Propaganda negatif tentang rokok ini memang menyebalkan. Rokok melulu dianggap sebagai faktor tunggal kematian, sebagai pembunuh berbahaya, dan ancaman untuk masa depan bangsa. Tapi ketika bicara soal pelarangan total, para propagandis itu berkelit bahwa yang perlu dilakukan soal rokok hanyalah pengendalian. Iya, pengendalian.
Dulu, ketika buku Nicotine War diterbitkan di Indonesia, semua menyatakan kalau buku itu hanyalah pesanan industri rokok. Meski kemudian, satu persatu bahasan dalam buku tersebut akhirnya terjadi di Indonesia. Termasuk soal perang dagang dan upaya menguasai pasar produk tembakau alternatif.
Nah soal produk alternatif tembakau, terutama yang berupa rokok elektrik atau vape, setidaknya dalam setahun terakhir ini mendapatkan porsi bahasan tinggi oleh kelompok antirokok. Wacana-wacana diproduksi dengan tujuan untuk membuat regulasi yang secara langsung membedakan posisi rokok dan vape di masyarakat. Termasuk wacana soal rokok elektrik itu lebih sehat ketimbang rokok.
Selama ini, masyarakat melulu disuapi dengan wacana tersebut. Tujuannya tentu saja, mengubah pasar konsumen Indonesia yang masih terbiasa dengan kretek. Agar pasarnya bisa berubah ke rokok elektrik, tentu saja diperlukan strategi untuk mengubah paradigma konsumsi masyarakat. Dan inilah cara-cara yang mereka lakukan.
Pertama, ketika vape keluar, isu yang di-leading adalah wacana bahwa ini lebih sehat karena tidak dibakar. Lebih sehat karena menggunakan ekstraksi tembakau, pokoknya lebih sehat karena ini bukan rokok konvensional. Meski kemudian, oleh sebagian kalangan kesehatan rokok elektrik tetaplah rokok yang dianggap berbahaya.
Wacana ini pertama-tama diembuskan oleh beberapa ahli luar negeri. Kemudian diduplikasi oleh mulut-mulut penggunanya, hingga kemudian banyak vapers yang gemar mencemooh temannya yang merokok. “Eh lu kok masih ngisep begitu, bahaya tahu, mending rokok elektrik aja nih.”
Setelah wacananya diembuskan, aksi lanjutan untuk mewujudkan tujuannya beralih ke arah yang lebih strategis: mendorong regulasi.
Yang perlu dipahami, dorongan soal regulasi rokok elektrik ini tidak main-main. Bukan hanya mendorong regulasi yang mengatur penjualan atau tarif cukainya agar bisa bebas dijual, tetapi juga mengupayakan legitimasi hukum dalam wacana rokok elektrik lebih sehat tadi. Sungguh mengerikan, sesuatu yang ada dalam tataran ide ingin dilegitimasi dengan produk hukum.
Hal ini dibutuhkan oleh para pedagang rokok elektrik. Bukan pedagang secara harfiah loh, melainkan para pemain besar yang ingin menguasai perdagangan nikotin. Dengan legitimasi hukum itu, maka masyarakat bisa dengan lebih mudah mempercayai wacana tersebut. Kemudian, dengan legitimasi hukum ini diharapkan pasar konsumen tembakau bakal bergeser untuk mengonsumsi vape.
Apalagi, isu yang didorong kemudian adalah rokok elektrik sebagai solusi mengurangi prevalensi perokok di Indonesia. Luar biasa. Mengurangi prevalensi perokok dengan menyuruhnya mengonsumsi rokok elektrik. Sebuah logika yang benar-benar keluar dari rakyat akal sehat.
Tidak tanggung-tanggung, wacana tersebut dikeluarkan oleh kelompok akademisi yang memiliki legitimasi akademis untuk lebih mudah dipercaya masyarakat. Sama seperti keberadaan Rocky Gerung untuk menggerus wacana akal sehat yang lebih bisa diterima masyarakat hanya karena Ia adalah seorang akademisi. Dalam konteks ini, adalah seorang Dosen Tamu di University of Singapore bernama Tikki Pangestu yang mengeluarkan solusi ajaib untuk mengurangi prevalensi perokok ini.
Pertanyaannya kemudian, apakah benar prevalensi perokok bakal berkurang dengan solusi ini? Bisa jadi sih, mengingat para konsumen rokok elektrik ini lebih senang disebut vapers ketimbang perokok. Pada akhirnya nanti, jika solusi ini benar-benar berjalan, populasi perokok bakal berkurang untuk kemudian digantikan para vapers. Begitu saja hasil dari solusi (dagang) super brilian ini.
- Panduan Menanam Tembakau untuk Pemula - 23 July 2023
- Benarkah Candu Rokok Menjerat Anak Kecil? - 21 June 2023
- Berapa Harga Rokok Cigarillos? - 12 June 2023