Press ESC to close

Psikologi Perokok

Sejak dahulu saya yakin, kalau sejatinya musuh anti-rokok bukanlah para perokok. Musuh anti-rokok yang waras dan para perokok etis adalah sistem yang dibuat oleh rejim pemerintah sehingga seolah keduanya saling bermusuhan. Atau di beberapa level: harus bermusuhan. Alasannya sederhana, keduanya sama-sama berhak atas cara hidup  yang dipilihnya.

Sebab dari banyak segi, pertarungan horizontal semacam ini tidak strategis, tidak substansial, dan hanya berakhir pada destruksi psikis. Sebagian besar perdebatan antar kedua pihak ini hanya reaktif dan miskin solusi.

Salah satu contohnya adalah soal kemelut yang timbul dari langkah PT KAI. Sebagai pengelola fasilitas publik, PT KAI memang berhak untuk membersihkan wilayah usahanya dari asap rokok. Dengan syarat, ada satu area yang diperuntukkan oleh perokok.

Tapi yang terjadi adalah, tidak ada ruang khusus merokok di kereta api yang berjalan. Sehingga para perokok terpaksa melanggar aturan bebas asap rokok yang telah ditetapkan, dan berhadapan langsung dengan non-perokok, yang sebagiannya adalah anti-rokok. Padahal sederhana saja, jika di kereta api yang berjalan ada misalnya, gerbong khusus merokok, masalah ini akan selesai.

***

Pada titik pemikiran tersebut, saya menyangka kalau salah satu hal yang perlu dilakukan adalah terus memelihara kesalingpahaman. Kita telah belajar bahwa segala bentuk labelisasi satu pihak pada pihak lain secara sosial tidak menyelesaikan konflik. Malah membuat konflik menjadi makin hebat dan bengis.

Kasus-kasus berlatar agama yang terjadi belakangan telah mengkonfirmasi hal ini. Bagaimana FPI secara sepihak melabeli beberapa kelompok dengan kata ‘kafir’, berakhir dengan kekerasan dan perampasan hak warga negara. Sama sekali tidak mencerminkan makhluk yang dikaruniai akal untuk berpikir dan naluri kemanusiaan.

Hari ini, sebagian besar para perokok umumnya mengerti, lewat kajian-kajian medis yang membanjir di banyak media massa—tentu saja sebagian besar masih bisa diperdebatkan kevalidannya—bagaimana situasi psikologis non-perokok yang anti-rokok. Bagaimana para perokok harus menahan keinginan untuk merokok di sekitar ibu hamil dan atau menyusui, lansia, serta anak-anak.

Akan tetapi masih sangat sedikit kajian yang dilakukan dari titik sebaliknya. Dari sudut pandang perokok. Sehingga sangat muncul pertanyaan yang bunyinya kira-kira begini: “Kenapa sebagian orang begitu fanatik terhadap rokok?” atau “Kenapa susah sekali untuk berhenti merokok?” atau “Kenapa para perokok senang sekali melakukan hal yang sia-sia dan membakar uang?”

Satu dari sangat sedikit orang yang melakukan hal itu adalah Ernest Dichter. Pada tahun 1947, ia menerbitkan buku berjudul Psychology of Everyday Living. Meski tidak secara khusus membahas bagaimana situasi psikis para perokok, buku termasyhur di kalangan pakar psikologi ini cukup banyak membahas tentang para perokok.

Baca Juga:  10 Manfaat Rokok Bagi Kesehatan Manusia

Apalagi, jika kita memakai data dari Kementerian Kesehatan saja, jumlah perokok di Indonesia adalah sekitar 61 juta orang, atau hampir sepertiga dari total seluruh penduduk. Maka wajar, bahkan penting, kiranya apabila efek psikologis saat aktivitas merokok juga dikabarkan dalam rangka mencapai kesalingpahaman tersebut.

Poin pertama adalah yang dituliskan oleh Dichter adalah, bahwa merokok itu menyenangkan. Apa yang dimaksud menyenangkan di sini adalah sejenis ekspresi lepasnya kita dari beban sehari-hari. Bagi manusia dewasa, beraktivitas sejak pagi hingga malam berarti adalah berjuang sepanjang waktu. Ketika waktu istirahat pun, pekerjaan masih tetap hinggap di pikiran sebagian orang sehingga hidup nyaris seluruhnya hanya untuk berjuang.

Merokok adalah keinginan universal atas ekspresi diri. Ketika merokok, kita merasakan sesuatu yang menyenangkan. Merokok juga tidak membuat repot atau membuang banyak energi pikiran.

