
Di tengah gempuran rokok murah dan ilegal, saya bertemu dengan Artha. Merek rokok ini lantas menjadi lebih sering saya beli. Pasalnya, sudah murah, enak, isinya pun banyak.
***
Merebaknya rokok ilegal bukan murni kesalahan konsumen. Kretekus membeli karena kenaikan cukai melambung tinggi–menyebabkan rokok enak tak terbeli. Untungnya, Menteri Keuangan, Purbaya Yudhi Sadewa menekankan tidak akan menaikkan cukai rokok pada 2026 nanti.
Memang rokok ilegal murah. Kesannya juga, kita sebagai kretekus memberikan perlawanan kepada pemerintah karena tidak menyumbang cukai.
Nahasnya, daripada memberikan perlawanan, justru kita malah merugikan petani dan buruh. Itu hanya satu dari sekian alasan saya tidak mengonsumsi rokok ilegal. Meskipun harga murahnya sangat menggiurkan.
Saya lebih memilih ngelinting atau beli rokok murah. Nah, dari sekian rokok murah itu, ada merek Artha. Rasanya enak dan isinya pun banyak. Pokoknya layak dicoba.
Rokok Artha ini merupakan produksi dari Jawa Timur. Spesifiknya dari PT. Rukun Global Indojaya, Malang.
Desain bungkus
Desain bungkus Artha ini memang biasa saja. Kesan murahnya sudah terlihat dari visualnya. Akan tetapi, soal rasa tidak bisa dinilai dari estetika. Itu dua hal yang berbeda.
Warna bungkusnya didominasi warna merah perpaduan garis-garis hitam dan putih. Terdapat pula imboost bulat-bulat hitam di balik tulisan Arthanya yang besar yang berwarna putih.
Secara desain, bungkus rokok ini tampak biasa saja. Dan mungkin tidak menarik untuk dibeli. Jujur saja.
Saya sendiri awalnya tidak tertarik. Ragu sekali.. Maka dari itu, saya pertama kali mencobanya dari rekomendasi teman yang memberi. Katanya enak. Murah lagi.
Aroma, bentuk, tarikan, dan rasa rokok Artha
Biasanya, ritual saya sebelum mencicipi rokok yang pertama kali saya hisap adalah mencium aromanya. Kadang kala ada rokok yang dari aromanya itu seger, manis, bahkan aroma rasanya tercium kuat. Tapi ketika dihisap rasanya anyep.
Ada juga yang aromanya itu tipis, tetapi ketika dihisap, rasanya sungguh kuat. Tentu yang bagus itu aromanya kuat, rasanya juga enak.
Nah, rokok Artha sendiri aroma tembakaunya begitu terasa. Tidak banyak bau yang saya cium kecuali aroma tembakaunya. Jadi agak sulit menebak rasanya jika hanya dari aroma.
Setelah mencium aroma, saya mengamati kerapihan bentuk rokoknya. Apakah tembakaunya meluber atau tidak. Sependek beberapa kali beli. Artha masih menjaga kerapihannya. Biasanya terlihat kalau sudah lama di pasaran–apakah mereka masih konsisten dengan kerapihan itu atau tidak.
Hal ini penting untuk diperhatikan, karena menyangkut kepadatan. Dan dari kepadatan berpengaruh apakah rokok ini mudah dihisap atau tidak.
Bentuk ukuran batang rokok Artha terbilang king size. Sama seperti sigaret kretek tangan (SKT) pada umumnya.
Batang rokoknya sendiri dibungkus plastik biasa. Bukan alumunium foil. Batangnya rokok Artha cukup padat. Awalnya saya curiga akan sulit dihisap.
Rokok yang terlalu padat dan sulit dihisap itu akan merusak mood. Itu kecurigaan pertama kali saya. Namun, setelah saya bakar. Ternyata sebaliknya. Tarikannya halus, lembut di tenggorokan, dan tidak ada sensasi nyegrak.
Kesan pertama yang bagus. Karena percuma rasanya enak kalau tarikannya tersendat.
Rasa SKT Artha ini didominasi gurih dan manis. Mirip dengan SKT Tenor Reguler yang berwarna hijau. Istilah kata, versi soft-nya.
Gurih dan manisnya konsisten. Biasanya kalau rokok ilegal, atau rokok legal yang murah itu mempunyai kekurangan dalam hal konsintensi rasa. Paling enaknya hanya sampai setengah batangnya terbakar. Artha tidak demikian.
Aftertaste-nya sendiri tidak meninggalkan sensasi pahit berlebih. Tipis sekali. Bahkan bisa dibilang hampir tidak ada. Pokoknya benar-benar mirip Tenor Reguler.
Distribusi dan harga rokok Artha
Dari pencarian saya di internet, belum menemukan apakah SKT Artha ini sudah beredar di area Jabodetabek atau belum. Saya sendiri belinya di Jogja. Mudah ditemukan di warung Madura.
Harganya sendiri dipatok senilai Rp11 ribu saja dengan isi 16 batang. Sangat cocok untuk kaum mendang-mending seperti saya, apalagi di akhir bulan.
Juru Bicara Komunitas Kretek, Rizky Benang
- Soeharto: Bapak dari “Pencekik” Petani Cengkeh Bisa-bisanya Jadi Pahlawan Nasional - 10 November 2025
- Kopi Pangku hingga Asap Kretek di Pantura, Potret Perjuangan Hidup yang Tak Bisa Disikapi Pakai Urusan Moral Belaka - 10 November 2025
- Sisi Visioner Purbaya yang Tak Dimiliki Antirokok dan Menkeu Sebelumnya - 5 November 2025
Leave a Reply