Press ESC to close

Tenor Hijau Jadi Pengingat: Kita Masih Bisa Menikmati Hidup dengan Kesederhanaan

Saya adalah perokok yang agak pilih-pilih. Bukan karena sok tahu soal tembakau atau merasa lebih paham dari orang lain. Tapi lebih karena saya sudah terbiasa menimbang segala sesuatu dengan logika kantong.

Sejak mulai bekerja dan mengatur keuangan sendiri, saya belajar bahwa hidup itu bukan cuma tentang berapa banyak uang yang bisa didapat. Tapi juga tentang seberapa pandai kita mengelolanya agar tetap bisa hidup tenang. Dan dari semua pengeluaran harian yang sering saya pikirkan ulang, satu yang paling sering membuat saya berhenti sejenak adalah rokok.

Rokok dan kopi: dua hal vital penunjang  pekerjaan

Mungkin buat sebagian orang mudah mengatakan, “Kalau nggak punya uang, ya jangan ngerokok.” Tapi buat saya, kalimat itu terlalu datar untuk menjelaskan hubungan antara manusia dengan rokok kretek.

Karena bagi saya, rokok adalah salah satu ubo rampe yang harus ada ketika saya bekerja. Sebagai seorang desainer grafis dan ilustrator, saya hidup dari ide dan imajinasi.

Dua hal itu tidak bisa dipaksakan muncul begitu saja. Saya butuh suasana, butuh waktu, dan yang paling penting, butuh ketenangan. Ketenangan itu biasanya hadir dari dua hal sederhana: secangkir kopi dan sebatang rokok.

Ketika dua benda itu ada di meja, dunia rasanya melambat. Asap rokok naik pelan, wangi kopi menyebar, dan pikiran saya mulai bekerja dengan ritme yang saya suka. Garis-garis di sketchbook mulai hidup, ide-ide liar muncul tanpa diminta. Mungkin kalau Bandung Bondowoso butuh Rorojonggrang sebagai alasan untuk membuat candi semalaman. Saya hanya butuh kopi dan rokok untuk membabibutakan dunia ini dengan imajinasi liarnya.

 Tenor Hijau: tak mencoba jadi mewah, tapi punya kelasnya sendiri

Tapi ya, selera dan penghasilan kadang susah berdamai. Waktu awal tinggal di Jogja, saya sering pontang-panting mencari rokok yang cocok di lidah tapi juga cocok di dompet. Semua orang tahu gaji UMR Jogja bukan sesuatu yang bisa dibanggakan.

Baca Juga:  Tukar Isapan Rokok dalam Perkawinan Adat Talang Mamak

Dari situ, saya mulai menjelajah warung ke warung, mencoba berbagai rokok kelas tiga yang kadang bahkan namanya belum pernah saya dengar. Ada yang terlalu tajam di tenggorokan, ada yang hambar, ada juga yang rasanya seperti asap saja tanpa jiwa atau biasa saya sebut dengan rokok wagu. Sampai akhirnya, di suatu sore yang tidak terlalu istimewa, saya menemukan satu nama yang akhirnya jadi andalan: Tenor Hijau.

Secara harga, Tenor ini berada di kisaran Rp10 ribuan. Tapi dari rasa, menurut saya, nilainya lebih dari itu. Tarikannya halus tapi tetap punya karakter, ada sensasi asin-gurih yang lembut di lidah, khas rokok yang memakai racikan tembakau dan cengkeh dengan takaran pas.

Saya menyebut rasanya “tidak wagu”—rokok yang sederhana tapi jujur. Tidak mencoba jadi mewah, tapi tetap punya kelasnya sendiri. Dari semua rokok murah yang pernah saya coba, Tenor Hijau ini belum ada tandingannya.

Tenor Hijau:  berada di tempat nyaman untuk dinikmati

Yang juga menarik buat saya adalah bungkusnya. Warna hijau yang mendominasi seolah ingin menunjukkan kesederhanaan dan ketenangan. Tapi perpaduannya dengan warna cokelat memberi kesan kuat—seperti mengingatkan kita pada warna tembakau dan cengkeh yang jadi jantung dari rokok itu sendiri.

Tulisan “TENOR” tercetak tegas berwarna putih di tengah kemasan, sederhana tapi mencolok, seperti ingin bilang, “Aku mungkin murah, tapi aku jelas.” Saya sering memperhatikan bungkusnya setiap kali membeli, dan kadang berpikir, kenapa namanya Tenor?

Saya mencari tahu di internet, kenapa rokok ini namanya Tenor. Sayangnya tidak ada artikel yang membahasnya, hehe. Tapi rasa penasaran saya kemudian mendorong otak saya untuk mengira-ira.

Kurang lebih anggapan saya seperti ini, kata “tenor” sendiri, dalam dunia yang juga saya geluti (musik), menunjuk pada jenis suara yang berada di nada tengah-tinggi. Tidak rendah, tidak juga melengking, tapi punya keseimbangan yang enak di dengar.

Dan entah kenapa, saya merasa nama itu cocok sekali dengan rokok ini. Tenor Hijau, seperti suaranya sendiri, tidak terlalu berat tapi juga tidak ringan. Ia berdiri di tengah-tengah, di tempat yang paling nyaman untuk dinikmati. Rasanya pas, nadanya pas, tidak memaksa, tidak juga menjemukan. Seolah memang dibuat untuk mereka yang ingin hidup sederhana, tapi tetap punya selera.

Baca Juga:  Puntung Rokok Memang Makhluk Yang Jahat

Menikmati kesederhanaan

Sekarang, tiap pagi sebelum mulai kerja, saya selalu menyiapkan dua hal: secangkir kopi hitam dan sebatang Tenor Hijau. Di saat seperti itu, saya sering merasa hidup tidak seburuk itu.

Saya mungkin belum punya banyak, tapi saya punya cara untuk menikmati sedikit waktu di tengah padatnya hari. Sepuluh ribu rupiah untuk sebungkus rokok, lima belas menit untuk menghabiskannya perlahan, dan satu pikiran yang selalu saya pegang—bahwa kebahagiaan tidak selalu datang dari hal besar.

Kadang, ia tersembunyi di antara kepulan asap yang tenang. Di tengah warna hijau-cokelat yang sederhana, dan di rasa gurih yang tidak berlebihan.

Tenor Hijau, bagi saya adalah rokok pengingat bahwa dalam hidup yang sering serba ugal-ugalan ini, ada sebuah ruang yang bisa kita isi dengan kesederhanaan. Bahwa tidak semua hal harus mewah untuk bisa dinikmati. Kadang, yang kita butuhkan cuma sedikit waktu, sedikit tembakau, dan sedikit ketenangan untuk merasa cukup. Tenor is my life!

Pegiat Komunitas Kretek, Bayu Adhi Laksono

BACA JUGA: In This Economy, Tenor Teh Manis Menjadi Andalan. Harga Murah, Tapi Rasa Nggak Murahan

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *