Selama ini iklan rokok kerap dijadikan alasan mengapa anak merokok. Iklan pada produk ini, dianggap menjadi biang keladi prevalensi perokok di bawah usia. Dan yang paling mutakhir, iklan dan pandemi menjadi penyebab semakin banyak anak yang merokok. Gokil nggak tuh.
Lentera Anak, sebuah LSM yang katanya membela hak anak-anak, menyatakan jika potensi anak terpapar iklan rokok dan asap rokok jadi lebih tinggi selama menjalani pembelajaran jarak jauh. Hal ini, katanya, disebabkan anak-anak bisa mengakses internet yang ada iklan rokoknya. Selain itu, mereka juga bisa terpapar orang tua yang merokok ketika melakukan kerja dari rumah.
Pernyataan seperti di atas, tentu bakal bisa dengan sangat mudah kita bantah. Pernyataan berdasar asumsi yang tidak mendasar itu memang khas banget sih argumennya antirokok. Mereka kira, semua orang itu bisa WFH ketika pandemi dan berlebih kuota untuk pembelajaran jarak jauh.
Pertama, soal iklan rokok dan pembelajaran jarak jauh, tak ada aplikasi yang digunakan anak sekolah menampilkan iklan. Baik itu menggunakan platform teleconference seperti Zoom atau Google Meet, atau menggunakan platform pembelajaran seperti Google Classroom, tak mungkin ada iklan di pembelajaran anak sekolah. Jadi dari mana anggapan iklan itu muncul?
Sekolah, jarak jauh, menggunakan internet, tidak kemudian berarti anak-anak bisa menggunakan internet sesukanya. Lagipula, hampir di semua kebutuhan sekolah dan pembelajaran jarak jauh, tak mungkin iklan masuk ke platform tersebut. Kalau kemudian iklan rokok muncul di situs lain, seandainya tak pembelajaran jarak jauh pun, anak-anak tetap bisa mengakses hal tersebut.
Meski begitu, pandemi ini justru harusnya membuat prevalensi perokok di bawah umur berkurang. Anak-anak tak mungkin merokok di depan orang tuanya. Dan karena mereka melulu di rumah, harusnya tak ada lagi pergaulan yang mengajak orang di bawah umur lainnya merokok. Lagipula, penyebab orang di bawah umur merokok itu bukan iklan, tapi pergaulan dan lingkungan.
Pada kondisi seperti ini, mau terpapar iklan rokok setiap hari, anak-anak harusnya tidak bisa kemudian menjadi perokok karena aktivitas mereka ya di rumah saja. Ya diawasi oleh orang tuanya, hampir di setiap waktu. Mau keluar beli rokok, susah cari alasan. Mau merokok di kamar mandi, nanti ketahuan. Apalagi, sepanjang pembelajaran jarak jauh, ya uang saku juga berkurang dong.
Lalu, terkait perkara anak-anak di rumah menjadi perokok pasif karena orang tuanya merokok. Aduh, kadang heran deh sama antirokok ya jalan pikirannya. Mungkin mereka pikir pandemi ini membuat semua orang memiliki privilage untuk bisa bekerja dari rumah. Untuk bisa terus berdiam diri di rumah, tapi tetap bisa mendapatkan penghasilan. Tidak semua orang bisa begitu bos.
Lewat dua minggu pertama PSBB dan kebijakan semi karantina wilayah, orang-orang sudah tak sanggup bertahan hidup. Mereka pada akhirnya kembali keluar rumah, mencari uang agar tetap bisa makan dan hidup. Kalau itu dianggap sebagai penyebab anak jadi perokok pasif, maka terbantah sudah dengan kebutuhan hidup rakyat yang mengharuskan mereka untuk bekerja atau berdagang.
Lagipula, kalau pun orang tua merokok di rumah, mereka kemudian akan berpikir untuk mencari ruang atau area merokoknya sendiri. Bisa mereka kemudian ke warung kelontong, atau sekadar pergi ke beranda rumahnya. Jadi, semua anggapan antirokok ini telah bisa kita bantah ya?
- Melindungi Anak adalah Dalih Memberangus Sektor Kretek - 29 May 2024
- Apakah Merokok di Bulan Puasa Haram? - 20 March 2024
- Betapa Mudahnya Membeli Rokok Ilegal di Warung Madura - 23 February 2024