
“Kretek itu tidak ada di AS, tidak ada di Eropa, atau negeri-negeri lain. Hanya ada di sini, khas Indonesia,” – Mark Hanusz, penulis buku Kretek: The Culture and Heritage of Indonesia’s Clove Cigarettes.
***
Kretek adalah produk kebudayaan hasil kreativitas bangsa Nusantara. Peramunya adala H. Djamhari yang mencoba memadukan tembakau dan cengkeh.
Kretek hadir sebagai identitas masyarakat, menjadi budaya dan simbol perlawanan, pembeda dari penguasa dan penjajah.
Lebih jauh dari itu, kretek bisa menyatukan orang Indonesia. Kretek bisa ditemukan di mana saja. Dari Sabang hingga Merauke. Dari Miangas sampai Pulau Rote. Lebih dari 17 ribu pulau, dan lebih dari 300 bahasa, kretek ada dalam kehidupan masyarakat.
Jika dilacak, nusantara mempunyai jejak sejarah yang teramat panjang mengenai kretek. Sejak tembakau masuk ke pulau Jawa sekitar tahun 1600-an oleh pedagang dari Portugis. Nama tembakau sendiri diadopsi dari bahasa Portugis untuk tumbuhan itu: tumbaco.
Dalam laporan utusan VOC dan Babad Ing Sangkala, terkonfirmasi bahwa Sultan Agung, raja ketiga Mataram Islam, juga merupakan mengisap tembakau.
Di masa Mataram Islam juga ada kisah Roro Mendut. Lewat jualan rokok, seorang perempuan yang juga merokok itu melakukan perlawanan terhadap praktik poligami. Perjalan kretek berlangsung hingga puncak kelahirannya terjadi di abad ke-19.
Djamhari sang penemu kretek
Tahun 1880 menjadi awal mula lahirnya rokok kretek di Kudus. Orang yang pertama meraciknya adalah H. Djamhari.
Semua bermula ketika H. Djamhari menderita penyakit dada. Penyakit ini telah lama ia idap. H. Djamhari merasa sangat menderita setiap kali serangan sesak nafasnya datang.
Berbagai metode pengobatan sudah ia jalani. Namun, asma yang ia derita tak kunjung sembuh. Hingga akhirnya H. Djamhari mencoba metode lain.
Untuk mengobati penyakitnya itu, ia mencoba memakai minyak cengkeh. Ia gosokkan di bagian dada dan punggungnya.
Ternyata, berkat cara itu, kondisinya membaik, sekalipun belum sembuh total. Selanjutnya H. Djamhari mencoba mengunyah cengkeh. Hasilnya jauh lebih baik.
Hingga muncul ide lain, yaitu merajang cengkeh hingga halus, kemudian mencampurkannya dengan tembakau yang digunakan untuk merokok. Dengan cara ini, H. Djamhari bisa mengisap asapnya sampai masuk ke dalam paru-parunya.
Ajaibnya, penyakit sesak di dadanya sembuh. Lalu dari mulut ke mulut cara pengobatan ini menjadi terkenal. Teman-teman H. Djamhari beramai-ramai meminta rokok mujarab yang H. Djamhari buat.
Seiring waktu, temuan H. Djamhari itu kemudian menyasar pasar dalam skala besar. Temuan H. Djamhari itu kemudian lebih populer dengan sebutan “rokok kretek”. Karena ketika dihisap, mengeluarkan bunyi “kretek-kretek”.
Pengakuan sebagai warisan budaya
Ada dua bentuk untuk mengenang suatu peristiwa masa lalu sebagai sejarah, yaitu membangun monumen atau museum, atau menggelar festival hari peringatan.
Pada tanggal 3 Oktober 1986, sebuah gagasan telah diwujudkan dalam bentuk yang nyata. Museum Kretek di Kudus, Jawa Tengah didirikan atas prakarsa Soepardjo Roestam, Gubernur Jawa Tengah saat itu.
Potensi dan kontribusi kretek terhadap Kudus dan sekitarnya, juga tanah air, dinilai sangat besar. Dari sinilah gagasan mendirikan museum kretek tersebut muncul.
Pada tahun 2015, Museum Kretek telah memiliki 1.195 koleksi mengenai sejarah kretek dan terus berkembang hingga sekarang.
Di museum ini, koleksi sejarahnya tidak hanya dari peninggalan peristiwa masa lalu, tapi ada juga beberapa koleksi dari masa kini.
Koleksi Museum Kretek di antaranya adalah dokumentasi kiprah para tokoh pendiri pabrik kretek. Terdapat pula bahan dan peralatan tradisional pembuatan kretek, hasil produksi, benda-benda promosi, dan diorama proses pembuatan kretek.
Pendirian Museum Kretek sangat penting dalam rangka mengakui sejarah dan kebudayaan. Karena museum merupakan institusi yang memberikan kepada publik atas sebuah informasi dan pengetahuan atas sesuatu peristiwa atau atas sebuah benda. Lalu bagaimana perjalanan kretek diingat dalam bentuk hari peringatan?
Lahirnya Komunitas Kretek pada 3 Oktober sebagai tonggak perjuangan
Pada 3 Oktober 2010 Komunitas Kretek berdiri di Jember, Jawa Timur. Gerakan ini hadir dari satu kondisi maraknya kampanye anti tembakau di Indonesia.
Dengan landasan meyakini bahwa kretek bukanlah barang haram yang harus dihancurkan, melainkan adalah produk kebudayaan dan produk legal yang menjadi hak setiap individu dewasa untuk mengkonsumsinya.
15 tahun Komunitas Kretek konsisten berada di garda depan untuk melawan pihak-pihak yang ingin menghancurkan karya yang dibuat oleh Haji Djamhari itu.
Komunitas Kretek menjadi entitas dalam masyarakat yang membela hak dari para konsumen kretek. Hak untuk mendapatkan perlakuan yang adil dan membebaskan dari berbagai stigma buruk para konsumen kretek.
Ada banyak hal yang Komunitas Kretek lakukan dalam perjuangan membela kretek.
Komunitas kretek telah menerbitkan ratusan artikel dalam rangka advokasi dan edukasi di https://komunitaskretek.or.id/. Selain itu, Komunitas Kretek juga menerbitkan puluhan buku penelitian dan hasil ekspedisi yang bisa diakses di https://bukukretek.com/.
Komunitas Kretek pernah berhasil menggugat sampai ke Mahkamah Konstitusi mengenai wajibnya ruang merokok di Kawasan Tanpa Rokok. Semua gerakan perjuangan ini dilakukan karena kesadaran bahwa kretek harus tetap hidup dan tak boleh mati oleh mereka yang anti terhadap kretek! .
Maka dari itu, dalam rangka mengakui kretek sebagai bagian dari sejarah budaya yang berkontribusi kepada negeri, kretek perlu mempunyai hari peringatan.
Peringatan 3 Oktober
Menjadikan 3 Oktober sebagai Hari Kretek, tentu bukan didasari karena hari tersebut adalah tanggal kelahiran Komunitas Kretek.
Perlu diketahui, hadirnya Museum Kretek dan lahirnya Komunitas Kretek di tanggal yang sama itu bukan hasil dari skenario. Takdirlah yang menentukkan.
Lebih dari itu, tanggal inilah perjuangan kretek dimulai. Karena pada tahun 2010 ke belakang, tidak ada gerakan yang membela karya H. Djamhari.
Saat itu, industri hasil tembakau diserang habis-habisan oleh antirokok, pihak asing, dan farmasi (perang nikotin).
Namun demikian, gagasan tersebut tentu bukan hal yang mudah untuk kemudian diamini oleh negara. Mengingat, sampai saat ini, publik dan juga negara, tak sepenuhnya menyukai kretek.
Bahkan kretek dianggap sebagai barang maksiat yang harus disingkirkan, perlahan atau cepat. Namun, gagasan tak akan pernah mati, ia akan hidup dan tumbuh dan tak akan pernah dapat dibinasakan.
Tak seperti batik atau keris yang telah diterima dunia sebagai warisan budaya dunia, kretek adalah produk kebudayaan yang menjadi musuh bagi dunia. Musuh bagi kesehatan katanya.
Penanda perjuangan
Kondisi ini yang membuat kami menyadari bahwa mewujudkan tanggal 3 Oktober sebagai hari kretek, bukanlah hal yang mudah. Tapi tetap akan kami hidupkan mimpi tersebut. Dan kami perjuangkan.
Walau pengakuan atas Hari Kretek itu belum ada dari para penguasa yang memiliki hak untuk menentukan hal tersebut. Anehnya, negara justru malah mengakui Hari Tanpa Tembakau Sedunia pada 31 Mei.
Lantas, kenapa jika melakukan peringatan tidak dinisbatkan pada misalnya: tahun kelahiran H. Djamhari selaku penemu atau tahun ketika ia memukan racikan kretek?
Jawabannya: Karena pada tanggal 3 Oktober lah penanda perjuangan panjang membela kretek dilakukan. Karena setelah ditemukan sejak 1880-an, seiring waktu, kretek sebagai kekayaan budaya nusantara justru hendak dimusnahkan. Lahirnya Komunitas Kretek pada 3 Oktober 2010 menjadi deklarasi bahwa selama ada kami, kretek akan terus diperjuangkan.
Peringatan tidak sepatutnya disifati hanya sebatas seremonial belaka. Tapi juga bagaimana ia menubuh dalam perjuangan.
Juru Bicara Komunitas Kretek, Rizky Benang
BACA JUGA: Menghisap Tembakau: Upaya Orang Jawa agar Tak Tampak “Hina” di Hadapan Bangsa Eropa
- Tanaman Bisa Bicara dan Mendengar, Nilai Luhur dari Negeri Tembakau - 15 May 2025
- Antirokok Ajak Tak Menormalisasi Aktivitas Merokok karena Bisa Ditiru Anak-anak, Padahal Ada Loh Solusi yang Lebih Fair - 9 May 2025
- Perokok Anak Tinggi: Jangan Warung yang Dilarang Jualan Rokok, Tapi Fokuslah Mengontrol Si Anak - 6 May 2025
Leave a Reply