Press ESC to close

Rokok Ilegal dan Solusi Pemberantasannya

Instrumen cukai yang digunakan pemerintah untuk menekan konsumsi rokok justru menuai potensi kerugian. Tarif cukai yang terus dibuat naik tinggi telah mengakibatkan maraknya peredaran rokok ilegal. Hal ini diakui sendiri oleh Menteri Keuangan, Sri Mulyani, pada beberapa waktu lalu.

Untuk itu pemerintah mengambil langkah lebih serius dalam upaya pemberantasan. Beberapa daerah yang menjadi jalur peredaran rokok tanpa cukai terus dipantau, ada yang berhasil dibekuk dan disita barang buktinya. Bahkan, melalui media dikabarkan terjadi baku tembak hingga memakan korban.

Nyaris seperti memerangi terorisme. Pelaku bisnis rokok ilegal harus mati karena dianggap melawan. Iya jelas melawan lah, kalau sudah menyangkut keselamatan hidup apalagi mungkin didasari dendam lantaran merasa diliciki aparat.

Sudah bukan rahasia, bicara soal pasar gelap ataupula bisnis produk ilegal, selalu ada saja praktik kongkalingkong di baliknya. Permainan bawah tangan dengan oknum aparat demi kelangsungan bisnis, bahkan dianggap lazim. Ini yang perlu pula menjadi perhatian khusus. Jika memang pemerintah serius.

Toh, perkara korupsi dana Bansos yang lalu misalnya, elit pemerintah dan oligarki turut bermain. Tak ayal jika ini kemudian menjadi contoh bagi yang lain. Mau berantas korupsi, tapi kok figur publik malah mencontohi perilaku korup. Gimana itu coba.

Baca Juga:  Prediksi IHT Pasca Kenaikan Cukai 2022

Dalam konteks memberantas rokok ilegal, kuncinya satu, ada di regulasi cukai. Coba itu tarif cukai tidak dibikin naik terus, harga rokok stabil. Biarkan para pelaku usaha rokok terus berkembang secara legal mengadu peruntungan. Jangan dibebani dengan pungutan tinggi yang malah bikin mereka bangkrut.

Kalau sudah bangkrut, terus mau bertahan hidup di mana lagi, wong modal kewiraannya sudah di situ. Pilihan mentoknya ya bermain tanpa cukai sekalian. Kenapa itu terjadi? Iya karena pemerintah menggunakan dalih menekan konsumsi rokok hanya lewat menaikkan cukai.

Sudahlah krisis akibat pandemi, nasib masyarakat diperolok ketidakjelasan sikap pemerintah pula. Di titik itu, pelaku usaha dibebani persoalan regulasi yang tidak berpihak. Mestinya, ada satu upaya inklusif untuk mengakomodasi nasib para pelaku usaha kecil di sektor rokok.

Iya misalnya, dengan menghimpun mereka di satu lingkup seperti halnya di LIK Kudus, beri kelonggaran bebanan cukainya agar mereka tetap bisa memproduksi rokok secara legal. Paradoks memang. Di satu sisi mau menekan konsumsi rokok, namun juga mengakomodir pelaku usaha rokok.

Baca Juga:  Alokasi DBHCHT yang Baik Ala Sulawesi Selatan

Iya itulah konsekuensi yang harus pemerintah tanggung jika masih berharap pendapatan dari sektor rokok. Terus terang saja, menengarai upaya pemberantasan sampai terjadi tembak menembak dan memakan korban. Kok ngeri banget. Kok urusan bisnis rokok jadi kayak berurusan dengan mafia heroin gitu.

Jika memang itu yang sedang dicitrakan, agar citra rokok dan bisnis rokok di Indonesia ini terkesan gawat. Agar mata rezim antitembakau semakin yakin akan keseriusan pemerintah Indonesia menghapus entri rokok dari keseharian masyarakat. Kalau memang betul, iya konyol banget sih.

Solusinya tetap ada di pemerintah, jika memang serius. Dimulai dari, ubah entri kata ‘memberantas’, ganti dengan ‘merangkul’. Buatlah regulasi yang berpihak, bukan regulasi yang membajak nasib rakyat.

Jibal Windiaz

anak kampung sebelah