
Obat-obatan yang diproduksi korporasi farmasi dalam rangka membuat berhenti merokok, ternyata memiliki efek samping yang menyebabkan penyakit mental.
Pernyataan ini saya kutip dari berita The New York Times (1/7/2009) dalam buku Nicotine War karya Wanda Hamilton. Nahasnya, obat yang ternyata mempunyai risiko serius tersebut justru mendapat dukunga oleh pemerintah Amerika Serikat.
Obat yang dimaksud yakni Chantix yang diproduksi oleh korporasi farmasi bernama Pfizer, lalu Zyban oleh GlaxoSmithKline.
Gara-gara pemberitaan bahwa obat untuk berhenti merokok ternyata mempunyai risiko serius, Direktur Food and Drugs Administration (FDA), Dr. Curtis J, sampai mengeluarkan pernyataan pembelaan: “Kami tidak ingin menakuti orang untuk berhenti dari mencoba menggunakan obat-obatan berhenti merokok”.
Obat berhenti merokok berisiko, tapi antirokok diam saja
Kubu antirokok membisu kendati tahu kalau obat untuk berhenti merokok mempunyai risiko. Dan tentu saja tidak akan mempublikasikannya secara masif seperti halnya publikasi mereka tentang risiko tembakau atau rokok–yang bahkan bisa diperdebatkan.
Misalnya Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta yang menerbitkan buku “A Giant Pack of Lies part 2: Kebohongan Besar Industri Rokok”.
Pada Bab 2 buku tersebut, AJI Jakarta melalui penulis Desca Lidya Natalia dan Hartanto Ardi Saputra menulis artikel dengan judul “Rugi Hingga Keracunan Nikotin”.
Kedua penulis mempersoalkan adanya anak-anak di Temanggung yang ikut membantu orangtuanya di ladang tembakau. Katanya, anak-anak itu telah dieksploitasi oleh industri rokok.
Mereka juga menyebut, anak-anak itu rentan terkena berbagai penyakit karena terpapar nikotin yang ada pada tembakau. Mereka pun memberikan argumen yang berangkat dari sebuah riset.
“Riset The SMERU Research Institute berjudul perkebunan Tembakau di Indonesia (2019) menemukan keterlibatan hampir semua anak desa di ladang tembakau. Sebagian besar anak bekerja selama musim tembakau dan mayoritas pada tahap setelah panen. Dari riset itu ditemukan adanya anak-anak yang terpapar kondisi yang berbahaya.” (Baca halaman 47-48).
Bukankah itu sangat berlebihan? Dengan memakai logika yang sama, itu berarti anak-anak petani cabai, jagung dll yang membantu orang tuanya ke ladang, berarti juga dieksploitasi?
Tulisan tersebut sangat ajaib. Mereka seolah-olah bukan orang Indonesia. Memang apa salahnya anak-anak membantu orang tuanya ke ladang. Di negeri agraris, hal demikian teramat sangat normal.
Karena yang tidak normal itu, kok bisa ada obat berhenti merokok yang berpotensi menyebabkan penyakit mental hingga melakukan tindakan bunuh diri, tetapi kubu antirokok diam membisu.
Juru Bicara Komunitas Kretek, Rizky Benang
BACA JUGA: Menengok Nasib Layanan Berhenti Merokok
- Hari Kretek Lebih Esensial ketimbang Hari Kebudayaan Nasional yang Ditetapkan Fadli Zon pada 17 Oktober (Hari Lahir Prabowo) - 15 July 2025
- Laki-laki Tidak Bercerita, Untung Masih Bisa Merokok hingga Mental Aman dan Tak Bunuh Diri - 14 July 2025
- Pemerintah Tak Mau Kasih Bansos ke Perokok: Rokok Dicap Biang Kemiskinan, Apa Kabar Janji 19 Juta Lapangan Pekerjaan? - 10 July 2025
Leave a Reply