Press ESC to close

Rokok Kawung Khas Sunda: Rokok Rakyat Representasi Kesederhanaan yang Ditelan Zaman

Jawa tak cuma kental dengan sejarah rokok klobot. Tapi ada rokok kawung dari tanah Sunda.

***

Dalam buku “Wacana Kretek sebagai Warisan Budaya”, Portugis disinyalir menjadi negara asing yang pertama kali memperkenalkan tembakau kepada masyarakat Nusantara. Namun, belum ada data spesifik yang menjelaskan perbedaan tembakau Nusantara dengan tembakau Portugis.

Meski bangsa-bangsa Eropa datang ke Nusantara sejak abad ke-16 Masehi melakukan budidaya tembakau, sulit menelusuri orisinalitas tembakau karena di Nusantara juga telah tumbuh tembakau sebelumnya.

Sedangkan kalau berbicara budaya merokok di masyarakat Nusantara, dalam buku “Membunuh Indonesia” disebut rokok pada mulanya diperkenalkan oleh orang Belanda kepada para bangsawan di kerajaan. Hingga akhirnya diikuti oleh rakyat jelata. Bedanya, para bangsawan menghisap cerutu, rakyat kecil menghisap rokok lokal dengan berbagai kreativitasnya.

Hasil kreativitas rakyat kecil untuk menikmati tembakau khas tercipta lah rokok kretek di Kudus, Jawa Tengah, yang diramu oleh H. Djamhari. Geser ke tanah tetangga, Tatar Pasundan. Di sana juga tercipta rokok khas yang bernama rokok kawung.

Mengenal rokok kawung khas Tatar Pasundan

Rokok kawung dibuat dengan pembungkus daun kawung (daun pohon aren). Konon, penemunya adalah seorang Tionghoa penduduk Bandung yang belum diketahui dengan pasti namanya–yang untuk pertama kali membuat rokok kawung di tahun 1905.

Sedangkan dalam artikel Pikiran Rakyat edisi budaya yang berjudul “Cerita Tentang Kawung dan Kejayaan Rokok Lokal,” bersumber dari cerita dari penduduk tua Kampung Cibeureum, Garut, menjelaskan bahwa “Awal mulanya penderes (penyadap) ngebul tembakau linting daun kawung, terus ada juragan Tionghoa ngambilin buat dijual”.

Juragan Tionghoa melihat peluang tersebut karena pada saat itu mereka aktif berbisnis industri tembakau (khususnya sebagai pebisnis toko bako). Begitu pula penjelasan dalam buku “Kretek: Pusaka Nusantara” (Yayasan Kretek, 2013), hlm. 47–49.

“Para perajin Tionghoa memanfaatkan bahan lokal seperti daun aren (kawung) yang telah lama dipakai penderes.”

Dikonfirmasi juga dalam buku “Kebudayaan Sunda: Suatu Pendekatan Sejarah” (1995), bahwa tradisi penderes kawung di Priangan (Bandung, Garut, Tasik) menghasilkan gula aren dan produk turunan seperti daun kawung kering yang digunakan untuk pembungkus.

Representasi hidup sederhana

Rokok kawung menjadi rokok lintingan khas Tatar Pasundan, lahir dari tangan petani dan buruh tani yang merepresentasikan kehidupan sederhana. Koran berbahasa Belanda De Indische Courant pada 12 Desember 1934, juga turut memotretnya.

Baca Juga:  Mengapa Banyak Perokok Marlboro yang Beralih ke Rokok Country?

”Di Preanger (Priangan), dikenal rokok kawung, rokok yang sangat tipis, digulung dalam daun aren dan diisi dengan tembakau asli, yang dikeringkan di atas api.”

Pasaran rokok kawung tidak hanya tersebar di daerah Jawa Barat saja. Rokok kawung pada masanya juga meluas ke Jakarta, hinga Sumatera.

Sebagai informasi, rokok kawung pada mulanya tidak menggunakan campuran cengkeh, tetapi beberapa modifikasi yang muncul di Ciledug Wetan Majalengka, dan Cilimus, Kuningan sudah menggunakan gilingan cengkeh. Jadi, rokok kawung itu bisa dikonsumsi dengan atau tanpa cengkeh. Seperti halnya rokok klobot di Jawa.

Rokok kawung: rokok rakyat yang tenggelam oleh zaman

Disadur dari artikel JCCNetwork.id, di Bekasi era 80-an banyak aki-aki (kakek-kakek) yang setia menghisap rokok kawung sebagai teman bekerja di sawah dan di kebun. Daun kawung juga mudah ditemukan di pasar-pasar Bekasi.

Kelekatan rokok kawung dengan masyarakat Sunda juga tergambar dari buku cerita berjudul “Munjung” karya Mohamad Ambri. Sastrawan asal Sumedang tersebut menggambarkan tiga pemuda di gardu ronda sedang menghangatkan diri di depan api unggun sambil menghisap rokok.

Tidak disebutkan rokok merek apa yang dihisap ketiga pemuda tersebut. Namun, Ambri menuliskan bahwa salah satu tokoh yang bernama Salhiam membawa potongan daun kawung dari rumah.

Untuk tembakaunya sendiri, dikutip dari Suara Pembaruan (14-02-1993 hal 10) dari layanan Koleksi Surat Kabar Langka Salemba Perpustakaan Nasional RI, biasanya pelinting menggunakan tembakau Mole dari Sumedang. Bako Mole dianggap perpaduan sempurna bila dilinting dengan daun kawung.

Sebagai informasi, bako Mole tersebar di dua kota, yakni Garut dan Sumedang. Dalam Pemberitaan Algemeen Handelsblad 27 Januari 1889 menyebutkan bahwa warga Eropa yang menetap di Priangan membeli tembakau dan mengekspornya ke Australia dan Amerika.

Koran lokal berbahasa Sunda juga tak luput memberitakan tentang tembakau. Sipatahoenan dalam edisi Rabu 30 Juni 1937 mengulas soal penambahan lahan tembakau di Garut.

Kaajaan kitoe teh, sebagian dilantarankeun koe hadena piaraan kebonnna, satjara pepelakan parantaraan bisa digarap anoe leuwih economisch di antarana di desa Tjisoeroepan (Keadaan seperti itu, karena pemeliharaan lahan tembakau yang bagus, tanaman pun bisa digarap secara lebih ekonomis, seperti yang dilakukan di Desa Cisurupan).”

Baca Juga:  Review Rokok LA Lights, Sang Pendobrak Nama Besar

Namun sayangnya, rokok kawung perlahan mulai menghilang dari tangan-tangan petani maupun masyarakat Sunda pada umumnya. Meredupnya rokok kawung bersamaan juga dengan meredupnya rokok klobot di Jawa.

Pasalnya, pada tahun sekitar 1930-an, rokok merek Tjap Bal Tiga mill raja kretek Nitisemito mulai menguasai pasar. Termasuk rokok sigaret kretek mesin pada tahun sekitar 1950-an mulai masif dikonsumsi masyarakat.

Di sisi lain, merek-merek rokok kawung juga gagal bertahan di industri rokok. Disadur dari arsip Belanda Bataviaasch Nieuwsblad, De Preangerbode, dan iklan kolonial, di Tatar Pasundan ada tiga merek rokok kawung dari tiga kota. Di antaranya: Tjap Daun Kawung, Bandung, Tjap Badak, Garut, dan Tjap Payung, Tasikmalaya.

Makna bagi masyarakat Sunda

Dikutip dari penelitian Sarip Hidayana dkk berjudul “Makna Budaya Pohon Aren dalam Pendekatan Ekologi Budaya di Kampung Adat Dukuh, Cikelet, Garut”, disebutkan bahwa pohon kawung dianggap sebagai manusia itu sendiri, menjadi bagian hidup masyarakat kampung adat Dukuh.

Bahkan pada saat proses penyadapan, ada sebuah ritual doa arti kasih sayang untuk pohon kawung yang berbunyi: “Nyai, hidep tah geus manjing dewasa, akang bogoh ka hidep, sing iklas sing rido, hiji mangsa akang nitah nyuluran omat hidep olah pundungan. Sing jadi bekel hasil ti hidep kahirupan dunya jeung ahirat.”

Artinya: Nyai, kamu sudah masuk usia dewasa, saya (penyadap) sayang sama kamu, kamu harus ikhlas dan rida, jika suatu hari saya minta orang untuk menyadap kamu, kamu jangan marah. Semoga apa yang dihasilkan dari niramu dapat bermanfaat dunia akhirat.”

Juru Bicara Komunitas Kretek, Rizky Benang

BACA JUGA: Sejarah Rokok Sukun, dari Klobot Hingga Terkenal

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *