Sifat pamer memang manusiawi. Namun, jika itu diselebrasi pejabat publik, niscaya menuai kritikan. Betapapun itu, people power di Medsos adalah bukti muaknya rakyat terhadap perilaku flexing pejabat pajak akhir-akhir ini. Dan sebagai perokok, kitapun sah untuk berlaku sama dengan pamer rokok.
Kok kesannya kayak gak mau kalah sih perokok? Haiyes, sejurus adagium cogito ergo sum. Aku berpikir pamer maka aku ada. Merokok adalah hak yang dijamin konstitusi.
Maka, pamer merek sigaret menjadi semacam bentuk protes terselubung dari perokok. Coba bayangkan, jangankan untuk punya Moge kayak yang dipamerkan anak Ditjen Pajak berwatak keji. Untuk membeli rokok saja, terkadang kita harus berhitung dengan sekian kebutuhan pokok yang tak kalah penting. Rokok adalah sarana rileks sekaligus salah satu kemewahan yang dipunya perokok.
Dari sisi saya sebagai pekerja serabutan, untuk mimpi punya barang impor macam Harley Davidson apalagi Rubicon, wah itu saja sudah kelewat tengil. Apalagi sampai nekat ambil cicilan barang eksentrik itu.
Kemuakan netizen terhadap budaya pamer orang kaya sebetulnya sudah ada dari dulu, seperti api dalam sekam. Puncaknya, akhir-akhir ini dipicu oleh aksi keji anak Ditjen Pajak, yang menyiksa seorang remaja tanggung sampai koma. Hal itu berbuntut terbongkarnya sejumlah aset pejabat pajak yang tak wajar. Begitulah hukum tabur-tuai, di bumi ini kontan adanya.
Sebanyak apapun aset kekayaan pegawai pajak, tetap saja pelayan rakyat. Digaji dari duit rakyat. Dapat uang dari mengutip pajak rakyat dan diamanatkan untuk mengaturnya, bukan untuk menunjukkan arogansi kelas. Tetapi, kok ini malah seperti mengolok-olok nasib rakyat lewat aksi keji dan flexing kemewahan. Inilah kemudian yang memicu kemarahan publik serta kecurigaan.
Perlu diingat, sejak tahun lalu, pasca diterjang badai Pandemi yang berakibat pada lesunya ekonomi masyarakat. Menkeu Sri Mulyani yang dikenal juga ‘marketing’ Bank Dunia dan IMF, boleh jadi juga agen pemasaran terselubung Harley Davidson. Lantas aja deh, kalau sudah beraroma hegemoni Uncle Sam, ehe…
Kita sisihkan dulu kecurigaan ini. Positif thingking saja sama sikap gercep beliau atas aib anak buahnya. Dimana sejak ramai risakan kepada institusi pajak, dengan segera ia mencopot jabatan Rafael Alun, pula membubarkan klub Blasting Rijder DJP. Secara implisit, ada potensi jejak lain yang bakal memperkeruh, begitulah kira-kira kecurigaan saya atas sikap awarness bu Sri selain soal pencitraan.
Pastinya sih, sejak lalu beliau sudah mengingatkan, bahwa kondisi ekonomi kita sedang tidak baik-baik saja. Ditambah dengan adanya isu resesi global. Indonesia terancam bayang-bayang resesi.
Bukan karena hutang yang per 30 Desember 2022 lalu tembus Rp 7.733,99 triliun atau naik Rp 179,74 triliun dibandingkan bulan sebelumnya. Dimana rasio utang pemerintah menjadi 39,57% terhadap PDB. Bukan karena tingginya angka itu ya kan, Bu. Kata Bu Sri, rasio utang pemerintah masih dalam kondisi sehat. Namun yang perlu ditilik juga dari sebuah adagium lawas, bahwa optimisme adalah racun. Ada sisi bahayanya.
Satu hal yang kontras lagi, pada tahun 2022 lalu, selain pungutan Cukai Hasil Tembakau yang melampaui target sebesar Rp 218,2 triliun. Itu duit perokok lho, gais. Dengan skema pungutan yang diatur di dalam UU tentang Cukai yang tiap tahun terus naik tarifnya. Bahkan kemudian, tahun lalu sampai ada jatah bonus atas kinerja institusi terkait. Wajar, jika kecurigaan rakyat semakin runcing.
Sebetulnya, naiknya pungutan pajak maupun cukai tidak hanya berlaku pada rokok. Skema pungutan cukai ekstensif untuk 2023 pun akan diberlakukan terhadap produk konsumsi lain. Dari sisi ini, kok ya rasanya arogan betul pemerintah menyoal upeti. Padahal, nasib ekonomi rakyat belum sepenuhnya pulih.
Mulai dari Tarif Dasar Listrik sampai Bahan Bakar Minyak juga naik harganya. Brengseknya lagi, di tengah kondisi yang menekan, perilaku pejabat pajak malah membuat rakyat tambah jengkel.
Ingat kan, waktu tahun 2022 juga, Pak Jokowi mengumpulkan semua pejabat kepolisian. Pasca terungkapnya kasus narkotika yang menjerat salah satu oknum pejabat kepolisian. Ditambah dengan kasus Sambo yang menyisakan segudang pertanyaan publik. Di forum itu, Presiden menegaskan terkait gaya hidup jajaran kepolisian. Untuk tidak bermewah-mewah apalagi flexing di medsos.
Nah, belakangan ini, kepala Bea Cukai Jogja, Eko Darmanto, turut pula mendapat sorotan dan kritikan. Pasalnya, aksi pamer kemewahannya tak sebatas Moge lagi, melainkan pesawat Cessna. Pamer pesawat, genk. Bagaimana perasaanmu setelah tahu perilaku aib manusia whey itu. Sekali lagi, pejabat publik adalah pelayan kita loh. Rakyat yang gaji mereka. Ck ck ck…
Sementara, kita yang perokok ini kerap harus menanggung berbagai tekanan. Mulai dari naiknya harga-harga kebutuhan, diskriminasi hak atas ruang akibat tekanan regulasi. Harus pula mawas diri terkait memposting konten yang ada unsur rokoknya. Karena bisa-bisa kena aturan panduan komunitas dari pihak ketiga (baca: Apps). Coba itu…
Merokok sebagai ekspresi budaya, kerap dicap sebagai tindakan merugikan. Baiklah. Terlepas dari kepentingan di balik regulasi rokok. Kita ambil saja titik komprominya.
Namun, di masa-masa yang serba cekak ini, masyarakat mau tak mau harus pandai-pandai bersyukur. Iya sih sepakat pada esensi syukur; bersyukur bahwa kewarasan kita masih terjaga dan menolak untuk jumawa.
Padahal ya, kalau serius mau pamer kekonyolan kayak pejabat pajak itu juga mampu kok. Serius. Setidaknya, dengan mampu pamer wajah kebahagian keluarga. Lha coba bandingkan saja dengan pejabat pajak macam Eko Darmanto, mana bahagianya dia pasca dicopot secara tidak terhormat dari jabatannya.
Untuk itulah, jika makna kemewahan bagi para pejabat jumawa itu adalah barang-barang yang harganya ratusan juta lebih. Sementara, kita perokok tinggal punya satu kemewahan dengan memamerkan merek sigaret yang kita taruh di atas meja sambil hihi-haha dengan sesama. Menikmati udara lepas dengan gembira.
Itulah kiranya yang mesti kita maknai sejurus risalah; nikmat mana lagi yang kau dustakan wahai… Dengan sebats dan gembira bersama teman, genjrang-genjreng, ngonten, sedekah ilmu, ataupun bercengkrama dengan pasangan. Itulah di antara kemewahan hakiki di abad yang penuh arogansi ini.
- Kesalahan Antirokok dalam Memandang Iklan Rokok dan Paparannya Terhadap Anak - 4 June 2024
- Pengendalian Tembakau di Indonesia dalam Dua Dekade - 3 June 2024
- HTTS Hanyalah Dalih WHO untuk Mengenalkan NRT - 31 May 2024
Leave a Reply