Press ESC to close

Kebijakan Cukai Dalam Dekade Terakhir

Kebijakan cukai dalam 10 tahun terakhir ini memang mengerikan. Salah satu yang kerap dirasakan masyarakat pertembakauan adalah soal kenaikan tarif cukai. Kenaikan tarifnya rata-rata di atas 10%. Bahkan, kurun beberapa tahun terakhir, kenaikannya mencapai lebih dari 20%.

Kondisi ini tentu sangat memberi dampak yang luar biasa bagi mata rantai Industri Hasil Tembakau. Dari tahun ke tahun jumlah pabrikan berkurang, beban produksi terlampau tinggi. Petani tembakau pun harus mengenyam kenyataan pahit lantaran menurunnya permintaan bahan baku dari pabrikan.

Untuk mengatasi persoalan kenaikan cukai, pabrikan memang mau tak mau harus mengambil langkah efesiensi. Di antaranya dengan melakukan pembatasan kuota produksi, yang otomatis berdampak terhadap serapan tembakau dari petani.

Dalam kurun sepuluh tahun terakhir, konsumen rokok terus dihadapkan pada persoalan harga rokok yang terus naik. Sehingga banyak yang kemudian turun kasta, adapula yang beralih ke tingwe ataupula membeli rokok ilegal. Stigma terhadap perokok terus saja terjadi, dalih menaikkan cukai untuk mengurangi prevalensi perokok tak pernah terbukti. Perokok selalu punya cara untuk tetap berasap.

Baca Juga:  Ancaman FCTC Bagi Indonesia

Di balik kebijakan cukai yang aksesif dalam dekade terakhir ini, ditengarai adanya campur tangan kepentingan lain yang mendesak pemerintah yang menjadikan cukai sebagai instrumen pengendalian konsumsi. Pemerintah tersandera dilema. Di satu sisi mendapat desakan dari kepentingan kesehatan, di sisi lain ya memang masih mengandalkan cukai sebagai cara untuk menambal persoalan ekonomi negara.

Sebagaimana kita tahu, kebijakan tentang cukai ini kerap dipengaruhi skema kepentingan kesehatan. Di antaranya dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Keuangan No. 222 tahun 2017, yang mematok 50% dari DBHCHT untuk Jaminan Kesehatan Nasional. Termasuk pula untuk membantu pengentasan Covid 19.

Pengelolaan DBHCHT yang seharusnya secara peruntukkan kembali ke petani untuk peningkatan mutu bahan baku. Namun, tak semua dapat dirasakan secara jelas. Fakta yang terjadi, masih ditemukan adanya tindak penyalahgunaan DBHCHT.

Di tengah kondisi yang tak menguntungkan bagi stakeholder tembakau, wacana simplifikasi cukai juga menjadi bagian dari agenda pemerintah yang didorong oleh antirokok. Perlu diketahui, logika penyederhanaan tarif cukai ini hanya akan melanggengkan oligopoli bisnis rokok. Golongan modal besar saja yang berkuasa, pabrikan kecil niscaya bertumbangan. Tak kuat lagi membayar cukai yang tarifnya dipatok sama dengan golongan besar.

Baca Juga:  Bahaya Laten Anak Merokok

Di tengah kondisi pandemi yang tak kunjung usai, pemerintah masih menggunakan nalar yang sama. Cukai hasil tembakau diperkirakan mengalami kenaikan di atas 20%. Angka yang sangat mengancam kelangsungan ekonomi pertembakauan. Meski selalu tak diuntungkan dan penuh kontroversi, semua stakeholder tembakau tetap setia pada proses pembangunan ekonomi negara melalui kretek.

Jibal Windiaz

anak kampung sebelah