Press ESC to close

Kampung Adat Cireundeu Cimahi: Bisa Hidup Tanpa Beras Tanpa Perlu Mengais-Ngais Pangan kepada Negara

Biasanya orang Indonesia menganggap: belum makan kalau belum makan nasi. Akan tetapi, hal itu tidak berlaku kepada masyarakat Sunda Kampung Adat Cireundeu di Cimahi, Jawa Barat.

Kampung Adat Cireundeu yang terletak di Leuwigajah, Kota Cimahi sampai saat ini masih menjadikan sangeun (beras singkong alias rasi) sebagai makanan pokok.

Nama Cireundeu sendiri berasal dari kata ci yang berarti air dan pohon reundeu. Di kampung ini banyak sekali pohon rendeu yang bertebaran, biasanya masyarakat memanfaatkannya sebagai obat herbal.

Cireundeu juga bermakna sebagai sebuah nilai yang dalam bahasa Sundanya disebut “sarendeg”. Makna yang berarti kebersamaan, gotong royong, dan sauyunan. Mayoritas agama yang masyarakatnya anut adalah Sunda Wiwitan.

Tradisi memakan singkong sudah terwariskan secara turun temurun dan menjadi pegangan hidup di Kampung Adat Cireundeu, Cimahi. Ada filosofis keberanian, kemandirian, dan perlawanan mengenai proses perpindahan makanan utama dari beras ke singkong.

Kampung Adat Cireundeu Cimahi Tolak Tanam Padi untuk Lawan Belanda

Dalam catatan, Kampung Adat Cireundeu, Cimhai, sudah eksis sejak abad ke-16 Masehi. Lalu di sekitar abad ke-18, Belanda datang dan menjajah kehidupan masyarakat Kampung Adat Cireundeu.

Pada 1918, Belanda memaksa masyarakat untuk menanam padi sebagai bentuk memonopoli pangan.

Di tengah penjajahan itu, masyarakat di sana melakukan perlawanan dengan tidak mau menanam padi, bahkan tidak mengonsumsi beras.

Titah itu keluar dari sesepuh untuk beralih makanan pokok ke singkong sebagai bentuk mencapai kemerdekaan lahir dan batin. Lagipula, masyarakat juga tahu bahwa sumber karbohidrat tidak hanya terdapat pada nasi.

Tradisi Puasa di Kampung Adat Cireundeu Cimahi

Sejak titah tersebut keluar, masyarakat Kampung Adat Cirendeu Cimahi memegang teguh titah sesepuh sebagai bentuk kemerdekaan dan perlawanan. Masyarakat menolak tunduk di tangan kekuasaan Belanda. Hal itu tercermin dari filosofisnya yang tertulis:

Baca Juga:  Mengenal Tembakau Hang dan Jantur

Teu Boga Sawah Asal Boga Pare, Teu Boga Pare Asal Boga Beas, Teu Boga Beas Asal Bisa Nyangu, Teu Nyangu Asal Dahar, Teu Dahar Asal Kuat (Tidak Punya Sawah Asal Punya Beras, Tidak Punya Beras Asal Dapat Menanak Nasi, Tidak Punya Nasi Asal Makan, Tidak Makan Asal Kuat.”

Sejak dahulu, masyarakat di sana juga mempunyai tradisi berpuasa. Jadi walaupun tidak ada padi (sekaligus tidak ada beras), masyarakat senantiasa merdeka dan tidak mengais-ngais pangan.

Justru dari masa-masa sulit itu, pada 1924 Kampung Adat Cireundeu, Cimahi, melahirkan sosok perempuan yang menjelma pahlawan pangan, yaitu Omah Asnanah. Masyarakat jamak menyebutnya Ibu Sepuh.

Merujuk dari “Bandung Bergerak”, Ibu Sepuh tidak hanya mensosialisasikan agar tidak memakan beras nasi saja, tetapi juga menyebutkan kata “merdeka” di sela-selanya. Katanya, apabila sudah bisa menahan lapar, itu tandanya mereka akan merdeka.

Belanda pun gusar dengan sosialisasi yang Ibu Sepuh lakukan, karena ditakutkan akan membakar semangat perlawanan di masyarakat. Akibatnya, Belanda sempat menjebloskan Ibu Sepuh ke penjara Sukamiskin.

Beras Jadi Penyebab Musibah

Jauh sebelum Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa pemicu kemiskinan adalah ketergantungan masyarakat pada beras, sesepuh Kampung Adat Cireundeu, Cimahi, sudah meramalkan bahwa beras akan menjadi salah satu musabab musibah.

Meskipun demikian, sebagai penganut Sunda Wiwitan, masyarakat tetap menghargai padi/beras sebagai sosok jelmaan Dewi Nyi Pohaci Sanghyang Asri atau Dewi Sri dengan cara menggantungkan ikatan padi beserta tangkainya di ruang depan rumah mereka.

Baca Juga:  Cerutu Wamena, Produk Budaya Papua yang Masih Bertahan

Ramalan beras akan menjadi musibah nyatanya memang terbukti, BPS mencatat bahwa kemiskinan di Jawa Barat salah satu penyebabnya adalah faktor daya beli terhadap beras sebagai makanan pokok.

Negara Kalah Berdaulat Pangan 

Kampung Adat Cirendeu, Cimahi, bertahun-tahun akhirnya mampu menciptakan kedaulatan pangan tanpa harus mengemis bantuan sosial ke pemerintah di tengah krisis apapun.

Pemerintah, sejak Orde Baru memang sudah menggaungkan program swasembada pangan. Namun, cara pandangannya terlalu beras-sentris.

Pemerintah kadung menganggap beras adalah kebutuhan pangan paling pokok bagi masyarakat Indonesia. Sehingga, mencoba melakukan penanaman padi massal di berbagai wilayah Indonesia.

Padahal, tidak semua tanah di Indonesia cocok dengan tanaman padi. Tidak semua masyarakat Indonesia juga terbiasa makan beras.

Orang-orang di Kampung Adat Cireundeu, Cimahi, malah lebih visioner. Atas kesadaran bahwa makanan pokok tidak hanya dari beras, mereka memanfaatkan singkong dan bisa berdaulat pangan hingga sekarang.

Juru Bicara Komunits Kretek, Rizky Benang

BACA JUGA: Kampung Adat Ciptagelar: Bisa Produksi Padi untuk Bertahan Hidup 100 Tahun Tanpa Campur Tangan Pemerintah

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *