
Jumat, 14 Maret 2025, Komisi I DPR RI menggelar rapat Rancangan Undang-undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI (RUU TNI) di Hotel Fairmont yang berstandar bintang lima di Jakarta.
Digelar di hotel bintang lima dalam situasi efisiensi, rapat itu memang bukan sembarang rapat. Ada konflik kepentingan bagi segelintir golongan.
Masalah dari rapat tersebut adalah potensi terjadinya kekacauan tatanan demokrasi serta kembalinya militerisme dan Dwifungsi ABRI era Orde Baru (Orba). Era yang menyisakan trauma kolektif masyarakat Indonesia.
Pasalnya, lebih dari 2.500 prajurit aktif TNI telah menduduki jabatan sipil di Indonesia. Jika UU TNI jadi direvisi, jumlah tersebut akan bertambah dan berpotensi mengembalikan Dwifungsi ABRI era Orde Baru.
Ingatan suram petani cengkeh pada TNI
Secara umum revisi RUU TNI jelas saja mengancam demokrasi. Sementara ecara khusus, ini mengingatkan petani cengkeh dengan memori suram monopoli cengkeh yang dilakukan pemerintah era Orba melalui Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh (BPPC).
Pada 1960-an, Indonesia mengimpor cengkeh. Dalam rangka memuluskan impor cengkeh, Soeharto memberikan hak impor kepada PT Mega dan PT Mercu Buana pada 1968. Perlu diketahui, kedua perusahaan tersebut mempunyai hubungan erat dengan Keluarga Cendana.
Pemilik PT Mega adalah Liem yang merupakan kawan lama Soeharto. Sedangkan pemilik PT Mercu Buana adalah Probosutedjo, adik tiri Soeharto.
Di masa Orba, petani cengkeh memang sempat berjaya. Namun, kejayaan tersebut berakhir lewat keputusan Presiden pada 1992 seiring terbentuknya Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh (BPPC) yang dipimpin langsung oleh Tommy, putra Soeharto.
BPPC menjadi pengontrol tunggal industri cengkeh. Semua cengkeh dari petani wajib dijual ke Koperasi Unit Desa, untuk nantinya dibeli oleh BPPC. Mirip masa penjajahan Belanda pada saat memonopoli cengkeh di Maluku.
Selaku pihak tunggal yang memiliki wewenang untuk membeli cengkeh, BPPC memiliki kendali penuh atas harga.
Tommy menetapkan harga beli serendah mungkin dari petani, lalu menjualnya ke pabrik rokok dengan harga yang jauh lebih tinggi. Sebelum BPPC berdiri, harga cengkeh terendah mencapai Rp20 ribu per kilogram.
Namun, setelah BPPC beroperasi, harga cengkeh anjlok drastis hingga hanya Rp2 ribu per kilogram. Akibatnya, cengkeh yang dulunya dianggap sebagai komoditas berharga layaknya emas, berubah menjadi sekadar rempah yang kehilangan nilainya.
Mengingat sejarah kelam tersebut, maka sobat kretekus dan masyarakat Indonesia seutuhnya wajib menolak revisi RUU TNI.
Juru Bicara Komunitas Kretek, Rizky Benang
BACA JUGA: Nasib Petani Tembakau dan Petani Cengkeh Pada Rezim Prabowo Gibran
- Sejarah dan Alasan Hari Kretek Diperingati 3 Oktober Bukan di Tanggal Awal Peracikannya oleh H. Djamhari - 24 April 2025
- Merokok Tidak Ada Hubungannya dengan Moral, Karena Ada yang Nggak Merokok tapi Korupsi - 21 April 2025
- Hubungan Pabrik Rokok dengan Konsumen Disebut kayak Budak dan Majikan, Padahal Bentuk Nyata Slogan “Dari Rakyat untuk Rakyat” - 16 April 2025
Leave a Reply