
Para kretekus harus memahami keberadaan perang nikotin. Sebab, selama ini perokok dicekoki dengan bayang-bayang efek samping rokok terhadap kesehatan. Padahal yang sebenarnya terjadi tidak demikian.
***
Industri Hasil Tembakau (IHT) diserang di berbagai lini. Dari mulai isu kesehatan, eksploitasi anak, agama, etika, kemiskinan, regulasi, hingga persoalan jodoh.
Meskipun banyak cara telah dilakukan kubu antirokok untuk memusnahkan tembakau, nyatanya sampai hari ini industri ini masih bertahan. Jelas, karena negara butuh cukainya.
Di sisi lain, kubu antirokok bergerak bukan atas dasar benar-benar peduli pada kesehatan publik–sebagaimana narasi yang mereka gaungkan. Melainkan karena urusan dagang.
Dalam buku Nicotine War: Perang Nikotin dan Para Pedagang Obat karya Wanda Hamilton, tersaji fakta-fakta bahwa di balik agenda global pengontrolan atas tembakau terdapat kepentingan besar bisnis perdagangan obat-obat yang dikenal sebagai Nicotine Replacement Therapy (NRT).
Kemenkes jualan Nicotine Replacement Therapy (NRT) untuk perang nikotin?
Pada Rabu, 11 Juni 2025 di Jakarta, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) meluncurkan kampanye Gerakan Berhenti Merokok. Kampanye tersebut sekaligus sebagai ajang berdagang dengan dalih pendekatan medis. Tidak lain dan tidak bukan melalui produk NRT.
NRT dianggap dapat meningkatkan keberhasilan berhenti merokok hingga lima kali lipat. Bentuknya pun beragam, mulai dari permen karet, plester kulit, hingga semprot mulut.
Dari produk NTR, bukankah menjadi pertanyaan besar. Siapa yang diuntungkan? Tercatat dalam buku karya Wanda Hamilton, ada empat perusahaan dari industri farmasi yang diuntungkan.
Glaxo Wellcome, Novartis, Pharmacia, dan SmithKline Beecham, memiliki kepentingan besar dalam menguasai pasar nikotin melalui NRT. Mereka mendanai inisiatif seperti Konferensi Dunia tentang Tembakau dan Kesehatan (Chicago, 2000) untuk mempengaruhi kebijakan pengendalian tembakau.
Kampanye ini gencar dilakukan sejak 1990-an, ditambah bantuan WHO yang melakukan riset berdasarkan pesanan. Data, angka, statistik, dan estimasi dimanipulasi.
Poinnya, buku Hamilton menyoroti adanya “politik pengetahuan”. Ketika narasi kesehatan digunakan untuk mempengaruhi opini publik dan mendiskreditkan tembakau. Hamilton mengkritik kampanye seperti “merokok membunuhmu” sebagai propaganda manipulatif yang menyembunyikan motif bisnis.
Perang nikotin bukan soal merokok atau nggak merokok
Dari penuturan Abhisam Demosa, selaku Koordinator Komunitas Kretek (2010-2016), perang nikoton bukan melulu menyoal merokok dan tidak merokok.
Ini lebih kepada persoalan kedaulatan bangsa yang terancam direcoki politik dagang industri farmasi, melalui isu kesehatan dan beragam regulasi yang berdampak serius pada ekosistem kretek yang merupakan simbol kedaulatan.
Sayangnya, industri farmasi menang karena berhasil melahirkan FCTC (Framework Convention on Tobacco Control). Badan inilah yang jadi landasan hukum bagi komisi pengendalian tembakau
Senada dengan Abhisam, dosen Sosiologi UGM, Andreas Budi “(AB)” Widyanta mengungkap praktik-praktik kampanye antirokok yang bermain melalui narasi kesehatan, bermain lewat politik pengetahuan yang berupaya merebut nalar waras publik. Pasalnya, tembakau memiliki kandungan “emas” yaitu nikotin.
Begitu pula dengan budayawan Jawa asal Jogja, Irfan Afifi. Menurutnya, memahami perang nikotin itu sederhana. Ibaratnya, ada dua perusahaan yang sama berjualan nikotin dengan produk yang berbeda mereknya, farmasi dan perusahaan rokok.
Budayawan tersebut dengan tegas menuturkan bahwa penyakit yang paling berbahaya di dunia ini adalah ketergantungan kita pada obat.
Merokok: budaya masyarakat yang berusaha dijauhkan
“Rokok sudah menjadi bagian hidup bangsa kita sejak Indonesia belum modern. Bagian hidup, bukan sekadar gaya hidup. Rokok menjadi semacam tali peneguh silahturami dan solidaritas sosial sehingga dengan begitu rokok menjadi bagian penting dalam ritus kolektif budaya masyarakat kita,” kata seorang budayawan, Mohamad Sobary.
Sementara menurut Muhidin M. Dahlan alias Gus Muh, merokok adalah aktivitas yang normal, namun seiring waktu malah dianggap menjadi pembinasaan manusia, penyebab kemiskinan, dan memperluas pengangguran.
Kampanye perang terhadap rokok berdampak serius terhadap regulasi dan penyempitan ruang Industri Hasil Tembakau. Pasalnya, bagi Gus Muh, kampanye antirokok ini penuh dengan siasat politik. Perubahannya tidak alami, ada desakan besar yang membuat itu semua berubah.
Juru Bicara Komunites Kretek, Rizky Benang
BACA JUGA: Kemunculan Produk Alternatif Tembakau Adalah Bukti Perang Nikotin Terjadi
- Rokok yang Dihisap Hadi (Fedi Nuril) dalam Film “Pangku” dan Jangan Ditiru! - 15 November 2025
- Soeharto: Bapak dari “Pencekik” Petani Cengkeh Bisa-bisanya Jadi Pahlawan Nasional - 10 November 2025
- Kopi Pangku hingga Asap Kretek di Pantura, Potret Perjuangan Hidup yang Tak Bisa Disikapi Pakai Urusan Moral Belaka - 10 November 2025
Leave a Reply