Search
rapor merah

Kenapa Jokowi Bisa Selip Lidah Soal Rokok?

Bapak Presiden Jokowi memang hebat dalam hal public speaking. Beliau sepertinya tahu kapan mengumpankan kata-kata yang memang tepat sasaran untuk jadi santapan media massa. Tahu sendiri kan, mau ikan mentah, ikan busuk, atau pun ikan goreng ada harganya, ada pasarnya. Belum lama, kita serasa diajak bernostalgia kembali dengan diksi yang digunakan rezim Orde Baru, setelah Jokowi mengucapkan kata ‘gebuk’ dalam pernyataannya soal PKI dan Ormas anti Pancasila.

Juga kita masih ingat ketika Jokowi dengan PeDe-nya di forum ekonomi internasional tiba-tiba tanpa teks pidato, ia mengatakan “I will you investment to Indonesia”. Yang paling kerap lagi, terutama bagi saya yang perokok dan kerap mengalami stigmatisasi, adalah ketika Jokowi berbicara tentang kemiskinan, dimana kata kunci ‘rokok’ tak jarang dilontarkan dan dikaitkan sebagai penyebab utama kemiskinan.

Jelas bukan tanpa alasan Jokowi mengalami perkara selip lidah. Terutama perkara rokok. Bagi saya, selip lidah Jokowi menyoal rokok yang dikaitkan dengan kemiskinan, tentu tak berarti menjadi guyonan nasional layaknya bocah SD yang gagal menyebut ikan tongkol. Selain karena ada kemungkinan bahwa teks pidatonya sudah disiapkan dengan di dalamnya menebalkan kata kunci rokok, pula persoalan rokok memang lebih empuk untuk diumpankan, ketimbang persoalan tarif dasar listrik, kurangnya lapangan pekerjaan, dan mental koruptif para pejabat negara. Sampai di sini Anda jangan lantas sepakat juga.

Istilah selip lidah jika kita merujuk teori psikoanalisis, yang sebelum teori psikologi modern berkembang disebut-sebut sebagai Freudian slip. Fenomena psikolinguistik ini oleh Sigmund Freud disimpulkan sebagai adanya hambatan ekspresi seksual yang keluar lewat kesalahan mengucapkan kata yang seharusnya.  

Namun lain bagi Profesor Gary Dell, seorang ahli di bidang linguistik dan psikologi dari University of Illinois at Urbana, Ia menyatakan bahwa teori Freudian slip sebagai sesuatu yang tidak ilmiah. Ia malah merujuk fenomena selip lidah sebagai kompetisi antar-noda di dalam otak kita. Kadang ketika jejaring di dalam produksi tuturan kita begitu sibuk maka selip lidah sangat besar terjadi.

Yang menarik lagi terkait fenomena tersebut berdasar pandangan Jack Schafer, seorang agen khusus FBI yang punya keahlian di bidang interogasi. Ia tidak bicara mengenai Freudian slip, yang kemudian dinilai sebagai sesuatu yang sudah usang oleh sejumlah ahli psikologi. Schafer lebih bicara bagaimana seseorang bisa memproduksi tuturan yang tidak tepat. Faktor-faktor seperti niatan bohong, konsumsi sesuatu yang memabukkan, faktor usia, dan kecapekan.

Ya, kecapekan sangat bisa membuat kerja noda di dalam otak di dalam produksi tuturan kadang tidak sinkron antara maksud sebenarnya dengan yang terucapkan. Bukan hanya dialami seorang Jokowi, Obama, maupun Presiden Bush terdahulu pun pernah. Kita (yang bukan pejabat negara) pun bisa dikatakan sering mengalami. Sehingga istilah blunder nisbi teralamatkan pada kita.  Untuk perkara ‘selip lidah’ yang penulis maksud terhadap Jokowi, tentu tak sepenuhnya tepat disebabkan faktor-faktor yang disebut oleh Jack Schafer atau yang obscene disimpulkan Sigmund Freud.

Baca Juga:  Operasi Tangkap Tangan Perokok Bukan Sikap Bijak yang Menjawab Persoalan

Menilai isu rokok sebagai suatu persoalan yang ada di ranah politis, sejak terminologi rokok sebagai suatu komoditas industri yang diposisikan dalam skema global, terkait pengendalian (baca: FCTC) dan yang  oleh publik luas dipandang secara normatif. Maka terma rokok sendiri tak ayal diresepsi oleh saya sebagai bagian dari politik diplomasi. Dalam konteks politik diplomasi istilah ‘selip lidah’ merupakan umpan politis. Bukan lantaran presiden kita kecapekan, atau yang paling ekstrim karena terdampak konsumsi yang nganu. Bukan. Justru besar kemungkinan ada dua alasan di luar faktor-faktor yang dijelaskan di atas.

Pertama, sebagai upaya mengalihkan perhatian masyarakat dari penyebab kemiskinan yang sebenarnya.

Seperti yang telah umum kita ketahui, bahwa persoalan kemiskinan merupakan masalah yang sangat kompleks. Pak Jokowi bukan gak mudeng komplesksitas di situ. Secara gitu loh, kepala negara yang punya kepedulian terhadap penduduk miskin sejak masih menjabat kepala daerah. Apalagi para staf ahli di sekelilingnya, yang pasti juga bukan orang-orang berkapasitas cekak. Bukan mustahil juga ada satu-dua yang antirokok.  Mosok gak mudeng soal itu.

