Press ESC to close

Aji Mumpung Pemerintah: Perusahaan Rokok Disuruh Bangun 3 Juta Rumah untuk Rakyat Kecil dengan Dalih Tanggung Jawab Sosial

Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman, Maruarar Sirait, mendorong Corporate Social Responsibility (CSR) perusahaan tembakau (pabrik rokok) untuk dialokasikan menjadi pembangunan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Target yang Kementerian PKP kejar adalah 3 juta rumah.

Bermodalkan asumsi bahwa Rp230,9 triliun penerimaan cukai negara dari tembakau adalah 30% dari revenue, maka penerimaan perusahaan tembakau seluruhnya adalah Rp770  triliun.

“Jika perusahaan tembakau komitmen membangun MBR dengan harga Rp220 juta per unit, maka perusahaan tembakau akan dapat membangun 18 ribu rumah gratis per tahun atau 90 ribu rumah gratis,” kata Direktur Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Salamuddin Daeng di RMOL.id pada Rabu (25/3/2025).

Daeng menekankan, kemampuan perusahaan tembakau untuk masuk dalam program tiga juta rumah terutama dengan program CSR sangatlah besar. Ini dapat diukur dari kontribusi perusahaan raksasa tembakau Indonesia terhadap penerimaan negara dalam bentuk cukai dan pajak lainnya.

Dipertebal dengan fakta penerimaan cukai tembakau adalah yang terbesar dalam APBN ketimbang kelompok penerimaan apapun yang ada di APBN.

Bagaimana jika membuat rumahnya di Jogja?

Harga rumah di Jogja benar-benar mahal. Harga satu rumah di Bantul yang bisa dibilang jauh dari pusat kota sudah mencapai setengah miliar.

Itu rumah berisi dua kamar tidur saja, alias minimalis. Tak heran jika salah satu kritikan yang paling sering terlontar untuk pemerintah Jogja, selain UMR, adalah harga properti yang makin menggila dan seakan dibiarkan liar.

Melansir Mojok.co, perkiraan harga Rp250 juta sudah bisa dapat rumah di Jogja, asalkan sudah punya tanahnya. Sementara perhitungan Daeng Rp220 juta per unit. Dari mana uang sisanya?

Baca Juga:  Review Rokok Djarum Black Cappuccino, Inovasi Sukses dari Sang Maestro

Cukai tembakau bukan untuk program politis pemerintah

Kementerian Keuangan (kemenkeu) menyebut memfokuskan serapan Dana Bagi Hasil Cukai Tembakau (DBCHT) untuk perbaikan sarana prasarana kesehatan.

Mulai dari pembangunan sejumlah rumah sakit, alat-alat kesehatan, pengadaan dan perbaikan puskesmas, posyandu, penanganan stunting, perbaikan kesejahteraan petani dan buruh, serta pemberantasan rokok ilegal.

Proyeksi Kemenkeu itu saja masih belum terlihat hasilnya. Apalagi jika cukai rokok diserobot juga oleh kementerian PKP.

Isu tersebut memang bukan sekali saja terjadi. Banyak pihak dari pemerintah ingin memakai uang cukai rokok. Wacana sebelumnya cukai rokok juga mau dipakai untuk makan bergizi gratis.

CSR memang kewajiban, tapi pabrik rokok bukan sapi perah negar

Bagi perusahaan swasta, CSR adalah hal wajib sebagaimana UU 40/2007 tentang Perseroan Terbatas Pasal 1 Ayat 3: bahwa tanggung jawab sosial dan lingkungan adalah bentuk komitmen Perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi Perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya.

Pabrik rokok sudah menjalankan amanat tersebut. Bahkan bisa dibilang sudah menggantikan peran negara. Karena sebelum beberapa program CSR dari pabrik rokok, seyogianya negara lebih dulu hadir. Nyatanya negara sering luput.

Sebut saja, PT Djarum yang telah melaksanakan program CSR dalam bentuk Djarum Foundation: Bakti Lingkungan Djarum Foundation, Bakti Olahraga, Bakti Pendidikan, Bakti Sosial, hingga Bakti Budaya.

Begitu juga dengan program-program CSR Gudang Garam, seperti  pembangunan dan/atau perbaikan fisik, program bantuan sosial, program perayaan hari besar dan kegiatan keagamaan, program lingkungan hidup, program olahraga, dan program pendidikan.

Baca Juga:  Boleh Merokok yang Penting Tahu DIri

Semua CSR tersebut dilaksanakan secara serius. Tidak hanya formalitas belaka. Dampaknya pun terasa nyata.

Pabrik rokok: cukainya diminati, industrinya dikebiri

Industri Hasil Tembakau (IHT) selalu dianggap ekosistem perusak kesehatan dan moral bangsa. Tetapi pemerintah juga selalu tergiur dengan cukainya.

Maka, seharusnya pemerintah memperhatikan dan mempedulikan IHT. Yang terjadi, cukai melambung tinggi, rokok ilegal tidak diberantas, kebutuhan ruang merokok tidak merata (sekalipun ada tapi tidak layak), petani banyak yang tidak sejahtera.

Seharusnya, kalau pemerintah memang mau cukai dari tembakau, dukung dulu industrinya. Memangnya pabrik rokok dapat uang dari mana? Lah kalau industrinya macet, atau bahkan mati, maka pemerintah juga tidak akan menikmati cukainya.

Jika pemerintah terus menekan melalui regulasi yang tidak memihak IHT, seperti harga jual eceran (HJE) dan isu bungkus polos, maka IHT tidak akan bertahan lama dan segera menemui ajalnya.

Mata rantai ekonomi pun akan terputus: banyak buruh akan terkena PHK, dan banyak petani yang akan kehilangan sumber pencahariannya untuk memenuhi kebutuhan perutnya.

Juru Bicara Komunitas Kretek, Rizky Benang

BACA JUGA: Betapa Pentingnya PT Djarum Bagi Pembangunan Kudus

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *