Press ESC to close

Antirokok Ajak Tak Menormalisasi Aktivitas Merokok karena Bisa Ditiru Anak-anak, Padahal Ada Loh Solusi yang Lebih Fair

Direktur Program Indonesia Institute for Social Development (IISD) Ahmad Fanani mengusulkan, aktivitas merokok seharusnya di-denormalisasi melalui kebijakan, dalam rangka melindungi anak-anak agar tidak menjadi perokok.

Ada banyak faktor kenapa anak-anak menjadi perokok. Selain–katanya–karena paparan iklan, juga karena budaya masyarakat Indonesia sudah kadung menormalisasi rokok. Banyak orang dewasa yang merasa biasa saja mengisap rokok di depan umum, sekalipun di depan anak-anak, tanpa khawatir hal tersebut akan memicu anak untuk meniru.

Merokok adalah pilihan, rokok masih legal

Hingga saat ini rokok adalah produk legal selama mematuhi regulasi yang berlaku. Di Indonesia, industri tembakau diatur oleh UU No. 39 Tahun 2007 tentang Cukai dan PP No. 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif.

Rokok boleh diproduksi, dijual, dan dikonsumsi oleh orang dewasa (umumnya di atas 21 tahun) dengan pembatasan seperti larangan iklan di tempat umum, peringatan kesehatan pada kemasan, dan pembatasan penjualan kepada anak di bawah umur.

Jika mau men-denormalisasi rokok, silakan saja usulkan kepada negara: Tutup pabrik rokok, jadikan rokok sebagai produk ilegal.

Dengan begitu, merasa biasa saja/normal-normal saja saat mengisap rokok di tempat umum pun sebenarnya tidak masalah.

Baca Juga:  Efek Merokok Pada Penampilan

Maka jika takut anak-anak meniru, perlu ada regulasi yang akomodatif, bukan serta merta men-denormalisasi merokok. Karena sekali lagi, rokok masih legak.

Logika sederhana untuk mencari solusi

Dalam konteks merokok di ruang publik, putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 57/PUU-IX/2011 sudah jelas menyebut bahwa tempat umum wajib menyediakan tempat merokok.

Persoalannya, pemangku kebijakan seperti Pemerintah Daerah (Pemda) tidak mengakomodir kebutuhan tersebut. Ada yang tidak sama sekali memberi area merokok khusus. Kalau toh menyediakan, sering kali tidak memadai: misalnya terlalu sempit.

Jika keresahannya dalam konteks merokok di lingkup kecil, misalnya merokok di rumah, bukankah itu tinggal kompromi saja?

Contoh, jika merokok di rumah hanya boleh di teras saja, atau jika setelah merokok harus ganti baju sebelum beranjak tidur.

Jika hak tersebut sudah terpenuhi, perokok dewasa pun harus memiliki kesadaran untuk tidak merokok di depan anak-anak. Yang Fanani persoalkan kan itu: orang dewasa leluasa merokok di depan anak-anak sehingga berpotensi membuat anak-anak meniru.

Jika itu masalahnya, maka tinggal bagaimana perokok menahan diri untuk tidak merokok di depan anak-anak. Bukan malah men-denormalisasi sebuah produk legal.

Baca Juga:  Bernapas Di Samping Orang Merokok Berbahaya?

Selebihnya adalah tanggung jawab bersama untuk mengontrol anak-anak agar tidak menjadi perokok jika masih belum memenuhi syarat usia. Keluarga harus mengontrol, sekolah harus mengedukasi, bahkan warung yang menjual rokok pun jangan sampai melayani jika ada anak-anak di bawah membeli rokok.

Mungkin ada yang berfikir: Malah makin ribet. Tapi ketahuilah, keribetan itu bersumber dari keribietan mempermasalahkan aktivitas konsumsi terhadap produk yang jelas-jelas masih legal.

Juru Bicara Komunitas Kretek, Rizky Benang

BACA JUGA: Perokok Anak Tinggi: Jangan Warung yang Dilarang Jualan Rokok, Tapi Fokuslah Mengontrol Si Anak

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *