Search

Berhenti Merokok Itu Sungguh Sangat Sederhana

Berhenti merokok sebetulnya bukanlah perkara sulit. Tanpa harus diembel-embeli alasan ini-itu, berhenti ya tinggal berhenti saja. Mungkin, seringkali kita terjebak oleh istilah perokok berat yang dialamatkan kepada orang yang aktivitas merokoknya berbeda dari social smoker.

Bagi social smoker, merokok hanya sebatas pemantas di pergaulan. Sekadar untuk terkesan agar tidak merasa terasing dari kalangan. Iya golongan itu ada memang. Lalu siapa yang dimaksud perokok berat? Perokok yang berbobot lebih wow, gitu? Atau aktivitas merokok yang dibarengi dengan aktivitas menggendong kulkas, misalnya? Hehe.

Saya termasuk orang suka merokok lebih dari rata-rata. Setidaknya demikian jika saya bandingkan dengan kebiasaan istri saya merokok. Istri saya, untuk satu bungkus rokok bisa lebih dari tiga hari, baru beli lagi. Walau kadang, jika darurat, mengisap rokok saya juga. Berbeda dengan saya, dalam sehari bisa satu bungkus rokok, kadang lebih.

Bukan apa-apa, satu bungkus sehari saya rasa sudah cukup. Lain hal kalau harus nongkrong bersosial ria di pos ronda. Bisa dipastikan, saban gelar rokok akan tambah berkurang stok rokok sebungkus yang saya bawa. Walhasil, kadang harus beli rokok lagi buat stok santai di rumah.

Baca Juga:  Ade Rai dan Gagal Paham Soal Produk Konsumsi

Saya tidak begitu pasti, apakah saya masuk kategori perokok berat atau bukan. Jika dibandingkan dengan kebiasaan Satpam di lingkungan kami, sehari mendaku lebih dari sebungkus, dan itu reguler. Ada istilah rokok siang ada rokok malam, rokok malam rokok buat jaga, maksudnya.

Tak jarang Satpam kami disebut-sebut perokok berat oleh beberapa warga. Tetap ya dua bungkus setiap hari, katakanlah sebungkus 12 batang, berarti kalau dua bungkus habis 24 batang. Lalu bagaimana dengan orang yang mendaku sehari bisa menghabiskan rokok 50 batang, dilakukan selama 33 tahun seperti yang dilansir sebuah media? Ckckck…

Ajaib banget itu orang, untuk tidak menyebut konyol belaka. Ada ya ternyata, orang merokok lebih dari empat bungkus sehari, layak dapat julukan apa tuh di atas sebutan ‘perokok berat’. Kita sebut saja ‘perokok astaga’.

Nah, menurut lansiran berita itu, perokok astaga ini memilih berhenti merokok atas pertimbangan ekonomi. Dirasa perlu berhemat dengan tidak lagi merokok. Merokok adalah pilihan dewasa, begitupun sebaliknya. Setelah stop merokok, perokok astaga ini kemudian menanggung persoalan baru, berat badannya terus naik.

Baca Juga:  Menjadi Manusia yang Bukan Kalkulator

Ujung-ujungnya, perokok astaga itu menyisipkan semacam pesan sponsor untuk beralih mengonsumsi produk lainnya yang merupakan bagian dari produk Nicotine Replacement Therapy (NRT). Hmm..

Its oke. Mau merokok ataupun tidak merokok, itu hak individu. Agak kurang masuk akal saja sih, ada orang merokok dalam sehari bisa habis 50 batang. Terus beralih mengonsumsi produk terapi berbasis nikotin, tahu sendiri kan, nantinya untuk produk semacam itu ada harganya juga.

Katanya mau berhemat dengan berhenti merokok, kalau ketagihan produk terapi itu (NRT) dan malah beli dan terus beli, terjawab?

Ternyata, apa yang disampaikan Efek Rumah Kaca dalam nyanyian Biru, benar adanya: pasar bisa diciptakan.