Press ESC to close

Perokok Anak Tinggi: Jangan Warung yang Dilarang Jualan Rokok, Tapi Fokuslah Mengontrol Si Anak

Para anti-rokok menuduh bahwa anak-anak adalah sasaran empuk bagi industri rokok. Tuduhan tersebut berlandaskan hasil riset dari beragam lembaga dari swasta hingga pemerintah.

Di antaranya dari Indonesia Institute for Social Development (IISD) yang melakukan riset kolaborasi dengan Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) dan Peneliti Universitas Prof. Dr. Hamka (UHAMKA), dengan produk laporan Outlook Perokok Pelajar Indonesia 2022.

Dari riset tersebut, tim peneliti melaporkan bahwa lebih dari seperempat responden yang terdiri atas anak usia 11-19 tahun dari seluruh Indonesia pernah merokok. Dan bahkan telah menjadi perokok harian.

Komunitas Kretek sepakat bahwa aturan anak di bawah umur belum boleh merokok. Tetapi persoalannya, kenapa lantas membuat kampanye pelarangan produksi rokok? Sementara, banyak orang–terutama kalangan petani, buruh, dan pedagang kecil–menggantungkan hidup dari sini.

Memutus rezeki orang kecil yang bergantung pada industri rokok

Persoalan perokok anak adalah persoalan kontrol sosial. Maka, regulasi yang disusun juga harus pada konteks itu.

Tetapi yang terjadi, pemerintah justru resmi melarang penjualan rokok dalam radius 200 meter dari kawasan sekolah dan taman bermain anak, seperti termuat dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 28/2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang No 17 Tahun 2023 Tentang Kesehatan (PP No 28/2024 tentang Kesehatan).

Masalah perokok pada anak itu tidak sesederhana melarang penjualan produk tembakau itu dengan radius 200 meter dari sekolah.

Baca Juga:  Cengkeh: Dulu, Kini dan Nanti

Lalu ada lagi Survei Lentera Anak Foundation. Lembaga ini justru berfokus soal warung yang berada di sekitar sekolah memajang rokok di etalasenya dan memasang spanduk iklan rokok.

Pelarangan tersebut tentu saja memutus rezeki si penjual. Sebab, rokok sering kali menjadi pemsukan terbesar para pemilik warung. Karena warung dekat sekolah tentu tidak serta merta membuat siswa membeli rokok. Orang dewasa yang ada di sekitar kan juga akan membeli rokok di situ.

Mengebiri industri rokok

Koalisi Perlindungan Masyarakat dari Produk Zat Adiktif Tembakau, yang terdiri dari sejumlah organisasi, menganggap regulasi di negeri ini masih belum ketat kepada IHT.  Yang katanya mengakibatkan prevalensi perokok di bawah umur tinggi.

Mau berapa banyak lagi aturan yang membunuh IHT. Misalnya di RUU Penyiaran dalam pasal Pasal 46A ayat 2 (i) berbunyi: Materi siaran iklan mempromosikan rokok itu dilarang.

Pemerintah juga sedang menyusun Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) sebagai aturan pelaksana dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28/2024, menyoal rokok ke depan yang harus polos tanpa merek.

Solusi mengurangi prevalensi perokok anak

Kalau sedikit pakai nalar, dua hal di atas tidak serta merta bisa mengurangi prevalensi perokok anak.

Begini, oke warung rokok dekat sekolah dilarang jualan rokok. Tapi siswa bisa saja punya alternatif dengan membeli di warung lain yang jauh dari sekolah. Begitu juga dalam konteks pembatasan iklan rokok.

Baca Juga:  Antirokok Ajak Tak Menormalisasi Aktivitas Merokok karena Bisa Ditiru Anak-anak, Padahal Ada Loh Solusi yang Lebih Fair

Maka, sebenarnya regulasinya harus fokus pada mengurangi perokok anak. Bukan mengurangi penjualannya (toh cukai rokok juga dinikmati oleh pemerintah kan?).

Regulasi yang tepat misalnya, pembelian rokok–terutama bagi yang tampak seperti anak-anak–harus menggunakan KTP. Dengan itu jika ada anak di bawah umur atau pelajar, warung harus tegas tidak melayani.

Pihak sekolah pun harus berperan aktif dalam mengontrol agar para siswanya tidak merokok. Keluarga pun demikian. Dengan begitu, semua terlibat dalam mengurangi prevalensi perokok anak. Itu yang esensial.

Juru Bicara Komunitas Kretek, Rizky Benang

BACA JUGA: Ada Kampanye Jangan Jadikan Perokok Pasangan Hidup, Padahal Milih Pasangan Itu Hak Pribadi Orang

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *