Press ESC to close

Sistem BPJS Kesehatan yang Harus Disehatkan, Bukan Melulu Mengandalkan Talangan Cukai Rokok

BPJS Kesehatan masih saja dihantui persoalan defisit keuangan yang tak berkesudahan. Setidaknya memasuki tahun 2019 ini saja, Fachmi Idris selaku Dirut BPJS Kesehatan membeberkan strategi yang sama yang akan digunakan untuk menekan angka defisit. Yakni dengan menggunakan duit perokok dari dana bagi hasil pajak dan cukai rokok.

Memang sejak diterbitkannya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 128/PMK.07/2018 tentang Tata Cara Pemotongan Pajak Rokok Sebagai Kontribusi Dukungan Program Jaminan Kesehatan, BPJS Kesehatan menjadi berketergantungan terhadap dana dari rokok. Hal ini diperkuat pula dengan dikeluarkannya peraturan presiden pada September tahun lalu. Sehingga semua hal tadi seakan menjadi pembenaran bagi BPJS untuk mengatasi persoalan defisit yang saban tahun menghantui mereka.

Sebagai catatan, untuk tagihan yang harus ditanggung pada periode semester I-2018 saja pemerintah telah menambal defisit secara berkala. Di tahun 2019 ini jumlahnya mungkin bisa berubah setelah hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) nantinya. Iya tentu bisa lebih besar lantaran masih membawa hutang tahun sebelumnya, kecil kemungkinan terjadi sebaliknya.

Sebetulnya kondisi ini rawan bias kepentingan jika pihak BPJS terus mengharapkan bailout dari Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT). Bukan apa-apa, karena besarannya yang tidaklah proporsional itu. Ditambah adanya kewajiban bagi pemerintah daerah dalam mendukung penyelenggaraan jaminan kesehatan yang berdasar beleid penggunaannya 50% dari DBHCHT atau 37,5% dari realisasi yang bersumber dari pajak rokok masing-masing daerah.

Baca Juga:  Gejolak Perlawanan Rakyat Atas Kenaikan Tarif Cukai

Perlu diketahui, tahun lalu pemerintah sudah menyuntik BPJS Kesehatan sebanyak dua kali. Pada September sebesar Rp 4,999 triliun. Tahap kedua sebesar Rp 5,26 triliun yang dicairkan dua kali. Pencairan pertama pada 5 Desember sebesar Rp 3 triliun dan 14 Desember sebesar Rp 2,6 triliun.

Sementara kita tahu ada banyak persoalan di tubuh BPJS yang belum juga terselesaikan. Mulai dari kesimpangsiuran dan kesalahan data peserta, masih ditambah lagi kecurangan atas klaim yakni penyimpangan dalam skema layanan Jaminan Kesehatan Nasional. Perkara ini sudah bukan lagi rahasia umum, tapi toh belum juga terselesaikan. Padahal dari sisi itu jelas loh angka kerugian yang ditanggung negara.

Di situ yang saya maksud bias kepentingan dalam perkara BPJS yang kerap mengalami defisit keuangan itu. Alih-alih pemanfaatan pajak rokok untuk menangani kesehatan masyarakat–yang konon besar disebabkan karena rokok–justru berimplikasi menutupi persoalan dalam sistem penyelenggaraannya. Bagi saya sistem BPJS Kesehatan ini yang perlu disehatkan dulu, gitu loh intinya. Jangan terus mentang-mentang ada beleid talangan.

Baca Juga:  Pendapatan dari Iklan Rokok Masih Diharapkan di Cirebon

Andaikata tahun 2019 ini seluruh masyarakat Indonesia hanya terserang masuk angin secara bergiliran, tidak ada yang kena penyakit berat apapun misalnya. Kita tahu sendiri masuk angin cukup disembuhkan dengan kerokan, tidak perlu menggunakan layanan BPJS yang biaya obat plus rumah sakitnya terbilang tinggi. Iuran ya tetap jalan terus. Apakah itu artinya BPJS Kesehatan bakal bangkrut? Jadi tidak ada klaim defisit toh. Atau memang perlu ada upaya klaim penyakit dan blablabla untuk tetap bisa pakai dana talangan dari DBHCHT? Ini sih andaikata.

Maka sebetulnya strategi yang dinyatakan Fachmi Idris dalam menyiasati defisit keuangan BPJS Kesehatan dengan menggunakan duit dari DBHCHT adalah jurus klasik belaka.

Jibal Windiaz

anak kampung sebelah