pada bulan Januari dan Februari. Lalu menanamnya di bulan Maret sampai bulan Juni. Itupun mengikuti faktor cuaca. Contohnya, di tahun 2025 ini, karena terjadi kemarau basah, alhasil tanamnya bulan April.
Selain itu, di Ketowan sendiri ada semacam pantangan, yaitu jangan menanam di bulan Juli. Hasilnya bisa berbeda, mengarah ke hasil yang buruk. Itu menjadi hukum pertanian di sini. Jadi lepas bulan Juni tidak ada orang yang berani menanam.
Selain pantangan, di Ketowan juga ada tradisi Rokat Sabe. Rokat Sabe adalah bentuk selamatan (perayaan), sabe (sawah/tanah). Dalam ritus tersebut ada kegiatan menyembelih ayam. Sama seperti yang dilakukan petani tembakau di Temanggung.
Dari ayam itu diambil kepalanya, sayapnya, kakinya. Ada pula jajanan-jajanan, bubur, nasi, terus dikubur di tengah sawah. Sisanya yang tak dikubur dimakan. Dilanjutkan dengan pembacaan doa rokat Jamiud Daawat. Tradisi ini dilakukan ketika mau menanam. Kalau panen, ada tasyakuran di masing-masing keluarga.
Di Ketowan juga tidak ada proses perajangan. Melainkan daun tembakau ditusuk-tusuk, kemudian dioven (disimpan di atas tungku) sampai menguning, setelah itu bisa dijual.
Hanya saja, sekarang Cak Anam tidak melakukan proses itu. Ia cukup melipat daun, dan langsung dijual. Istilahnya kerosok (ditebus semua oleh pengepul).
Tantangan petani tembakau di Ketowan
Dari penuturan Cak Anam, tantangan bertani di Ketowan adalahi pupuk.
“Kita kan berupaya menekan biaya produksi tapi hasilnya maksimal. Sementara harga pupuk dan obat-obat pertanian itu mahal. Karena banyak mafia pupuk,” kata Cak Anam dengan nada meninggi dan mata yang menyorot tajam.
Menurut pengakuannya, petani sering kali dibodohi oleh kelompok tani yang isi anggotanya itu bukan petani. Diminta KTP untuk pengajuan pupuk subsidi. Tapi ditunggu berbulan-bulan pupuk tak kunjung datang. Padahal, kalau beli langsung ada.
Monopoli tersebut dilakukan kelompok tani yang bekerjasama dengan perangkat desa. Cak Anam mengaku tak punya kendali apa pun atas itu.
“Saya sebagai petani kalau melihat tanaman kekurangan pupuk, kondisinya kurang baik, mau nggak mau harga tinggi harus dibeli. Daripada gagal panen. Walaupun kadang hasilnya juga nggak sebanding antara pengeluaran pupuk dengan hasil panennya,” ucap Cak Anam dengan kesal ketika menceritakan monopoli pupuk di desanya.
Juru Bicara Komunitas Kretek, Rizky Benang
- Ibu Minah, Penjual Sayur Keliling Ketiban Rezeki Noplok: Menang Undian Mobil dari Pihak Djarum Selepas Mengikuti Jalan Santai HUT Temanggung 191 - 26 November 2025
- Rokok yang Dihisap Hadi (Fedi Nuril) dalam Film “Pangku” dan Jangan Ditiru! - 15 November 2025
- Soeharto: Bapak dari “Pencekik” Petani Cengkeh Bisa-bisanya Jadi Pahlawan Nasional - 10 November 2025
Leave a Reply