Press ESC to close

Kampung Adat Ciptagelar: Bisa Produksi Padi untuk Bertahan Hidup 100 Tahun Tanpa Campur Tangan Pemerintah

Kampung Adat Kasepuhan Ciptagelar seharusnya menjadi percontohan bagaimana sebuah komunitas masyarakat menciptakan ketahanan pangannya sendiri.

Narasi Indonesia mempunyai sumber daya alam melimpah seringkali dikumandangkan oleh pejabat pemerintah. Katanya kita adalah negara yang besar. Lalu apa? Apakah dengan mempunyai kekayaan alam yang melimpah menjadikan Indonesia memiliki ketahanan pangan?

Merujuk data Global Food Security Index (GFSI), indeks ketahanan pangan tahun 2022, ketersediaan pasokan pangan Indonesia dinilai kurang baik dengan skor 50,9. Kualitas nutrisi hanya mendapat skor 56,2, sedangkan keberlanjutan dan adaptasi skornya 46,3. Dari tiga indikator ini, ketahanan pangan Indonesia dinilai lebih buruk dibanding rata-rata negara Asia Pasifik.

Itu artinya negara gagal menjaga ketahanan pangan, dan kalah hebat dengan warga Kampung Adat Kasepuhan Ciptagelar yang mampu memasok cadangan pangan bahkan sampai 100 tahun. Tidak hanya mampu menjaga ketahanan pangan, melainkan berdaulat tanpa harus bergantung kepada pemerintah.

Mengenal Kampung Adat Ciptagelar

Diperkirakan sejak tahun 1368, warga Kampung Adat Ciptagelar, Sukabumi, Jawa Barat sudah bermukim di pegunungan Halimun (kabut: bahasa Sunda) kawasan Taman Nasional Gunung Salak yang berada di ketinggian 800-1200 mdpl.

Kampung Adat Ciptagelar merupakan bagian dari Kesatuan Adat Banten Kidul, sekaligus pusat pemerintahan dari 568 kampung adat yang meliputi wilayah Kabupaten Lebak, Kabupaten Bogor, dan Kabupaten Sukabumi.

Pemimpin atau sesepuh dari perkampungan adat disebut “Abah”, lalu kampung yang didiami oleh Abah dijadikan sebagai pusat pemerintahan adat yang disebut Kampung Gede Kasepuhan.

Kata kasepuhan diambil dari bahasa Sunda. Ka menunjukkan sebuah tempat dan sepuh bermakna orang tua yang dihormati sebagai panutan, sementara an sebagai imbuhan. Sebagai pusat pemerintahan adat, kasepuhan dihuni oleh Sesepuh Girang (ketua adat) dan Baris Kolot (para pembantu Sesepuh Girang).

Baca Juga:  Menghisap Tembakau: Upaya Orang Jawa agar Tak Tampak “Hina” di Hadapan Bangsa Eropa  

Kasepuhan adat mempunyai lakon atau peran sebagai pelaksana amanat karuhun melalui wangsit yang turun kepada Abah selaku pemimpin adat dalam rangka hidup dalam tradisi adat istiadat yang selama ini dilakukan secara turun temurun.

Dan di antara sekian amanat karuhun Kasepuhan Ciptagelar adalah dilarang menjual padi, karena menjual padi sama artinya dengan menjual kehidupan.

Kampung Adat Ciptagelar Mampu Simpan Padi hingga 100 Tahun

Pekerjaan yang dilakoni warga Kasepuhan Ciptagelar adalah petani. Setiap warga menanam padi, dan setiap rumah wajib mempunyai minimal satu leuit sebagai simbol kedaulatan pangan.

Leuit dalam budaya pertanian Sunda merupakan tempat menyimpan hasil panen yang berbentuk rumah panggung berukuran kecil, berdinding anyaman bambu, dan beratap daun rumbia. Dirancang tidak mudah bocor dan sulit untuk dimasuki hewan pengerat seperti tikus.

Setiap panen, warga Kampung Adat Ciptagelar menyisihkan hasil panennya sebesar 10% untuk disimpan di dalam leuit yang mampu menampung hasil panen mencapai 1.000 ikat atau berkisar 2,5-3 ton.

Aturan tersebut dipegang teguh oleh warga, termasuk tidak pernah memakai pupuk kimia dan memperjualbelikan hasil panennya, baik berupa padi, beras, maupun gabah. Secara teknis, itulah alasan kenapa Kampung Adat Ciptagelar mampu menyediakan pasokan pangan hingga seratus tahun lamanya.

Padi adalah Jelmaan Sang Pemberi Kehidupan

Selain itu, ada alasan spiritual di balik titah tidak memperjualbelikan padi menjadi komoditas ekonomi.

Bagi warga Kampung Adat Ciptagelar, padi merupakan simbol kehidupan, karena padi adalah jelmaan Dewi Nyi Pohaci Sanghyang Asri atau Dewi Sri sang pemberi kehidupan bagi masyarakat Sunda.

Baca Juga:  Rokok Kretek dan Kebangkitan Nasional

Maka, pantang bagi bagi warga untuk menjual beras karena sama artinya dengan menjual kehidupan.

Padi memang sakral tetapi bukan berarti warga menuhankan padi. Acuan warga Kampung Adat Ciptagelar: “Mupusti pare, lain migusti”, yang artinya memuliakan padi tapi bukan menuhankan.

Penanaman padi dan panen pun di sini pun tidak boleh menggunakan alat modern. Selain itu, selama prosesi sejak penanaman bibit hingga panen, warga selalu melakukan ritual penghormatan sekaligus sebagau bentuk syukur.

Ritual dilakukan sejak seminggu menabur benih dengan melaksanakan “sapang jadian pare” ketika benih mulai menunjukkan tanda kehidupan dengan menjulang ke langit. Lalu ketika panen tiba, warga melakukan upacara “mapag pare berkah”.

Tidak berhenti sampai di situ, pasca-panen juga melakukan syukuran dengan berbagai rangkaian yang disebut “mipit pare”, upacara “ngayaran”, lalu upacara terbesarnya sebagai wujud syukur kepada Sang Maha Esa yakni “seren taun.” Meskipun hanya panen setahun sekali, warga tidak pernah mengenal apa itu kelaparan.

Penulis: Rizky Benang

Editor: Komunitas Kretek

BACA JUGA: Ketika Rokok Kretek Membuat Orang Inggris Tak Banyak Berkata-kata, Karena Bahannya bikin Eropa “Mengais-ngais” di Indonesia

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *