
Indonesia merupakan negara dengan prevalensi perokok terbesar. Dengan fakta itu, kenapa Indonesia tidak menjadi puncak produsen tembakau terbesar? Apakah Indonesia tidak memandang tembakau sebagai moda kedaulatan ekonomi?
Sialnya, para pemimpin negeri ini memang selalu zalim terhadap tembakau. Ambil contoh soal pajak cukai rokok, ternyata pemerintah Indonesia jauh lebih kejam memeras cukai industri hasil tembakau (IHT) ketimbang era kolonial Belanda.
Saya tidak bermaksud meromantisasi kolonialisme yang terjadi. Tetapi kenapa Indonesia justru malah bersikap lebih kejam. Kolonialisme memang hanya berganti wajah saja.
Di bawah masa kolonial Belanda, pemerintah mematok pajak 20% dari harga eceran. Sedangkan di rezim pemerintah Indonesia, khususnya Jokowi, cukai rokok bahkan bisa naik setahun sekali sebesar 10%. Alias, selama 10 tahun Jokowi memimpin, cukai rokok sudah naik 100% lebih.
Itu baru perhitungan cukai saja, belum pajak lainnya seperti pajak PPN dan pajak yang masuk ke Pemda.
Artinya, Indonesia cuma bisa menarik pajak tanpa ada batuan regulasi atau dukungan lainnya kepada IHT. Bukan kah dengan tingkat prevalensi perokok yang tinggi seharusnya membuat pemerintah mempunya daya dan upaya kepada IHT supaya makin subur.
Perlu diketahui, bahwa Hindia Belanda menarik pajak rokok itu bukan karena mereka maruk, melainkan karena mereka sedang mengalami krisis gara-gara peperangan, jalur perdagangan mereka terhambat.
Sementara Indonesia, kenapa mereka memalak pajak begitu keras?
Indonesia tidak punya sikap tegas
Dua negara yang mempunyai prevalensi perokok tertinggi selain Indonesia adalah China. Mereka (China) bukan hanya sebagai konsumen terbesar, tapi juga produsen tembakau terbesar pula.
Dan yang lebih penting lagi, China menolak tunduk kepada WHO. Pasalnya, dalam acara Hari Tanpa Tembakau Sedunia 2023, WHO memakai tema ‘Grow food, not tobacco’ alias ‘Tanam makanan, bukan tembakau’.
Tujuannya untuk mendesak pemerintah di dunia untuk mendukung petani beralih tanam ke tanaman pangan berkelanjutan untuk menjamin ketersediaan pangan dan kelengkapan gizi manusia.
Tambah lagi, Dirjen WHO, Dr. Tedros Adhanom Ghebreyesus menuduh bahwa, “Tembakau bertanggung jawab atas 8 juta kematian setiap tahun.”
Untuk tuduhan WHO tersebut, saya sudah menuliskan bantahannya di Merokok Mempercepat Kematian,” Ucap Orang yang Tak Mampu Berpikir Jauh dan Adil dan video di Bang, katanya ngerokok itu bakal ningkatin potensi kanker paru-paru, ya?
Sialnya, Indonesia mengamini hal tersebut, dan itu lah yang menyebabkan kita kalah berdaulat dari China.
Tetapi lihat lah China, menjadi produsen terbesar di dunia untuk tembakau original yang belum diproduksi. Angka ini naik 2,1 juta ton pada 2021 mengalahkan India dan Brazil.
Mereka tak gentar menjadi negara dengan tingkat tertinggi prevalensi merokok dan juga produsen terbesar tembakau.
Tembakau tidak hanya untuk rokok
Oke, Indonesia memilih tunduk di depan WHO, tapi masa iya rela menjadi bodoh juga.
Bayangkan, saking bencinya WHO pada tanaman yang jadi bahan dasar rokok ini, Dr. Ruediger Krech, selaku Direktur Promosi Kesehatan di WHO menegaskan, tembakau adalah tanaman yang menjadi ancaman bagi keamanan pangan dunia, termasuk dampaknya pada kesehatan dan petani.
Dipertebal dengan ungkapan Dr. Ruediger, “Para petani terpapar dengan pestisida dan bahan kimia, tembakau dan nikotin yang dihasilkan juga menyebabkan penyakit paru kronis dan keracunan nikotin.”
Sungguh gila pemerintah menerima itu secara mentah-mentah. Padahal, tembakau dapat dimanfaatkan sebagai pestisida nabati.
Tanaman itu mengandung zat alkaloid nikotin yang termasuk jenis neurotoksin yang ampuh untuk mengusir serangga.
Pestisida dari tembakau itu tidak mengandung bahan kimia yang justru akan merusak kualitas tanaman. Jadi ini sangat cocok untuk disebarluaskan dan dipakai oleh petani seluruh Indonesia.
Jadi pestisida yang efektif
Tapi, apakah pemerintah sadar akan potensi ini?
Saya rasa tidak, apalagi pihak antirokok yang sangat membenci IHT. Pasalnya, tembakau itu termasuk dalam jenis pestisida nabati, di mana bagian-bagian tanaman tembakau dimanfaatkan sebagai bahan utama dalam pembuatan pestisida. Beberapa bagian yang digunakan antara lain bunga, daun, akar, dan batang.
Pestisida berbahan dasar tembakau memiliki efektivitas yang tidak kalah cepat dibandingkan pestisida kimia atau berbasis residu.
Kandungan racun saraf dalam tanaman tersebut bersifat antifedant, yang berfungsi menghambat nafsu makan serangga, sehingga dapat melindungi tanaman dari hama secara alami.
Dengan begitu, masa iya tidak mau memanfaatkan tanaman tersebut dengan sebaik-baiknya? Padahal kita ini negeri agraris, seharusnya terdepan dalam hal pertanian.
Juru Bicara Komunitas Kretek, Rizky Benang
BACA JUGA: Menghisap Tembakau: Upaya Orang Jawa agar Tak Tampak “Hina” di Hadapan Bangsa Eropa
Leave a Reply