Press ESC to close

Panen Cengkeh di Tengah Pandemi

Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan, adalah salah satu daerah penghasil cengkeh. Puncak musim panen cengkeh di sana diprediksi akan berlangsung pada Agustus-September nanti. Sial, menjelang panen para petani dihantui rasa cemas.

Adalah pandemi COVID-19 yang menjadi sumber utama kekhawatiran para petani cengkeh. Betapa tidak, wabah penyakit akibat virus corona ini tak hanya membunuh nyawa, tapi juga melumpuhkan ekonomi banyak negara. Suka tidak suka, panen cengkeh tahun ini akan sulit dirayakan.

Seperti yang kita tahu, 90 persen produksi cengkeh dalam negeri diserap oleh industri rokok. Kini hampir semua industri tidak beroperasi secara optimal. Termasuk pabrik rokok. Penurunan penjualan membuat pabrikan harus berhitung ulang menyoal produksi. Alhasil, produksi ditekan. Kuota serapan cengkeh turut anjlok. Petani pun terdampak.

Mulyadi, anggota DPRD Luwu yang juga seorang pedagang cengkeh, memperkirakan bahwa harga cengkeh hanya akan laku terjual pada kisaran harga Rp 50 ribu hingga Rp 60 ribu per kilogram. Pada masa kejayaannya, cengkeh dihargai sekitar Rp 100 ribu hingga Rp 150 ribu per kilogram. Benar-benar berbeda dengan situasi saat ini.

Sebelum pandemi pun cengkeh di beberapa daerah sudah mulai mengalami penurunan harga jual. Penurunan ini ditengarai akibat dari kebijakan tarif cukai 2020 yang mencekik stakeholder kretek dari hulu ke hilir.

Baca Juga:  Hei, Komnas HAM: Hak Asasi Perokok Wajib Dilindungi Negara

Dampak itu juga dirasakan langsung pada komoditas tembakau, lantaran pabrikan membatasi kuota produksinya. Sebagai pengingat, pasar rokok dalam negeri dikuasai oleh produk kretek. Baik kretek tangan maupun kretek mesin, kontennya adalah campuran tembakau dengan cengkeh.

Selain terdampak kebijakan cukai, pada masa pandemi ini komoditas cengkeh juga terkena dampak dari pemberlakuan social distancing, yang mengakibatkan terkendalanya jalur distribusi, tak pelak ongkos yang harus dikeluarkan pun meningkat. Belum lagi persoalan penumpukan karena harus mengikuti prosedur pembatasan yang berlaku.

Sebelum persoalan anjloknya harga dan persoalan hambatan distribusi, petani cengkeh juga harus berkutat dengan persoalan lain, yakni ketiadaan buruh petik.

“Karena upah petik tidak sebanding dengan harga jual cengkeh. Apalagi ini masa pandemi, buruh petik dari luar pasti dilarang masuk,” ujar Mulyadi.

Tak dipungkiri, panen cengkeh jadi tidak menguntungkan, apalagi di masa pembatasan akibat wabah virus corona. Selain karena harganya yang bergerak turun, petani banyak yang enggan keluar untuk menjual cengkehnya lantaran pembatasan tersebut. Petani merugi.

Banyak petani cengkeh menahan hasil panennya ketika harga sedang jatuh, tidak seluruhnya hasil panen cengkeh dijual ke pengepul. Selain sebagai siasat meminimalisir kerugian, biasanya sebagian cengkeh akan disimpan untuk tabungan jika sewaktu-waktu dibutuhkan untuk keperluan penting.

Baca Juga:  Kebijakan Tembakau Harus Bersih Dari Intervensi Asing

Kini Indonesia memasuki babak New Normal. Dengan asumsi bahwa penyebaran virus sudah berkurang, aktivitas ekonomi bisa perlahan kembali berjalan. Semoga para petani yang menggantungkan nasib pada cengkeh dan komoditas lain bisa segera pulih.

Biar bagaimanapun, industri rokok dalam negeri, yang selama ini menjadi andalan pemasukan negara, tidak lepas dari andil para petani sebagai penopang utama ketersediaan bahan baku. Harapannya, situasi jauh lebih baik pada musim panen cengkeh tahun depan. Atau kalau bisa, sudah membaik di bulan Agustus nanti.

Pemerintah juga tidak boleh hanya mengambil upaya-upaya taktis saja tanpa memikirkan solusi strategisnya. Setidaknya, segera mengambil sikap untuk memberi jaminan perlindungan terhadap sumber-sumber riil penghidupan masyarakat.

Aris Perdana
Latest posts by Aris Perdana (see all)

Aris Perdana

Warganet biasa | @arisperd