Search

Suara Penolakan Revisi PP 109/2012 Dari Senayan

Revisi PP 109/2012 tak henti menuai penolakan, kali ini dari beberapa anggota DPR yang melihat ini semua akan berdampak signifikan bagi IHT. Perhatian ini disampaikan mengingat lagi kondisi masyarakat yang sedang tertekan pandemi.

Seperti yang kita tahu, banyak sektor usaha masyarakat terpukul akibat kondisi pandemi yang tak kunjung teratasi. Pendistribusian vaksin yang belum merata, pembatasan kegiatan masyarakat yang terus diperpanjang. Sehingga menimbulkan berbagai reaksi di masyarakat.

Dalam penolakannya, Anggota Komisi IV DPR RI, Mindo Sianipar, menyatakan bahwa dampak kebijakan tersebut akan lebih dirasakan oleh petani tembakau. Revisi PP tersebut menampakkan kalau kebijakan itu tidak berpihak pada kepentingan petani.

Petani tembakau menjadi pihak yang akan paling dirugikan nantinya, lagipun kondisi pandemi telah memperburuk ekonomi Indonesia. Harusnya, prioritaskan yang lebih urgensi. Untuk itu percepatan penanganan pandemi harus menjadi prioritas utama. “Revisi PP 109 tidak urgen untuk saat ini”, jelas Mindo.

Sebagaimana yang kita tahu, dalam dua tahun terakhir kenaikan tarif cukai telah membuat serapan panen tembakau menurun. Pabrikan mengambil berbagai langkah efesiensi. Itu dari sisi regulasi cukai. Bahkan akan lebih buruk lagi yang dialami petani, jika kebijakan yang dikeluarkan lagi-lagi tidak berpihak.

Baca Juga:  Benarkah Diversifikasi Dapat Menghidupi Petani Tembakau?

Senada dengan Mindo, anggota komisi IV DPR fraksi Demokrat Bambang Purwanto berpendapat revisi PP 109/2012 akan berdampak pada penghasilan masyarakat sehingga berpotensi menjadi masalah baru bagi Pemerintah. Sorotan terpenting adalah monitoring dan efektifitas peraturannya. Hal itu haruslah disikapi dengan cermat dan hati-hati.

Lain halnya dengan Anggota Komisi IV dari fraksi Golkar Firman Soebagyo yang melihat agenda revisi ini sarat dengan kepentingan politik lembaga antitembakau internasional. Agenda besar di baliknya adalah untuk melemahkan sektor unggulan Indonesia.

Seturut pandangan Firman, Indonesia ini bangsa yang berdaulat, negara harus hadir melihat situasi dan kondisi rakyatnya. “Oleh karena itu terkait revisi PP 109, bentuk kehadiran negara harus memberikan rasa adil, memberikan kepastian hukum kepada rakyatnya yang memberikan kepastian lapangan pekerjaan dan membutuhkan peningkatan kesejahteraan hasil tembakau dan hasil dari bekerja di pabrik rokok.

Dalam 2 tahun terakhir ini, IHT memang tengah menghadapi kondisi yang buruk dan kritis. Produksi rokok terus menurun. Bahkan tahun ini diperkirakan produksi bakal turun di kisaran 3.3% itu belum jika dihitung penjualan yang juga merosot. Jika kondisi ini tidak segera berubah, maka para buruh juga akan terancam penghidupannya.

Baca Juga:  Ketika Dana Cukai Diselewengkan Oleh Pemerintah

Apa artinya kalau industri hasil tembakau ini kemudian dimatikan dan tenaga kerjanya kehilangan pekerjaan, Indonesia itu adalah negara yang berdaulat, maka kita tidak lantas harus menjalankan apa yang menjadi kemauan asing itu. Terlebih arahnya jelas merugikan dan mengganggu kepentingan nasional, karena lembaga-lembaga antitembakau ini juga memiliki agenda-agenda terselubung terkait persoalan IHT. Tegas Firman.