“Setiap insan manusia memiliki Hak Asasi Manusia yang melekat pada dirinya sesuai dengan Universal Declaration of Human Rights (UDHR) tidak terlepas bagi perokok dewasa yang berhak atas hak untuk hidup dengan lebih rendah risiko,” ujar salah seorang antirokok.
Sebagai informasi, pernyataan tersebut dilontarkan dalam konteks ‘mengampanyekan’ produk tembakau alternatif yang dinarasikan lebih rendah risiko dibanding rokok konvensional. Jadi, lembaga antirokok bernama Masindo menyerukan agar ada intervensi pemerintah dalam hal keterbukaan informasi publik mengenai komponen dan tetek bengek rokok elektrik. Harapan mereka agar perokok meninggalkan rokok konvensional dan beralih ke produk alternatif.
Ada beberapa hal yang perlu dicermati dari pernyataan di atas. Hal-hal tersebut terasa janggal dan rapuh sebagai sebuah argumentasi. Apa saja?
Pertama, perokok ya sudah pasti dewasa. Dalam regulasi yang berlaku di negara kita, seseorang harus sudah berusia 18 tahun (usia dewasa) untuk bisa mengonsumsi rokok. Penggunaan istilah “perokok dewasa” justru menimbulkan kesan bahwa mereka menormalisasi perokok yang belum dewasa.
Lagi pula, namanya orang dewasa, ya bisa cari informasi sendiri. Entah keterbukaan macam apa yang mereka inginkan, artikel dan berita yang menyebut vape lebih rendah risiko itu sudah bertebaran di internet. Organisasi dan tokoh kesehatan yang mengampanyekan vape juga sering bermunculan. Siapapun bisa menemukan dan membacanya dengan mudah. Arus informasi sudah sangat terbuka, terlepas dari benar salahnya sebuah informasi. Jadi, sebenarnya minta keterbukaan informasi atau minta legitimasi?
Kedua, kita sama-sama tahu bahwa pada intinya mereka ingin mendorong penggunaan rokok elektrik sebagai pengganti rokok konvensional seperti kretek. Tapi, menggunakan deklarasi Universal HAM sebagai landasan kampanye rokok elektrik itu rasanya berlebihan. Terdengar terlalu dipaksakan.
Kalau menganggap perokok itu sudah dewasa, ya sudah, biarkan saja para perokok menentukan nasibnya sendiri. Biarkan mereka memilih produk konsumsinya sendiri. Memainkan narasi yang berlebihan justru menista nalar orang dewasa. “Kalian bebas pilih yang mana, tapi kalau bisa pakai yang ini saja!” Kira-kira begitu.
Bicara keterbukaan informasi publik, sekalian minta otoritas agar secara fair menyampaikan kepada publik bahwa rokok adalah tiang ekonomi negara. Cukai rokok itu donatur tetap bagi APBN. Cukai dan pajak rokok itu banyak dipakai buat bangun Rumah Sakit dan membiayai BPJS Kesehatan. Yang terjadi justru sebaliknya; informasi yang masif soal rokok itu yang negatif. Kurang kejam apa media pada rokok? Kurang sadis apa stigma negatif pada perokok? Harganya terus dinaikkan, ruangnya terus dikebiri, konsumennya dikriminalisasi.
Banyak kok yang sering menawarkan rokok elektrik sebagai solusi berhenti merokok. Vape disebut lebih rendah risiko, disebut lebih wangi, lebih modern, dan sebagainya. Apakah semua informasi itu tertutup? Jelas tidak. Mana yang lebih sering didengar, kabar bahwa vape itu lebih aman dari rokok, atau fakta bahwa cukai rokok mencapai 10 persen APBN?
Terlepas dari itu, perokok memang insan dewasa, mereka berhak menentukan pilihannya masing-masing. Tak perlu berpura-pura bicara hak hidup dan hak atas kesehatan, baik rokok konvensional dan elektrik adalah produk olahan tembakau. Keduanya tunduk pada regulasi yang sama.
Kampanye rokok elektrik yang sering berkolaborasi dengan antirokok dan mendiskreditkan kretek, justru menebalkan analisa Wanda Hamilton, bahwa perang nikotin memang terjadi.
Leave a Reply