
Sebagai perokok saya sangat resah dengan cara pandang masyarakat dan pemerintah yang kelewat benci terhadap perokok. Rokok kerap kali dianggap gerbang pembuka kemerosotan moral, menuju narkoba, pintu kemaksiatan, hingga pemanggil kematian.
Saya jadi teringat dengan penggalan lirik lagu karya Iwan Fals yang berjudul “Manusia Setengah Dewa”. Berikut penggalan liriknya:
“Masalah moral, masalah akhlak”
“Biar kami cari sendiri”
“Urus saja moralmu”
“Urus saja akhlakmu”
“Peraturan sehat yang kami mau”
Lagu ini mengkritik bahwa Presiden dan para pejabat perlu mendengar suara rakyat, jangan anggap memegang amanah rakyat sebagai permainan.
Karya Iwan Fals masih relate sampai sekarang. Sebab, alih-alih menegakkan aturan, membuat yang sehat, menurunkan harga pangan, dan membuka lapangan pekerjaan, pemerintah justru lebih suka membuat aturan yang mengekang kebebasan berpendapat dan menyengsarakan rakyat.
Itulah yang Iwan Fals suarakan dalam lagunya. Kenapa pemerintah malah sibuk ngerecokin moral dan akhlak rakyat? Biarlah itu menjadi urusan rakyat sendiri.
Perokok Bukan Berarti Tak Bermoral
Begitu pula dengan rokok. Merokok adalah kegiatan menghisap tembakau. Hal sederhana yang menciptakan lapangan pekerjaan sekaligus melestarikan budaya.
Akan tetapi kenapa kegiatan merokok kerap diasosiakan menjadi urusan moral. Padahal dulunya rokok terkenal sebagai obat yang menyembuhkan penyakit asma, juga menjadi alat perlawanan melawan penjajah. Baik itu melawan orang Belanda maupun melawan watak manusia yang feodal dan patriarki.
Lalu di masa kini, merokok berputar 180 derajat dianggap perilaku tak bermoral yang mengganggu kenyamanan sekaligus gerbang menuju kerusakan. Dari mana awal itu bermula? Jawabannya jelas, tetapi kerap dianggap hanya sebatas konspirasi: merokok menjadi buruk karena narasi perang dagang dari industri farmasi yang berebut nikotin yang terkandung dalam rokok.
Merokok Bukan Sumber Tunggal Masalah Kesehatan
Sejujurnya, saya tidak terlalu peduli atas anggapan orang terhadap rokok, tapi di sisi lain saya merasa ini gawat. Ini bukan sekadar tidak suka merokok, melainkan benci dan anti hingga mengakibatkan logika berpikir yang salah.
Dan jika pola pikir sudah terserang, itu artinya sudah gawat, kita tak lagi kritis menyikapi fenomena.
Saya beri contoh nyata. Industri kesehatan senang sakali menyalahkan rokok sebagai penyebab utama kematian. Hal ini pun masyarakat amini, apalagi dari pihak antirokok.
Pasalnya, narasi yang seolah peduli dengan kesehatan ini keliru. WHO sudah mengatakan bahwa polusi udara lah yang berperan lebih besar. Banyak orang tidak sadar dengan ini. Salah satu polusi udara itu muncul dari asap kendaraan.
Tetapi bayangkan jika kita kadung benci rokok (sekaligus perokok), kita jadi luput bahwa pemerintah gagal memberikan kesejahteraan bagi masyarakat. Inilah yang saya maksud gawat, pola pikir masyarakat dijauhkan dari pikiran yang kritis.
Juru Bicara Komunitas Kretek, Rizky Benang
BACA JUGA: Rokok Kretek adalah Budaya Asli Indonesia yang Tak akan Bisa Diklaim Malaysia
- Pentingnya Rokok bagi Orang Madura untuk Membangun Kerukunan - 10 February 2025
- 4 Falsafah Merokok dalam Prosesi Adat Batak Angkola di Kota Padangsidimpuan - 7 February 2025
- Di Suku Tengger Perempuan Merokok Tidak Distigma Negatif, Jadi Teman saat Kerja di Ladang dan Simbol Kemandirian - 6 February 2025
Leave a Reply