Selama ini, apa yang kita makan, apa yang kita minum, apa yang kita pakai sampai apa yang kita isap (kalau ada), semakin lama semakin berasal dari luar negeri. Kurang sekali kepedulian kita akan produk dalam negeri. Bahkan, garam dapur pun kini tidak lagi berasal dari Madura, melainkan dari luar negeri, antara lain dari Australia dan India. Semakin maju teknologi yang kita pakai, semakin jauh pula kita dari produk alam sekitar yang selama ini menopang kehidupan nenek moyang dan orang tua-orang tua kita.
Ketika bangsa-bangsa berkulit putih datang ke bagian demi bagian Indonesia di abad-abad lampau, apa yang tercium oleh mereka? Mereka mencium kekayaan Indonesia, khususnya rempah-rempah. Sekalipun secara “resmi” kedatangan bangsa Eropa itu dicatat pada akhir abad ke-15, namun jauh sebelum itu sudah banyak yang melayari pulau-pulau indah di Indonesia. Kita sebut saja Ternate, daerah yang sampai sekarang masih menyimpan harum cengkeh dan buah pala.
Tembakau juga menjadi salah satu produk Indonesia. Aroma yang berasal dari tembakau Indonesia ini berbeda-beda dari satu daerah dengan daerah lainnya. Di Deli Serdang, Sumatera Utara misalnya, terkenal istilah angina bahorok yang terkait dengan kerusakan tanaman tembakau. Apabila angin bahorok berhembus, lalu orang-orang ingat akan tanaman tembakau yang dilintasinya.
Sebagai produk primer, tembakau kemudian dikembangkan menjadi bagian dari produk yang lain, antara lain rokok kretek. Bisa dikatakan kretek adalah warisan budaya Indonesia yang sama nilainya dengan keris atau batik. Seluruh bahan pembuatan kretek menggunakan bahan-bahan asli Indonesia, sama sekali tidak ada yang ditangkan dari luar negeri. Para petani dan pekebun serta pengusaha kecil adalah bagian dari kebudayaan kretek di Indonesia.
Karena itu, menjadi aneh kalau menghisap kretek dituding bagian dari bunuh diri masal rakyat Indonesia. Kampanye besar-besaran untuk menunjukkan betapa berbahayanya kretek justru datang dari pihak luar negeri yang selama berabad-abad menghisap kekayaan alam Indonesia. Padahal, dibandingkan dengan asap kendaraan bermotor yang jelas-jelas bukan produk Indonesia kandungan zat-zat anti kesehatan di dalam rokok justru tidak ada apa-apanya.
Untuk menghindari kesan buruk itu, saya mencoba mendorong para ahli kesehatan di Indonesia untuk menyelidiki kebenaran dari industri dan produk kretek di Indonesia. Sejak menjadi salah seorang saudagar muda di Indonesia, saya memang selalu mencoba untuk menjadikan sumber daya alam, manusia, dan kebudayaan Indonesia sebagai soko guru perekonomian. Perekonomian yang tidak hanya menegaskan kita sebagai bagian dari mata rantai ekonomi dunia, melainkan memiliki identitas keindonesiaan yang jelas. Begitu pula ketika menjadi pejabat negara, saya mendorong terus seluruh usaha untuk bisa menjadi keunggulan komparatif produk dalam pemerintahan, komitmen untuk memajukan produk Indonesia terus saya perjuangkan dalam rangka kesejahteraan dan kemakmuran seluruh rakyat Indonesia.
Sumbangan Terhadap APBN
Kalau kita perhatikan, sesungguhnya sumbangan untuk pendapatan negara yang diperoleh dari cukai rokok kretek terbesar dibandingkan dengan produk lainnya. Tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan jumlah pajak yang dipungut dari perusahaan-perusahaan multinasional yang telah merusak alam Kalimantan, Sumatera, dan Papua, misalnya. Padahal, eksplorasi dan eksploitasi berlebihan yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan raksasa dari luar negeri terhadap alam Indonesia, bukan saja telah mengakibatkan rakyat kehilangan tempat tinggal, tetapi juga membuat hewan dan tumbuhan banyak yang hilang binasa.
Sekarang, penyumbang cukai terbesar ini diperlakukan bak teroris. Bahkan, lebih berbahaya dari heroin, sabu, sampai zat-zat adiktif narkotika lainnya. Sejumlah regulasi diberlakukan secara sepihak, dengan dasar betapa berbahayanya kretek ( atau rokok ) bagi kesehatan fisik dan jiwa manusia. Kampanye besar-besaran digelar dengan dana dari luar negeri, dengan mengambil contoh anak-anak kecil yang menjadi “korban” dari rokok.
Tentu kita tidak ingin rokok dikonsumsi oleh anak-anak. Sekalipun kita tahu bahwa tembakau sudah dikonsumsi dengan baik oleh ibu-ibu di banyak tempat, termasuk di Minangkabau. Ibu-ibu yang mengunyah sirih dan pinang, disertai tembakau dan rokok, malahan berusia lama, bergigi bagus, dan memiliki ingatan yang tajam. Sebatang rokok, setampuk pinang, adalah kaidah adat budaya ranah Minang yang menunjukkan eksistensi tembakau dalam kelembagaan adat.
Besarnya sumbangan cukai terhadap APBN menunjukkan betapa Indonesia mampu menghasilkan dana besar sumber-sumber dalam negeri. Angka yang paling konservatif menunjukkan betapa pendapatan Negara yang diperoleh dari cukai rokok berjumlah antara Rp 50 triliun sampai 70 triliun per tahun. Hanya saja, sumbangan ini justru tidak dihargai, dibandingkan dengan eksploitasi sumber daya alam lainya, seperti minyak, gas, emas ataupun tembaga dan batu bara. Sama sekali tak ada kampanye akan berbahayanya penggunaan bahan bakar minyak yang berasal dari fosil, misalnya. Kenapa? Kalau itu dilakukan, rakyat akan lebih memilih berjalan kaki, sehingga produksi kendaraan luar negeri itu bisa anjlok secara drastis.
Bahkan, dibandingkan dengan sumbangan tenaga kerja Indonesia di luar Negeri, sumbangan cukai kretek kepada APBN berkali-kali lipat besarnya. Hanya saja, rezim “kesehatan” mencoba mengancurkan tembakau, kretek dan produk ikutannya ini sebagai penyebab beragam penyakit. Padahal, di balik itu semua terjadi perang dagang antara industri farmasi kelas dunia dengan petani-petani tembakau yang hidup pas-pasan di pelbagai belahan negeri ini.
Sumbangan besar itu ternyata tak diakui sebagai sesuatu yang penting. Macam-macam regulasi diupayakan hadir untuk menjadikan rokok sebagai barang haram di Negara sendiri. Sementara itu, pendapatan dari rokok yang masuk ke APBN tidak diharamkan sama sekali. Merokok dan rokok dinilai sebagai kegiatan dan barang haram, sementara pendapatan Negara yang berasal dari industri ini menjadi penopang APBN paling tinggi (di luar pajak migas). Regulasi dan persepsi yang diskriminatif ini terus-menerus dikembangkan secara massif. Rokok sekan-akan tak lebih dari rumah bordil atau bagian dari industri pelacuran, tetapi seluruh warga negara tergantung dari cukai yang dipungut darinya.
Produk Dalam Negeri
Kehadiran buku Divine Kretek: Rokok Sehat ini sangat menarik. Misalnya jelas, menjadikan tembakau, kretek, dan seluruh industri yang terkait sebagai bagian dari kekayaan bangsa Indonesia. Karena itu, saya menyambut baik dan memberikan apresiasi tinggi kepada tim penulis buku ini. Buku ini jelas menunjukkan keberpihakkan kepada produk dalam negeri dan secara terang menunjukkan kontribusi kretek terhadap perekonomian Indonesia.
