
Fina Manan, selaku Kepala Kantor Wilayah (Kakanwil) Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) menyampaikan ada sanksi tegas bagi pengedar, penjual, hingga konsumen rokok ilegal.
Tidak tanggung-tanggung, denda yang disampaikan itu berupa kurungan penjara minimal 1 tahun dan maksimal 5 tahun. Selai itu juga dikenai denda Rp200 juta hingga Rp5 miliar.
Hukuman yang sangat gokil. Bayangkan betapa sesaknya nanti penjara, lalu kemiskinan menjadi wabah di mana-mana. Bukan maksud saya menormalisasi rokok ilegal. Tapi Bea Cukai sudah salah sejak dalam pikiran!
Bea Cukai menyalahi UU
Pasal 54 UU cukai berbunyi, “Setiap orang yang menawarkan, menyerahkan, menjual atau menyediakan untuk dijual barang kena cukai yang tidak dikemas untuk penjualan eceran atau tidak dilekati pita cukai atau tidak dibubuhi tanda pelunasan cukai lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit 2 (dua) kali nilai cukai dan paling banyak 10 (sepuluh) kali nilai cukai yang seharusnya dibayar.”
Memang jenis-jenis hukuman perihal penjara tertera dalam UU. Akan tetapi, tidak tertulis bahwa konsumen atau sekadar menghisap rokok ilegal juga mendapatkan ganjaran serupa!
Penafsiran ugal-ugalan dari DJBC sangat fatal. Menimbulkan ancaman kepada warga sipil tanpa dasar hukum yang jelas. Dan berpotensi asal tangkap dengan dalih penegakan hukum.
Menghukum konsumen atas kesalahan sendiri
Sebagai pelayan negara, Bea Cukai bertindak sebaliknya. Ia bahkan memvonis warga sipil atas kesalahanya sendiri, kalau tidak mau disebut mafia! Pasalnya, seperti apa yang diungkap Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa bahwa Bea Cukai itu justru jadi cukong rokok ilegal!
Lantas mengapa Bea Cukai tiba-tiba menyalahkan sipil dengan hukuman yang tidak berdasar. Di sisi lain, Bea Cukai juga tidak pernah serius menyelesaikan masalah ke akarnya. Selalu bertindak di permukaaan.
Bagaimana mau mencabut akar masalah kalau mereka sendiri adalah akar masalahnya. Mentok-mentok juga cuma sosialisasi dan mendatangi pedagang kecil.
Barangkali kalau kita masih berpikir untuk percaya, anggaplah itu oknum Bea Cukai. Tetapi, itu juga membuktikan–Bea Cukai yang bukan cukong rokok ilegal kelewat serampangan menginterpretasikan UU cukai.
Mereka tidak pantas untuk disebut sebagai pelayan publik. Karena lebih suka memidana daripada edukasi dan mengevaluasi tim mereka sendiri.
Bea Cukai tidak memahami mengapa rokok ilegal merebak
Fenomena beralihnya perokok membeli rokok ilegal itu ada masalah yang jauh lebih besar, yaitu kemiskinan yang “dipelihara” oleh negara?
Menurut Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution, Ronny P Sasmita, salah satu faktor anjloknya rokok adalah daya beli kelas menengah dan bawah yang memang masih lesu dan belum membaik dalam beberapa tahun terakhir.
Sedangkan, menurut ekonom sekaligus pengajar di Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, bahwa kebijakan-kebijakan populis menjadi beban bagi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Pasalnya, akibat kebijakan-kebijakan populis itu, pemerintah sampai melakukan efisiensi, PHK di mana-mana, akses lapangan kerja sulit karena pabrik banyak yang bangkrut dan investor banyak yang kabur.
Dengan keadaan demikian, membuat konsumen berpindah mencari rokok yang lebih murah. Dan satu-satunya pilihan adalah rokok ilegal! Warga sipil sudah susah, dan Bea Cukai justru memperparah.
Itu baru dari sisi konsumen mengapa mereka pindah ke rokok ilegal. Sedangkan akar merebaknya rokok ilegal–seperti yang sudah berkali-kali dituliskan adalah kenaikan cukai yang melambung tinggi, tanpa ada perbaikan ekonomi supaya warga sipil bisa membeli.
Juru Bicara Komunitas Kretek, Rizky Benang
- Soeharto: Bapak dari “Pencekik” Petani Cengkeh Bisa-bisanya Jadi Pahlawan Nasional - 10 November 2025
- Kopi Pangku hingga Asap Kretek di Pantura, Potret Perjuangan Hidup yang Tak Bisa Disikapi Pakai Urusan Moral Belaka - 10 November 2025
- Sisi Visioner Purbaya yang Tak Dimiliki Antirokok dan Menkeu Sebelumnya - 5 November 2025
Leave a Reply