
Catatan Ekspedisi Emas Hijau II: Mengawali dari Tambeng.
Rombongan Ekspedisi Emas Hijau Jilid II berangkat dari Rumah Kretek Indonesia (Yogyakarta) pada Jumat, 18 Juli 2025 pukul 13.00 WIB. Kami bertualang ke Jawa Timur, khususnya ke daerah Tapal Kuda.
Tujuan kami adalah mencatat kehidupan petani tembakau. Ekspedisi ini adalah kelanjutan dari Ekspedisi Emas Hijau yang pertama di Jawa Tengah, di tiga kota, yaitu Temanggung, Boyolali, dan Klaten.
Tapal Kuda adalah sebutan untuk kawasan di ujung timur Provinsi Jawa Timur. Istilah Tapal Kuda bukan sebutan administratif resmi, melainkan sebutan geografis kultural. Geografisnya menyerupai tapal kuda bila dilihat dari atas peta. Terdapat pegunungan tinggi menjulang di kawasan ini, seperti Gunung Ijen dan Argopuro. Lalu, secara sosial budaya, kawasan ini dihuni oleh etnis Jawa, Madura, Osing dan sedikit etnis Bali.
Kawasan ini mencakup tujuh kabupaten, di antaranya: Pasuruan (bagian timur), Probolinggo, Lumajang, Jember, Bondowoso, Situbondo, dan Banyuwangi. Namun, kami hanya fokus ke dua daerah saja, yakni Situbondo dan Jember.
Rumah Kretek Indonesia dibagi menjadi dua tim. Saya dan Saar Abdullah (Angga) meneliti petani tembakau di Situbondo. Sementara Khoirul Atfifudin di Jember.
Rencana awal: seharusnya masing-masing kota diisi dua orang. Namun, Bayu Adhilaksono sedang dalam masa duka usai “kepergian” sang ibu. Maka dari itu, rencana berganti: Khoirul Atfifudin ikut sebentar ke Situbondo, sebelum akhirnya kami antar ke Jember.
Para santri Besuki menanam tembakau
Di perjalanan, kami transit semalam di Surabaya. Baru kemudian pada 19 Juli 2025 pukul 13.00 WIB, kami melanjutkan perjalanan ke Situbondo. Melewati jalan Pantura yang dipenuhi dengan debu dan truk-truk besar. Termasuk berpacu dengan raja jalanan; ibu-ibu yang membuat adrenalin motoran semakin memuncak–karena mereka tidak memakai lampu sein dengan benar, dan bahkan belok atau berhenti mendadak.
Ketika sampai di daerah Besuki pada sore hari sekitar pukul 15.30 WIB, kami berhenti sejenak karena melihat aktivitas para petani yang sedang menanam. Lahannya persis di pinggir jalan raya. Rupanya mereka adalah Pak Yai dan Nyai beserta para santri Babus Salam Al-Ukhrowi yang sedang membersihkan lahan bekas padi, sekaligus menanam tembakau.

Tidak hanya mereka, warga sekitar juga ada yang sedang ladang membersihkan lahan dari rerumputan supaya tembakau tumbuh maksimal. Sayangnya, kami tidak bisa berlama-lama Meskipun Bu Yai sudah menawari mampir. Kami harus menunaikan janji bertemu dengan Cak Marlutfi di Pendopo Bupati. Sebelum berpamitan, saya berjanji akan mengunjungi pesantren ini lagi.
Kami sampai di Situbondo pada pukul 18.30 WIB. Di pendopo, kami disambut oleh Cak Marlutfi, Cak Eeng, Cak Hari, dan kawan-kawan lainnya yang tidak bisa saya sebut satu persatu. Di sana kami menjelaskan maksud dan tujuan kami mengenai Ekspedisi Emas Hijau. Bahwasanya kami datang untuk belajar, bukan menggurui. Ikut serta kegiatan petani dan belajar mengenai kehidupan sebagai petani tembakau. Sekaligus mengulik sejarah, budaya, tradisi, dan ekonominya.
Tidak hanya itu, kami juga menyampaikan ingin berjejaring dengan komunitas anak muda di sana. Kami ingin memberi apa yang kami punya, dan belajar dari mereka tentang apa yang tidak ada di kami. Saling berbagi dan menguatkan jaringan.
Setelah berdiskusi sambil disuguhi kopi hitam dengan gelas khas orang Madura (gelas ini jamak ditemukan di Mato Kopi yang banyak berdiri di Yogyakarta), kami lalu menentukan lokasi mana yang akan kami kulik. Keputusan akhirnya diambil, bahwa lokasi pertama belajar kami adalah Dusun Tambang Emas, di Desa Lubawang, Kecamatan Banyuglugur. Karena kebetulan, Cak Eeng sendiri adalah orang Besuki, dekat dengan Dusun Tambang Emas.
Lika-liku ke masuk ke Dusun Tambeng
20 Juli 2025 pukul 11.00 WIB, kami bertiga berangkat ke Besuki dari Situbondo. Perjalanan ditempuh selama sejam. Di Besuki, kami ngopi sejenak di angkringan, bersama, Cak Eeng, Cak Rusli, Cak Sumyadi, dkk.
Di sana kami menceritakan ulang tujuan kami untuk meneliti dan belajar kehidupan petani tembakau di dusun Tambang Emas. Namanya memang Dusun Tambang Emas, tapi masyarakat lebih akrab menyebutnya Dusun Tambeng. Dalam tulisan ini, saya akan tulis Dusun Tambeng saja.
Cak Eeng mengawal kami untuk bertemu Sekretaris Desa Lubawang, Pak Rawi. Sosok penjual tembakau di Besuki. Di rumah, Pak Rawi, kami berbincang supaya bisa mengatur jadwal bertemu dengan Pak Kades Lubawang. Silaturahmi dilakukan supaya kegiatan kami di Dusun Tambeng berjalan lancar. Karena kami niatnya bukan sekadar untuk ngobrol, tapi tinggal.
Sembari menunggu kabar dari Pak Kades kapan bisa ditemui, kami pun ditawari untuk mencoba tembakau Tambeng yang terkenal khas dan gurih. Dari mulai tembakau lawasnya (tahun 2022) hingga tembakau 2024.
Tembakau Tambeng juga mempunyai tiga varian rasa, serta perbedaan berat-ringan tarikan. Dalam bahasa Maduranya disebut, narek (tegas), kerreng (lebih tegas), seddeng (medium), bek cia (agak halus), serta cia (halus lembut).