Buku ini menempatkan kretek dalam bingkai ilmu pengetahuan, tidak terbatas hanya sebagai sumber pendapatan Negara dalam jumlah tinggi. Divine Kretek, sebagai salah satu temuan telah menjadi pionir dalam menunjukkan keberadaan rokok sehat. Menurut penelitian para pakar berbagai disiplin ilmu yang tergabung dalam Lembaga Penelitian Peluruhan Radikal Bebas (LPPRB) di Malang, jika selama ini rokok dipandang sebagai produk yang mematikan, maka tembakau yang menjadi bahan baku utama rokok itu justru mengandung sejumlah zat yang dapat menyembuhkan berbagai penyakit, termasuk kanker.
Perbedaan-perbedaan perlakuan itulah yang menjadikan industri rokok di Tanah Air mengalami guncangan. Padahal, rokok kretek adalah warisan dari budaya luhur dalam bentuk paling awal. Sebagai wilayah pengahasil tembakau, cengkeh, dan bahan baku kretek lainya, para pekerja dan inovator-inovator Indonesia tidak hanya sekedar menjadikan rokok sebagai bagian dari kegiatan ekonomi, melainkan juga sebagai manifestasi dari budaya. Buku ini dengan sangat baik menggali keseluruhan riwayat rokok itu dengan apik.
Di tengah usaha serius untuk menjadikan bagian dari sistem perekonomian global, misalnya dalam kerangka ASEAN Free Trade Area (AFTA), Asia-Pasific Economic Cooperation (APEC) dan kerja sama ekonomi lainya, terlihat Indonesia mengalami ketertinggalan. Yang terjadi adalah semakin terbuka pasar di dalam negeri untuk produk asing, sementara negara asing semakin protektif atas pasar lokalnya. Barang-barang Indonesia sukar masuk ke Negara lain, sementara barang-barang asing bertebaran di took-toko kecil di sebelah rumah kita.
Serangan terhadap kretek, mislanya, adalah jelas ditujukan untuk memenangkan rokok putih yang berasal dari luar negeri. Bahan-bahan dasarnya yang ada di Indonesia, seperti cengkeh dan tembakau, semakin dihilangkan dan dianggap semakin membahayakan bagi kesehatan, Hal ini menunjukkan usaha keras negara-negara produsen rokok putih, sekaligus produsen obat-obatan farmasi, untuk terus memojokkan petani-petani tembakau kita dengan kampanye antirokok-kreteknya itu.
Sampai kapan kita mau mengikuti cara-cara unfair trade itu? Padahal, produk dalam negeri justru membutuhkan proteksi, bukan dibiarkan “bertempur” sendirian di pasaran. Negara berkewajiban untuk melindungi kepentingan dan hajat hidup orang banyak, mengingat berjubelnya manusia-manusia Indonesia yang bejejalan di sektor industi kretek ini.
Semoga buku Divine Kretek: Rokok Sehat ini bisa membuka mata kita semua, demi kepentingan rakyat Indonesia. Kita ingin kretek menjadi tuan rumah di negaranya sendiri, bukan rokok ptuih yang dianggap dan dipersepsikan tidak membahayakan bagi kesehatan itu. Divine Kretek telah memulai upaya menjadikan rokok sebagai produk yang berkelas, bersih, dan sehat. Upaya itu sama denan cara yang ditempuh oleh industri minyak wangi dan kendaraan bermotor yang “ramah lingkungan”. Satu cara untuk menjadikan ekonomi sebagai kekuatan nasionalisme. Sekalipun konsepsi nasionalisme ekonomi terasa janggal, tetapi setidaknya seluruh upaya positif ke arah itu akan membawa Indonesia kepada etape yang tepat bagi kemandiran.
Akankah kita tetap memusuhi produk ini, sesuatu yang memulai didefinisikan sebagai pertautan dari kerja-kerja ekonomi dengan kebanggaan berbangsa dan bernegara?
Oleh : Fahmi Idris (Mantan Menteri Perrindustrian)
Tulisan ini diambil dari kata pengantar di buku Divine Kretek : Rokok Sehat (2011)
- Tuan Rumah di Negeri Sendiri - 1 February 2015