
Rasa-rasanya, Malaysia tak akan akan pernah bisa mengklaim rokok kretek, sebagaimana mereka kerap mengklaim budaya-budaya Indonesia lain.
***
Kita kerap kali kesal dengan kebudayaan kita yang seenak jidat diklaim oleh Malaysia. Tapi wajar juga sih, terkadang mereka lebih bangga daripada masyarakat Indonesia sendiri.
Semisal dalam konteks batik, seandainya Malaysia tidak mengklaim batik, apakah mungkin batik jadi style sehari-hari, tidak hanya dalam momen formal saja?
Saya rasa tidak, selama stereotip batik hanya untuk kondangan, maka selama itu pula akan ada rasa malu memakai batik di luar acara kondangan.
Cerdiknya Malaysia
Sebenarnya tidak masalah jika Malaysia mau asal klaim sesuatu yang ada di Indonesia. Tapi tolong, dong, jangan pilih-pilih. Kenapa carok, sound horeg dan klitih tidak mereka klaim sekalian (canda Dek Malay).
Tetapi justru di sini cerdiknya Malaysia. Mereka peaky eater. Mereka tahu masyarakat kita memang tidak pandai menghargai budaya. Termasuk dalam konteks rokok, baik itu dari masyarakat maupun pemerintah, terkesan enggan mengakui bahwa rokok kretek adalah produk kebudayaan kita.
Mungkin karena kita sudah terlalu sering terpapar narasi bahwa rokok hanya membawa keburukan (yang sebenarnya cuma propaganda perang dagang dari industri farmasi).
Saking malunya, beberapa masyarakat menganggap budaya rokok hanyalah milik Amerika.
Memang, secara historis, masyarakat lokal Amerika lah yang memulai budaya merokok. Tetapi ketika sudah masuk ke Hindia Belanda, masyarakat kita menemukan inovasi baru bernama rokok kretek.
Apakah Malaysia Perlu Mengkalim Rokok Kretek Dulu?
Apakah rokok kretek perlu diklaim dulu oleh Malaysia, baru kita marah, mengakui, dan bangga pada rokok kretek sebagai warisan budaya kita?
Bukankah itu telat dan semakin membuktikan bahwa kita tidak pandai menghargai kebudayaan?
Padahal rokok kretek yang merupakan bagian dari Industri Hasil Tembakau (IHT) adalah sektor yang menghidupi banyak orang. Bahkan mampu bertahan dari berbagai krisis dan bencana yang sedang terjadi.
Pertanyaannya, kenapa sampai detik ini Malaysia tidak berani mengklaim rokok kretek sebagai bagian dari kebudayaan mereka? Apakah Malaysia antirokok? Oh tentu tidak. Produk rokok putih kencang di sana.
Hal yang wajar, karena Malaysia merupakan negara giveaway Inggris. Sebab Inggris mempunyai perusahaan rokok yang bekerja sama dengan Amerika, yaitu British American Tobacco (BAT), sudah barang pasti rokok putih akan menggempur Malaysia.
Tetapi ada alasan lain kenapa Malaysia tidak atau belum mengklaim rokok kretek. Kita ambil contoh kenapa batik dan rendang mereka klaim. Ya karena secara historis batik dan rendang juga sampai ke sana, dan mereka juga mampu membuatnya.
Dan yang lebih jelas lagi adalah orang Malaysia tidak sekreatif orang Indonesia yang suka bereksperimen. Salah satunya meracik bahan seperti yang H. Djamhari lakukan, sebagai penemu rokok kretek.
Rokok Kretek sebagai Obat Asma
Kembali ke masa silam pada zaman Hindia Belanda, tepatnya di Kudus Jawa Tengah. Kota ini adalah tempat lahirnya rokok kretek. Sebab, di Kudus lah industri rumahan kretek bermula.
Sebelum rokok kretek muncul di Kudus, masyarakat–khususnya Jawa–memang sudah mengenal tradisi merokok. Bahkan jauh hari sebelum H. Djamhari meracik ramuannya, rokok cengkeh sudah ada sejak abad ke-17.
Kendati demikian, rokok kretek belum menyentuh pasar secara luas karena memang belum ada industri rumahannya.
Bahkan, di Kudus ada satu toko yang gencar promosi sebagai penjual rokok, yakni toko milik Mevr.J.W.C Adena.
Dia menjual rokok dan tembakau milik perusahaan Thompson dengan label Havana Sigaren. Menariknya, sezaman dengan peredaran rokok tersebut, Wanne van Aalst, sebuah toko obat di Semarang menjual rokok untuk obat asma atau sesak napas.
Sekilas Kisah Hadji Djamhari
Pada suatu waktu, H. Djamhari menderita penyakit dada. Penyakit ini telah lama dia idap. H. Djamhari merasa sangat menderita setiap kali serangan sesak napasnya datang.
Untuk mengobati penyakitnya itu, dia mencoba memakai minyak cengkeh, dia gosokkan di bagian dada dan punggungnya.
Ternyata, dia merasa mengalami kebaikan, sekalipun belum sembuh sama sekali. Selanjutnya H. Djamhari mencoba mengunyah cengkeh. Hasilnya jauh lebih baik, hingga kemudian terlintas dalam pikirannya untuk memakai rempah-rempah ini sebagai obat.
Adapun caranya, sangat sederhana sekali. Cengkeh dirajang halus, kemudian dicampurkan pada tembakau yang dia gunakan untuk merokok. Dengan cara ini, H. Djamhari bisa menghisap asapnya sampai masuk ke dalam paru-parunya.
Ajaibnya, penyakit sesak di dadanya sembuh. Lalu dari mulut ke mulut cara pengobatan ini menjadi terkenal. Teman-teman H. Djamhari beramai-ramai meminta rokok mujarab yang H. Djamhari buat.
Seiring waktu, temuan H. Djamhari itu kemudian menyasar pasar dalam skala besar. Adalah Nitisemito yang tersohor di industri. Temuan H. Djamhari itu kemudian lebih populer dengan sebutan “rokok kretek”. Karena ketika dihisap, mengeluarkan bunyi “kretek-kretek”.
Penemuan ini sangat menakjubkan, dan hanya bisa tercipta dari budaya yang suka meramu dan berpikiran kreatif. Menurut saya, kemampuan inilah yang tidak Malaysia miliki. Itulah sebabnya agak riskan jika Malaysia mau mengklaim rokok kretek.
Juru Bicara Komunitas Kretek, Rizky Benang
BACA JUGA: Hikayat Seorang Perempuan yang Merokok untuk Menolak Praktik Poligami
- Pentingnya Rokok bagi Orang Madura untuk Membangun Kerukunan - 10 February 2025
- 4 Falsafah Merokok dalam Prosesi Adat Batak Angkola di Kota Padangsidimpuan - 7 February 2025
- Di Suku Tengger Perempuan Merokok Tidak Distigma Negatif, Jadi Teman saat Kerja di Ladang dan Simbol Kemandirian - 6 February 2025
Leave a Reply