Kebetulan Pak Rawi mempunyai beberapa varian, termasuk tembakau yang lawas. Semua tembakau tersebut terlipat rapi dibungkus plastik merah dan kuning berbentuk persegi panjang. Di plastiknya tertulis jenis varietas, varian, serta tahun panennya. Kami pun ditawari untuk mencobanya.
Menurut Pak Rawi, tembakau Tambeng yang asli itu sensasi pahitnya tidak terlalu terasa. Jika rasa pahitnya kuat, berarti kualitasnya kurang. Pak Rawi juga menunjukkan bahwa tembakau Tambeng itu bila diangkat tidak akan terpotong.
Tembakau Tambeng
Saya mencoba semua varian tembakau Tambeng yang Pak Rawi punya. Ada yang memang rasa pahitnya tipis, ada juga yang cukup kuat meninggalkan rasa pahitnya setelah dihisap. Tembakau yang lawas lah yang memberikan rasa pahit yang tipis.
Tembakau lawas juga memberikan sensasi rileks ketika dihisap. Mungkin inilah yang menyebabkan tembakau Tambeng kualitasnya dianggap super. Jenis varietas yang kami coba itu namanya Krepik dan Bukabuh.
Setelah puas mencoba semua varian tembakau Tambeng, rupanya tidak ada kabar pasti kapan Pak Kades bisa ditemui. Kata Pak Rawi, Pak Kades sedang sibuk rapat. Mungkin baru bisa diajak bertemu Senin pagi, 21 Juli 2025.

Ketika petang telah tiba, kami pun berpamitan. Pak Rawi berjanji akan terus memberi kabar kapan Pak Kades bisa ditemui. Jadi bisa dibilang, petualangan kami untuk menjelajah Tambeng hanya baru permukaannya.
Untuk mengobati rasa petualangan yang mendebar ini, kami pun menjelajah ladang tembakau di daerah Kecamatan Mlandingan. Sekitar 18 Km dari Dusun Tambeng. Hingga malam tiba, ternyata Pak Raw juga belum bisa memberi kabar pasti.
21 Juli 2025, pagi hari, Pak Rawi akhirnya memberi kabar. Ternyata Pak Kades tidak bisa ditemui. Belum ada kepastian kapan waktu luangnya. Akhirnya, kami memutuskan untuk melipir ke Sudut Kalisat yang berada di Jember. Dalam rangka mengantar Khoirul Atfifudin yang akan tinggal di sana selama seminggu kedepan. Memanfaatkan waktu singkat mendengar cerita tembakau di Ds. Kalisat, Kec. Kalisat, Kab. Jember. Sembari menunggu kabar dari Pak Rawi.
Juru Bicara Komunitas Kretek, Rizky Benang
BACA JUGA: Mencicipi Tembakau Siluk, Tembakau Terbaik asal Imogiri: Beri Sensasi “Makcleng!” yang Menenangkan
- Rokok yang Dihisap Hadi (Fedi Nuril) dalam Film “Pangku” dan Jangan Ditiru! - 15 November 2025
- Soeharto: Bapak dari “Pencekik” Petani Cengkeh Bisa-bisanya Jadi Pahlawan Nasional - 10 November 2025
- Kopi Pangku hingga Asap Kretek di Pantura, Potret Perjuangan Hidup yang Tak Bisa Disikapi Pakai Urusan Moral Belaka - 10 November 2025
Leave a Reply