Press ESC to close

Kawasan Tanpa Rokok Adalah Bentuk Ketidakadilan Sejak dalam Pikiran

Saya harus jujur mengatakan bahwa Indonesia adalah negara yang aneh di berbagai hal termasuk dalam urusan pertembakauan. Di satu sisi negara masih menggantungkan hidupnya dari setoran cukai rokok, tapi di saat yang bersamaan pula terus menekannya dengan berbagai aturan. 

Kawasan Tanpa Rokok? Aneh betul

Ada banyak aturan pengendalian yang kemudian membuat ruang gerak Industri Hasil Tembakau semakin tertekan. Dari mulai Undang-undang Kesehatan, kenaikan cukai setiap tahunnya, PP 109 Tahun 2012 hingga yang paling terbaru adalah PP 28 tahun 2024. Semua aturan itu tidak lepas dari  monster mengerikan bernama Framework Convention on Tobacco Control.

Di situ juga muncul keanehan berikutnya: sampai saat ini Indonesia tidak menandatangani dan meratifikasi FCTC, tapi kenapa banyak aturan yang kemudian turut mengadopsi pasal-pasal yang ada di FCTC. Aneh betul. 

Salah satu contohnya adalah aturan bernama Kawasan Tanpa Rokok. Aturan ini termuat dalam Peraturan Pemerintah dari pusat yang kemudian membuat diimplementasikan ke berbagai daerah melalui Peraturan Daerah. 

Bagi yang belum tahu, KTR meliputi fasilitas pelayanan kesehatan, tempat proses belajar mengajar, tempat anak bermain, tempat ibadah, angkutan umum, tempat kerja, dan tempat umum. Nah saya ada pertanyaan usil, kalau gedung kejaksaan itu masuk yang mana. Atau kantor polisi masuk ke mana? 

Baca Juga:  Bloomberg Initiative Mulai PDKT Dengan Menkes Nila F. Moeloek

Yang seharusnya diadopsi adalah Kawasan Tanpa Asap Rokok (KTAR)

Tapi lupakan itu dulu. Saya mau ke persoalan yang lebih serius. Membicarakan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) adalah bentuk ketidakadilan sejak dalam pikiran. Saya bukannya menolak segala aturan hanya saja KTR secara definisi sudah keliru. Sebab yang seharusnya ada adalah Kawasan Tanpa Asap Rokok (KTAR). Karena saya mengakui bahwa tidak semua orang bisa menerima asap rokok, jadi perlu adanya kawasan itu. 

Tapi kalau sudah memakai KTR maka hal-hal yang berkaitan dengan rokok sudah tentu tidak boleh. Dari mulai iklan hingga berjualan.Tentu ini masalah. Bagaimana mungkin hanya beriklan dan berjualan kok tidak boleh. Padahal yang dijual itu (rokok) adalah barang legal. 

Kenapa Kawasan Tanpa Rokok? Rokok bukan barang ilegal

Itu baru secara definisi, secara prakteknya juga membuat segudang masalah. Karena setiap kali ada Kawasan Tanpa Rokok, ruang merokok selalu tidak disediakan secara layak. Padahal ruang merokok itu wajib disediakan dalam KTR, dan harus layak. Kenapa? Karena ruang merokok yang layak itu hak untuk para perokok. Toh perokok itu sudah dermawan menyumbang negara, pemerintah setempat sekedar menyediakan ruang merokok yang layak saja kok ndak bisa. Ironi sekali.

Baca Juga:  Indonesia Tak Perlu Aksesi FCTC

Sialnya juga sejak lahirnya PP 28 tahun 2024 banyak daerah yang sudah membahas aturan KTR yang terlalu saklek dengan PP itu.Salah satunya adalah Jakarta. Pemerintah Jakarta sedang akan membawa Raperda KTR ke rapat paripurna. Padahal sebelumnya aturan itu sudah banyak yang menolaknya. Sebab ada banyak aturan yang justru akan mematikan ekonomi rakyat kecil misal dilarang beriklan, melarang berjualan di radius 200 meter dari instansi pendidikan dan bermain anak, dan lain sebagainya. 

Juru Bicara Komunitas Kretek, Khoirul Atfifudin

BACA JUGA: Kawasan Tanpa Rokok (KTR) Malioboro: Mengintimidasi Ruang Gerak tanpa Dipenuhinya Hak

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *