
“Tembakau Srintil itu hanya ada di Temanggung. Varietas tembakaunya bernama Kemloko. Walaupun syarat pertamanya harus varietas kemloko. Namun tidak semua tembakau Kemloko bisa menjadi Srintil” – Lukman Sutopo, petani tembakau sekaligus budayawan yang berprofesi sebagai seorang dalang.
Dari sekian daerah di Temanggung sebagai penghasil tembakau, ada satu daerah yang dianggap sebagai penghasil tembakau Srintil berkualitas terbaik, yaitu Dusun Lamuklegok, Desa Legoksari, Kecamatan Tlogomulyo.
Ketika ditanya, bagaimana proses terciptanya tembakau Srintil terbaik dan kenapa hanya bisa dihasilkan di Temanggung? Jawabannya cukup kompleks. Biasanya masyarakat akan menjawab bahwa tembakau Srintil merupakan tembakau pulung. Pulung itu bermakna keberuntungan.
Alasan mengapa proses menghasilkan tembakau Srintil cukup kompleks, sebab setiap prosesnya itu penting. Dan tidak diketahui bagian mana yang paling berpengaruh dalam pembentukannya.
Ada banyak penjelasan mengapa tembakau terbaik hanya bisa dihasilkan di daerah ini. Dari mulai folklore Sunan Kudus sebagai tonggak cikal bakal tembakau Srintil, sejarah lisan turun-temurun dari nenek moyang, dan sistem pertanian tradisional yang dipakai.
Adapun hal yang paling mudah dijelaskan adalah daya dukung kondisi alam di lereng Sumbing memang menjadi anugerah dan berkah bagi Dusun Lamuklegok yang terletak pada ketinggian antara 800-1000 mdpl.
Cikal bakal tembakau Srintil dalam folklore Sunan Kudus
Cerita Sunan Kudus sebagai tonggak cikal bakal tembakau Srintil banyak beredar di masyarakat. Konon, semua berawal dari keluh kesah Ki Ageng Makukuhan yang bercerita kepada Sunan Kudus bahwa masyarakat tidak mempunyai gairah menanam tembakau.
Mendengar keluhan Ki Ageng Makukuhan, Sunan Kudus lantas melemparkan rigen (alat untuk menjemur rajangan tembakau) sambil berkata:
“Nek kowe arep miara godhong ‘tambaku’ sing piguna kanggo wargamu, tutna lakune idig kiye mengko tibane nang ngendi. Kui panggonan sing bakal metu tanduran godhong ‘tambaku’ sing apik. (Jika kamu hendak menanam daun “tambaku” yang berguna buat masyarakatmu, ikutilah jalannya rigen ini nantinya jatuh di mana. Itulah tempat di mana akan muncul tanaman tembakau yang paling baik).”
Rigen itu diyakini jatuh di Lamuk. Tanah tempat rigen itu jatuh jadi amblas membentuk cekungan yang dalam bahasa Jawa berarti legok.
Wilayah yang legok inilah yang kelak bernama Lamuklegok dan sekarang disebut sebagai Dusun Lamuklegok. Yang kemudian dikenal sebagai daerah penghasil Srintil terbaik.
Sistem pertanian tradisional di balik tembakau Srintil
Sebelum mengenal istilah climate change dan sistem pertanian modern, di masa silam, masyarakat Indonesia sudah mempunyai sistem pertanian tradisional. Satu dari sekian sistem tersebut dinamakan pranata mangsa.
Sistem pertanian tradisional pranata mangsa masih lestari sampai sekarang. Dalam sistem tersebut terdapat praktik spiritual pra tanam hingga pasca tanam.
Dalam konteks petani di Temanggung, sistem ini mempunyai landasan semangat pemuliaan tembakau sebagai anugerah alam Indonesia. Lengkapnya bisa dibaca di tulisan “Magisme Kalender Jawa dalam Proses Tanam Tembakau di Temanggung”
Berkat sistem tradisional itulah tembakau Srintil bisa dihasilkan. Ini adalah satu dari sekian syarat yang harus dilakoni petani tembakau untuk menghasilkan tembakau kualitas terbaik.
Sejarah lisan dari nenek moyang Pak Topo
Nama lengkapnya Lukman Sutopo, seorang petani tembakau sekaligus budayawan yang berprofesi sebagai seorang dalang. Awal kali pertemuan saya dengannya bisa dibaca di catatan Ekspedisi Emas Hijau pertama.
Dalam pertemuan itu, hari sudah petang. Hujan yang jatuh di Lamuklegok cukup deras. Di tenagh cuaca dingin, ditemani teh hangat, Pak Topo bercerita mengenai sejarah asal-muasal varietas Kemloko yang menjadi cikal bakal dari tembakau Srintil.
Dirunut dari sejarah lisan yang turun temurun disampaikan nenek moyang Pak Topo, diperkirakan pada sekitar 1800-an, petani dari Dusun Lamuklegok melakukan perjalanan ke Dieng untuk mendapatkan bibit tembakau dengan berjalan kaki.
Tidak diketahui spesifik daerah Dieng mana yang dituju. Sementara, jika dilihat dari peta, jarak dari desa Legoksari ke Dieng adalah 52 km menggunakan motor dan 49 km jika menggunakan mobil.
Perjalanan pulang dan pergi menghabiskan waktu dua hari dua malam. Lalu, setelah mendapatkan bibit tembakau, para petani menyemainya di Desa. Kemloko, Kecamatan Tembarak, yang berjarak 6,1 km dari Legoksari.
Ada dua alasan mengapa bibit tembakau yang diambil jauh-jauh dari Dieng yang ditempuh dengan jalan kaki tersebut justru malah disemai di Kemloko.
Pertama, lahan di sana pada saat itu dianggap lahan yang paling subur. Kedua, para petani di Legoksari mempunyai banyak saudara yang bermukim di Kemloko. Baru kemudian jika bibit sudah dipastikan sehat, petani membawanya ke Legoksari untuk ditanam.
Di sisi lain, petani dari berbagai daerah juga melakukan hal serupa, yaitu menyemai benih tembakau di Kemloko. Karena banyak orang yang menyemai benih tembakau di sana, masyarakat yang membutuhkan benih pun menjadikan Kemloko sebagai rujukan.
Saat itu jika mencari benih, orang-orang akan bilang “benih Kemloko”. Karena sudah menjadi kebiasaan disebut benih Kemloko, di kemudian hari akhirnya dipatenkan sebagai varietas Kemloko.
Hingga kini, dari penuturan Pak Topo, varietas Kemloko terbagi menjadi delapan. Masyarakat Lamuklegok sendiri, dari hasil penelusuran Ekspedisi Emas Hijau, rata-rata menanam varietas Kemloko 2, 3 dan 8.
Silsilah singkat trah Kemloko 1-8
Dalam rangka menghasilkan benih yang kuat, tahan penyakit, serta menyesuaikan medan lahan yang ditanam, lahirlah banyak varietas Kemloko.
Kemloko 1 dihasilkan dari perkawinan varietas Sindoro dengan varietas Guber Sungu. Kemloko 2 dihasilkan dari perkawinan varietas Kemloko 1 dengan varietas Sindoro lagi. Sedangkan Kemloko 3 itu agak sedikit berbeda dan unik.
Lalu Kemloko 3 dihasilkan dari perkawinan varietas Kemloko 2 dengan varietas tembakau Sawah. Dirancang supaya dapat tumbuh di lahan yang kondisi tanahnya basah. Menghasilkan akar yang panjang dan besar.
Kendati demikian, Kemloko 3 juga bisa ditanam di lahan kering sebagaimana varietas tembakau lainnya.
Untuk Kemloko 4, 6 dan 7, Pak Topo tidak terlalu mengikuti. Sementara Kemloko 5 dihasilkan dari perkawinan varietas Kemloko 1 dengan varietas Prancak. Lalu, Kemloko 8 dihasilkan dari perkawinan varietas Kemloko 5 dengan varietas Kemloko 1. Pak Topo sendiri sedang bereksperimen dengan menanam Kemloko 8.
Segala perkawinan silang bibit ini adalah hasil kreativitas petani dibantu Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) sebagai upaya pengembangkan bibit berkualitas terbaik.
Tidak semua Kemloko bisa menjadi tembakau Srintil
Tembakau Srintil tercipta harus memenuhi beberapa syarat. Varietas tembakaunya bernama Kemloko. Walaupun syarat pertamanya harus varietas tembakau Kemloko, namun tidak semua tembakau Kemloko bisa menjadi Srintil.
Tembakau varietas Kemloko menjadi Srintil juga harus memenuhi beberapa syarat lagi. Syarat-syarat yang tidak bisa dipenuhi oleh daerah lain ketika dalam proses pembentukan Srintil. Contohnya, embun yang muncul di lereng Sumbing. Begitulah yang dipercayai Pak Topo dan masyarakat lainnya..
Syarat berikutnya, tembakau Kemloko bisa menjadi Srintil karena harus ditanam di lahan dengan ketinggian 800 mdpl ke atas. Dan lokasi lahan di atas 800 mdpl ini hanya dimiliki oleh Temanggung dengan lereng Gunung Sumbing dan Sindoro.
Hal ini menjadi penting karena untuk memenuhi syarat berikutnya, yaitu tembakau yang berada di lereng ketinggian di atas 800 mdpl, akan menjadi tanaman pertama yang terkena cahaya matahari pagi saat terbit.
Kemudian, tembakau harus siap panen pada mangsa katelu dan kapapat pada pranata mangsa sesuai hitungan sistem tradisonal yang berlaku.
Juru Bicara Komunitas Kretek, Rizky Benang
BACA JUGA: Tembakau Itu Ora Margi Neng Dayani, Tidak Mengenyangkan Tapi Memberikan Kekuatan
Leave a Reply