SEMALAM, saat berkendara pulang, di radio saya mendengar sekilas info tentang rencana pemerintah untuk meratifikasi FCTC. Atau framework convention on tobacco control –konvensi kerangka kerja pengendalian tembakau.
Terdengar rumit, tapi ini sebenarnya adalah traktat internasional untuk pengendalian tembakau dan hasil olahannya. Pada intinya, jika menandatangani, maka Indonesia harus mengikuti segala yang tertulis di sana.
Dari sekilas info tersebut, yang tampaknya didesain oleh kelompok yang pro terhadap ratifikasi FCTC, Indonesia menjadi satu dari sembilan negara di PBB yang belum meratifikasinya. Dianggap memalukan, dan tak meratifikasi, pemerintah dinilai abai terkait kesehatan masyarakatnya.
Meski argumentasinya terlihat kokoh dan seolah peduli kesehatan, tapi argumentasi tersebut bermasalah, dan meratifikasi FCTC hanya akan membunuh kemandirian ekonomi Indonesia.
Tidak, saya tidak akan berargumentasi soal kesehatan. Saya tahu, merokok, dalam jumlah yang sangat banyak, memang merugikan kesehatan. Tapi, sama halnya dengan banyak produk lainnya. Seperti makanan cepat saji, asap kendaraan bermotor dan sebagainya. Yang bagi saya tetap aneh jika rokok menjadi sasaran aneka kebijakan khusus dengan alasan kesehatan, sementara produk-produk yang juga berbahaya bagi kesehatan lainnya sama sekali tidak. Saya membayangkan di atas McDonald’s atau KFC ada gambar orang kena stroke mungkin untuk mengingatkan bahaya junk food, atau mobil dengan airbrush paru-paru yang menghitam kena asap kendaraan.
Saya akan bicara tentang para petani cengkeh di wilayah yang saya datangi sekali dan membuat saya terkesan: Indonesia Timur.
Komoditas Hot
Pada 2015, saya melakukan liputan Ramadan meliput bagaimana Islam di Indonesia Timur yang mengubah banyak pandangan saya. Salah satunya adalah cengkeh. Kebetulan, saat saya ke sana, petani di sana sedang berada di awal fase panen.
Di sana, saya juga baru tahu kenapa cengkeh dulunya sangat mahal, dan menjadi alasan kenapa para imperialis Eropa datang ke Nusantara. Selain bisa dibuat macam-macam, mulai dari olahan parfum, tapi yang paling membuat cengkeh mahal dulu adalah karena kemampuan pengawetannya. Inilah kenapa yang membuat Orang Eropa bisa menjelajah lebih jauh. Karena, cukup dengan menaburkan cengkeh di atas makanan, mereka bisa mempunyai logistik makanan yang bisa diandalkan untuk perjalanan jauh dan tidak basi.
Persis seperti kulkas.
Pada abad ke 17, harga satu kilogram cengkeh sama dengan 14 gram emas. Komoditas paling hot saat itu.
Namun, revolusi Industri satu abad kemudian yang menghasilkan lemari pendingin, membuat harga cengkeh terbanting. Makin terpuruk setelah hasil perkebunan baru seperti tebu, lada, kopi, teh, nila, kelapa sawit, dan kayu jati menjadi primadona. Cengkeh menjadi hanya sekedar digunakan pengawet makanan di kampung-kampung, seperti sekarang. Hingga kini, jika anda ke pedalaman Maluku dan Ternate, orang banyak mengawetkan hasil laut dengan cengkeh. Pemandangan satu nampan besar berupa ikan dengan taburan cengkeh adalah pemandangan sehari-hari.
Tapi, cengkeh menjadi primadona ketika seorang Haji di Kudus bernama Djamhari menemukan kegunaan baru cengkeh. Yakni, sebagai ramuan utama rokok. Lahirlah produk baru rokok khas Indonesia: kretek.
Awal abad 20, kretek menjadi industri besar. Ntisemito mendirikan pabrik kretek Jambu Bol di Kudus, dan Liem Seng Tee mendirikan pabrik Dji Sam Soe dan Sampoerna di Surabaya. Disusul kemudian ketika Oei Wei Gwan mendirikan Djarum di Kudus, dan Tjoa Ing Hwie mendirikan Gudang Garam di Kediri.
Inilah yang kemudian menjadi cikal bakal industri yang menjadi primadona pemasukan negara. Yang lebih strategis lagi, inilah industri yang mulai dari hulu sampai hilir, mulai dari bahan baku, pengolahan, pekerja, pabriknya, hingga pasarnya ada di Indonesia semua. Sama sekali tidak ada campur tangan asing semua.
Secara kasar, ada sekitar 30 juta orang di Indonesia yang terkait baik langsung dengan tak langsung dengan industri ini.
Negara pun sangat diuntungkan, tidak ngapa-ngapain, tidak perlu modalin (malah seringnya bikin reseh seperti pendirian BPPC), dapat pemasukan besar. Tahun lalu, industri rokok di Indonesia menyumbang cukai sebesar Rp 150 triliun ke kantong negara. Bandingkan dengan industri migas yang tak sampai sepertiganya. Itu pun dengan konsekuensi kerusakan alam yang luar biasa akibat eksploitasi. Selain itu, pemerintah juga menalangi defisit BPJS dengan dana bagi hasil cukai tembakau.
Jangan Pernah Terbuai dengan FCTC
Makanya, ketika saya mendengar pemerintah akan meratifikasi FCTC, rasanya ya mangkel sekali. Karena apa yang ada di FCTC akan merusak semua itu. Petani cengkeh akan kukut, karena 93 persen hasil cengkeh diserap industri kretek. Kemudian, dengan standardisasi yang sedemikian rupa, tembakau yang diizinkan untuk menjadi produk rokok kebanyakan adalah tembakau impor.
Lalu, Indonesia akan dapat apa? Hanya dibuai dengan omongan bahwa Indonesia peduli dengan kesehatan masyarakatnya.
Padahal yang terjadi adalah Indonesia akan hanya dapat penyakitnya saja jika meratifikasi FCTC. Bagaimana pun juga, orang Indonesia pasti tetap akan banyak yang merokok, dan ini pasar yang sangat potensial.
Dengan meratifikasi FCTC, maka yang terbunuh adalah industri rokok nasional (yang saya sebut tadi, mulai dari hulu-hilir semuanya dikerjakan Indonesia). Maka, gambarannya, uang perokok Indonesia akan diambil perusahaan rokok multinasional, industri nasionalnya remuk, dan ya, Indonesia hanya kebagian penyakitnya saja.
Jadi, nggatheli memang FCTC itu.
- Nasib Cengkeh dalam Ancaman FCTC - 26 February 2020