Press ESC to close

Para Perempuan di Ladang Tembakau yang Melawan Stigma dan Belenggu Dapur

Sembari ditemani iringan lagu Brick by Boring Brick milik band bernama Paramore dan sebotol Yakult, aku mencoba menuliskan secuil fenomena yang kulihat hari ini.

Banyak sekali istilah yang memiliki konotasi bahwa perempuan tidak perlu memiliki latar belakang pendidikan yang tinggi, karena setelah menikah tugas perempuan itu hanya mengurusi anak, dapur, dan kasur. Pelbagai istilah tersebut pun mungkin tidak asing bagi warganet yang budiman. Salah satunya adalah “alah lu kan perempuan, ngapain lama-lama kuliah sampe S3, nanti juga ujungnya di  dapur, ngurusin anak sama ngelonin suami” yang baru saja kudengar siang tadi tanpa sengaja pada obrolan sekumpulan muda-mudi di sebuah rumah makan.

Sebenarnya sudah banyak orang yang memaparkan secara gamblang bahwa perempuan itu tidak hanya mengurusi keluarga saja. Namun, stigma ini masih mengakar pada benak masyarakat. Parahnya, stigma tersebut tidak hanya mengakar di wilayah pedesaan saja, karena tidak sedikit masyarakat yang tinggal di perkotaan pun masih mengamini stigma tersebut. Maraknya pembagian kerja dalam cakupan keluarga kecil di wilayah perkotaan pun menjadi salah satu contohnya.

Wah iya, perempuan itu lemah, perempuan gak akan kuat menafkahi keluarganya secara mandiri, perempuan gak perlu memiliki pendidikan tinggi, wong perempuan nanti cuma ngurus anak thok kok, pokok e perempuan meneng ae wes neng omah!

Hus! Siapa bilang!? Klean gak tahu aja kalau banyak sekali perempuan yang mampu menafkahi keluarganya dengan mandiri? Bahkan menjadi tulang punggung keluarga hingga menghidupi dan menyekolahkannya ke jenjang perguruan tinggi? Kuy, ulas bersama-sama.

Baca Juga:  Berpuasalah, dan Buktikan Bahwa Rokok Bukan Zat Adiktif

Dikenal dengan Negara agraris, tidak dapat dipungkiri bahwa masyarakat Indonesia masih banyak yang bekerja sebagai petani. Mulai dari  petani padi, palawija, hingga tembakau. Di Indonesia sendiri jumlah petani tembakau mencapai angka 527.688 orang. Angka tersebut berhasil membuat Indonesia menduduki posisi pertama sebagai petani tembakau terbanyak di ASEAN. Sisanya Vietnam dengan jumlah 220.000, Thailand 49.166, Filipina 55.533, Cambodia 13.000 dan di posisi terakhir ada Malaysia dengan jumlah 3.024 orang petani tembakau.

Dari angka 527.588 orang petani tembakau di Indonesia, provinsi Jawa Timur menjadi yang terbanyak dengan jumlah 301.847 orang yang mengelola 108 ribu hektar luas lahan tembakau. Di Jawa Timur sendiri, daerah yang menjadi sentra tanaman tembakau berada di kabupaten Pamekasan, Bojonegoro, dan Probolinggo. Dalam dunia tembakau, tidak sedikit kaum perempuan yang turut bekerja sebagai petani tembakau ataupun buruh tani tembakau. Data sampel menunjukkan bahwa sebanyak 348 dari 400 orang petani tembakau yang berada di Pamekasan merupakan petani perempuan.

Di era milenium, tembakau dan perempuan terus mengukir sejarahnya sendiri. Perempuan menjadi bagian penting dari industri rokok yang bernilai triliunan rupiah. Di berbagai pabrik rokok, jumlah pekerja perempuan mendominasi. Sebanyak 90 persen pekerja di pabrik rokok adalah perempuan. Angka 348 hanyalah satu dari banyaknya lahan yang ada di Jawa Timur.

Ibu-ibu petani ini mampu menghidupi dan menyekolahkan anaknya hingga perguruan tinggi. Alasannya, salah satu ibu petani tembakau, Kursini, memberikan penjelasan bahwa anaknya harus memiliki pendidikan tinggi agar mandiri dalam urusan finansial nantinya. Yang membuatku kagum dengan para ibu petani ini ialah kegigihan mereka yang tak kenal lelah. Ibu petani tembakau ini dengan apik menyelesaikan segala kebutuhan keluarganya. Mengurusi anak dan memasak pun ia lakoni. Kalau kata peribahasa “sekali dayung, dua-tiga pulau terlampaui” jadi tak hanya bisa mengurus rumah tangga, urusan finansial pun dipenuhi oleh para ibu petani.

Baca Juga:  Karena Kretek Adalah Indonesia

Melihat fenomena dari potongan percakapan yang kudengar di riuhnya rumah makan serta fakta tak terhindarkan bahwa petani tembakau perempuan yang  memiliki peran dari memanen tembakau hingga memprosesnya menjadi sebatang rokok yang dapat dinikmati oleh khalayak perokok, membuatku sadar bahwa stigma “perempuan hanya berurusan dengan dapur” mampu dibantahkan dengan fakta hebat para petani tembakau perempuan tersebut.

Pada dasarnya perempuan pun memiliki hak yang sama untuk memperoleh pendidikan, berorganisasi, dan bekerja. Oleh karena itu, perempuan janganlah takut untuk memiliki pendidikan tinggi, memasuki ranah organisasi serta memiliki karir sendiri. Fenomena petani tembakau perempuan hanyalah segelintir fakta dari kebanyakan pembuktian, namun cukup kiranya untuk memantik api semangat kaum perempuan lainnya.

Akhir kata, aku mengucapkan Selamat Hari Perempuan Internasional, semoga perempuan Indonesia terbebas dari kungkungan dan belenggu “dapur” sehingga perempuan Indonesia mampu berkarya dan terus berkarya tanpa terbatasi oleh kontradiksi.

Agnes Y. Tarigan

Agnes Y. Tarigan

Yang fana adalah raga, tulisan abadi I akun twitter @heysenja