Nah saking kompleksnya, presiden kita ini sepertinya lebih memilih patuh pada apa yang diterimanya sebagai bahasa politik, yang juga kita ketahui etika diplomatik seorang kepala negara tentu sangat ketat diperumuskan oleh orang-orang di lingkarannya. Sejak republik ini berdiri, kemerdekaan sudah menjadi menu persoalan bersama, terutama merdeka dari jeratan kemiskinan, termasuk ‘kemiskinan’ yang diidap orang-orang di lingkaran presiden pastinya. Kemiskinan sendiri masih bagian dari wacana politik pembangunan yang belum terselesaikan entah sampai kapan.

Jokowi dan orang di lingkarannya menganggap rokok merupakan barang konsumsi yang kontroversial di masyarakat, secara politis jika rokok tetap dikambinghitamkan maka dukungan dari antirokok kepada dirinya akan terpelihara. Meskipun Jokowi sangat tahu rokok memberikan pendapatan sekitar empat belas persen dari total penerimaan APBN setiap tahunnya.

Bukan tidak mampu Jokowi mengatakan bahwa penyebab kemiskinan adalah kepentingan komprador modal asing yang mendesak pemerintah mencabut subsidi negara, baik listrik, BBM, dana pensiun, yang sejatinya digunakan untuk menyejahterakan rakyat. Kenapa tidak dilontarkan lantang bahwa penyebab kemiskinan adalah korupsi. Yang semua orang sama-sama tahu korupsi membuat anggaran negara bobol sehingga program-program kesejahteraan rakyat jadi tidak maksimal.

Pemerintah memang tidak jujur kepada rakyatnya, setiap ada isu yang merebak dibilangnya pengalihan isu. Pada akhirnya tugas pengalihan isu yang seharusnya jadi kerjaannya media (kalau polisi tugasnya pengalihan lalu lintas), juga jadi kerjaan pemerintah untuk melindungi citra kepemimpinannya.

Kedua, agar rakyat tidak ikut campur dalam program pembangunan

Program percepatan pembangunan infrastruktur sedang menjadi program prioritas bapak presiden Jokowi. Pada APBN 2016, anggaran infrastruktur oleh Jokowi ditargetkan sebesar Rp 313,5 triliun. Anggaran tersebut tersebar dalam pos belanja kementerian pemerintah pusat, transfer ke daerah, dan pos pembiayaan. Angka yang cukup besar hanya untuk infrastruktur dari target penerimaan tahun 2016 sebesar Rp 1.546,7 triliun.

Baca Juga:  Menyoal Pembatasan Jam Tayang Iklan Rokok

Tak heran kalau persoalan yang lainnya belum menjadi prioritas, pendidikan misalnya, anggaran pendidikan di tahun ini saja hanya mendapat Rp 39,82 triliun atau sekitar dua belas persen dari anggaran infrastruktur.

Dampak percepatan pembangunan infrastruktur memang bisa dirasakan oleh rakyat. Jalan tol semakin banyak fasilitasnya, sehingga efektivitas jarak tempuh bisa dipangkas, juga integrasi satu daaerah ke daerah lainnya sekarang juga sudah lebih baik dari sebelumnya. Tapi akibat dari menggebu-gebunya pembangunan infrastruktur ini, pemerintah harus mengorbankan program-program kesejahteraan rakyat.

Setelah subsidi BBM dicabut, kini Tarif Dasar Listrik (TDL) ikut-ikutan dicabut. Harga bahan pokok yang fluktuatif turut menyebabkan daya beli masyarakat jadi lemah. Perkara beli rokok pun, akibat tarif cukai dinaikkan setiap tahun harga rokok jadi naik. Sebagai catatan, naik-turunnya harga rokok tergantung pemerintah, dilihat dari tiga komponen Cukai, PPn, PDRD yang tujuh puluh persen keuntungan dari membeli sebungkus rokok masuknya ke Pemerintah. Perlu diralat tuh, yang bilang negara dirugikan oleh rokok. Produk mana coba yang tujuh puluh persen keuntungannya dikuasai negara? Coba cari sandingannya.

Jadi hasrat yang menggebu-gebu pemerintah dalam program percepatan infrastruktur ini menimbulkan efek domino pada rakyatnya. Agar efek dominonya tidak berasa-berasa amat, maka sering-seringlah Jokowi bagi-bagi sepeda, sembako, amplop. Hal tersebut diperuntukan sebagai analgesik semata, biar lupa saja kalau besok konsumsi listriknya ternyata seharga sepeda.

Dan sebagai presiden yang tangan strategisnya beberapa dari kalangan militer, Jokowi sangat paham teori intelejen yang bunyinya kira-kira begini “Ketika orang-orang banyak yang marah, untuk mencapai stabilitas keamanan, maka diperlukan cipta kondisi satu musuh bersama”. Musuh bersamanya apa? Ya rokok-lah, masa iya Tarif Dasar Listrik!

Dua alasan tadi dimungkinkan sekali kenapa Jokowi mengalami istilah selip lidah. Yang pada awalnya mungkin spontanitas saja, lantaran kecapekan, diucapkan pada moment tertentu, contohnya sewaktu membagikan Program Kartu Harapan (PKH) yang lalu. Tapi kok ya  jadi mendulang perhatian yang viral, ya ini, saya pikir ini juga karena diapresiasi secara masif oleh antirokok yang kalau ada hal-hal negatif tentang rokok, apalagi diucapkan pejabat negara, lantas digoreng dibumbui tafsir-tafsir yang menguntungkan mereka.

Terlebih isu strategis yang dimainkan antirokok adalah persoalan rokok dan kemiskinan. Saya juga tambah curiga, kalau salah satu pembisik presiden adalah antirokok (orang dalam yang belum merdeka dari ‘kemiskinan’). Antirokok loh ya, bukan PKI atau ikan tongkol yang ‘digoreng’ jadi guyonan nasional.