Hal tersebut juga terkait dengan poin kedua, yaitu rokok adalah hadiah bagi diri sendiri. Sehari-hari kita bekerja, memenuhi kebutuhan yang sekian banyak jumlahnya. Tentu saja di saat tertentu kita membutuhkan hadiah untuk diri sendiri. Hadiah tersebut adalah menyulut sebatang rokok lalu menghisapnya dalam-dalam. Merokok adalah hadiah sederhana yang pantas dan membahagiakan.

Umumnya, rokok pertama setiap hari adalah sejenis bekal untuk memulai hari-hari yang berat. Rokok terakhir, adalah hadiah bagi diri sendiri karena telah bekerja keras. Bagaimanapun hasil yang didapat hari itu.

Seringkali, merokok adalah obat untuk mengusir bosan paling mujarab. Ada saat-saat tertentu dimana kita dihadapkan pada situasi menunggu yang berkepanjangan. Hingga kita tidak tahu lagi untuk apa waktu dihabiskan. Sensasi menghisap, ditambah lagi melihat asap yang beterbangan di sekitar mata kita adalah hal yang melegakan.

Di lain sisi, merokok juga menyadarkan bahwa kita tidak sendirian ketika menunggu. Rokok, seperti benda-benda lain seperti buku atau alat musik, seringkali adalah teman terbaik.

Rokok, atau di Indonesia dikenal sebagai kretek, adalah produk ekonomi. Meski demikian, kretek punya ikatan dengan aspek-aspek kebudayaan hingga ditengarai bisa menjadi kode kultural. Di kalangan perokok, rokok kretek biasa digunakan sebagai penanda waktu dan penghubung dalam relasi sosial.

Kalau seseorang ditanya butuh berapa lama mengerjakan sesuatu atau sampai ke satu tempat tertentu, ia bisa menjawab dengan sebuah atau dua buah batang rokok kretek, yang dapat diartikan tidak terlalu lama.

Sementara di tempat-tempat publik yang masih ramah, rokok kretek biasa digunakan untuk saling memperkenalkan diri. Seseorang akan dengan senang hati menawarkan rokok kreteknya kepada orang lain sebagai awal-mula pembicaraan atau perkawanan. Ini yang agak susah ditemukan di komoditas-komoditas lainnya.

Baca Juga:  Sudahkah Kawasan Tanpa Rokok Berjalan Efektif?

Di sisi yang lebih personal, asap rokok juga bisa bisa menjadi penanda kenangan. Selain ada perasaan menyenangkan ketika kita berhasil membuat cincin awan dari asap rokok, rokok pertama adalah kenangan yang tidak akan terlupakan. Seringkali ketika kita menghembuskan asap rokok, kita melihat diri kita sendiri.

Di banyak tempat, kita menemukan beberapa orang yang sangat fanatik pada suatu merk rokok. Benar, karena merk rokok adalah sekeping identitas.

Ketika kita bingung, kita seringkali memainkan rokok di jari-jari kita. Sementara menghisap dalam-dalam sebatang rokok bisa membuat kita sejenak agak menarik diri dari momen-momen berat. Membuat kita berpikir dengan sedikit tenang ketika asap sudah mulai melewati tenggorokan dan sampai di dada. Juga, saat kita bertemu dengan momen menegangkan dan napas kita terburu atau tersengal, menghisap rokok memaksa kita untuk bernapas dalam-dalam.

Tidak bisa disangkal, banyak orang-orang hebat yang merokok sepanjang waktu. Karena merokok pada dasarnya juga membantu kita berpikir. Seperti yang sudah disebut di atas.

Di jaman yang serba cepat ini, waktu luang adalah sebuah kelangkaan. Bersantai adalah sebuah kemewahan yang tidak semua orang bisa melakukannya. Merokok adalah cara murah dan paling sederhana untuk bersantai. Kita cukup menyulur tembakau yang telah dilinting, dan cresss….

***

Selama ini, para perokok selalu dianggap sebagai pesakian dan merokok adalah selayaknya tindakan kriminal. Padahal, sama sekali tidak ada aturan atau regulasi yang melarang aktivitas merokok. Di atas, ada sekian alasan yang mungkin mampu menjawab pertanyaan sini dari anti-rokok, “kenapa ada orang yang terus saja merokok?”

Dalam masyarakat yang demokratis, kita telah sama-sama paham jika ada hak dan kewajiban yang melekat dalam istilah warga negara. Sementara di satu sisi para perokok sudah sedemikian keras mengampanyekan etika merokok untuk menghormati hak non-perokok, sudah selayaknya non-perokok juga memahami aspek personal para perokok untuk tetap melakukan aktivitasnya tersebut.

Sumber Foto: Eko Susanto (Flickr)

Arys Aditya

Arys Aditya

Penerjemah lepas dan sampai sekarang bergelut di Kelompok Belajar Tikungan Jember, Jawa Timur.