
Seperti di judul, entah kenapa pemerintah seolah alergi dengan seni, bahkan misalnya sekadar di bungkus rokok. Pertanyaan ini mula-mula tertuju pada riuh akhir 2024 lalu. Galeri Nasional membredel lukisan Yos Suprapto dengan dalih: lukisan terlalu vulgar dan tendensius.
Karena memang lukisan tersebut secara gamblang menghadirkan sosok Jokowi dalam pergulatan situasi nasional saat ini.
Tapi itu pun bukan hal baru. Alergi pada seni sudah pemerintah tunjukkan jauh-jauh waktu. Misalnya saja yang terjadi pada Lekra. Hanya karena terafiliasi dengan PKI, orang-orang yang aktif saya dibunuh.
Seni dalam Bungkus Rokok yang Terancam
Desain bungkus rokok jelas memiliki nilai seni. Gradasi warna, font huruf, logo atau simbol tertentu, dan desain keseluruhan bungkus rokok pada dasarnya merupakan hasil seni dengan nilai filosofis.
Pasalnya, pemerintah sedang menyusun Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) sebagai aturan pelaksana dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28/2024, menyoal rokok ke depan yang harus polos tanpa merek.
Landasan aturan tersebut adalah, produk tembakau khawatirnya akan memotivasi perokok di bawah umur. Jika bungkus rokok makin menarik, paka berpotensi pula menarik minat perokok di bawah umur.
Padahal Tak Menampilkan Sosok Perokok
Pemerintah tidak objektif dalam menilai industri hasil tembakau (IHT).
Bungkus rokok baru bisa dianggap mengajak rokok kalau memang menampilkan ajakan tersebut secara eksplisit. Baik dalam bentuk kalimat maupun desain bungkus rokok.
Nyatanya tidak begitu. Di bungkus rokok maupun iklan rokok tidak ada ajakan semacam itu. Tidak menampilkan pula sosok perokok. Yang ditampilkan justru sesuatu yang bernilai filosofis dan historis.
Ambil contoh logo Gudang Garam yang melegenda saja. Di dalamnya tidak ada makna rokoknya, loh!
Pabrik rokok yang berdiri pada 26 Juni 1958 ini memang mempunyai logo yang ikonik. Logo tersebut menampilkan bangunan gudang yang berdiri di dekat rel kereta api.
Salah satu versi asal muasal penciptaan logonya adalah simbol masa lalu Tjoa Ing Hwie yang pernah bekerja sebagai pembuat telur asin di sekitar Stasiun Kota Kediri. Lokasi produksi telur asin yang dekat dengan rel kereta api menginspirasi desain logo sebagai penghormatan terhadap awal perjalanan bisnisnya di industri tembakau.
Logo tersebut menjadi pengingat cerita tentang sejarah dan perjalanan pendirian bisnis bahwa setiap kesuksesan besar dimulai dari langkah kecil dan kerja keras yang penuh dedikasi.
Bungkus Rokok Polos Memudahkan Rokok Ilegal Tumbuh Subur
Kalau aturan bungkus rokok polos pemerintah sahkan, maka rokok ilegal mempunyai kesempatan masuk pasar lebih mudah. Karena justru dengan polosan tersebut, mereka juga bisa masuk tanpa terlihat berbeda.
Bahkan Ahli Hukum Universitas Trisakti, Ali Ridho menilai, tanpa adanya penindakan yang optimal dan konsisten, justru malah membuat peredaran rokok ilegal semakin besar dan liar.
Dipertebal oleh Guru Besar Universitas Sahid Jakarta, Kholil yang menilai, “Warnanya sama, jadi kalau ada produk yang tidak berkualitas atau dibuat asal-asalan, maka tidak bisa dibedakan. Siapa yang rugi? Konsumen lagi. Berikutnya perlindungan terhadap hukum jadi lemah.”
Pemerintah Mematikan Pekerja Seni
Lebih lanjut, pasti ada seniman di balik karya seni. Begitu juga dengan desain sebuah brand rokok. Mesti ada desainernya, yang bisa menyambung hidup dari kegiatannya menyusun warna dan garis-garis untuk kemudian menjadi desain bungkus rokok yang pas.
Lantas, jika harus polos dan warnanya seragam, bagaimana dengan penghidupan mereka?
Pertanyaan retoris belaka. Toh kita sudah tahu jawabannya. Pemerintah, sepertinya kan akan berpikir jauh ke sana.
Juru Bicara Komunitas Kretek, Rizky Benang
- Pentingnya Rokok bagi Orang Madura untuk Membangun Kerukunan - 10 February 2025
- 4 Falsafah Merokok dalam Prosesi Adat Batak Angkola di Kota Padangsidimpuan - 7 February 2025
- Di Suku Tengger Perempuan Merokok Tidak Distigma Negatif, Jadi Teman saat Kerja di Ladang dan Simbol Kemandirian - 6 February 2025
Leave a Reply