Press ESC to close

Ironi Kecil tentang Kopi, Rokok, dan Asal Usul

Toraja adalah sebuah kota kebudayaan yang terletak di Sulawesi Selatan, sekitar 300 KM dari kota Makassar. Selain kebudayaan, yang terkenal dari Toraja adalah kopi. Spesies kopi arabica yang punya cita rasa khas, Toraja.

Menurut sejarah, pada tahun 1750, kopi pertama kali ditanam di Toraja. Meskipun pada masa perang dunia kedua, kopi toraja sempat dikabarkan musnah akibat karat daun yang menyerang hampir seluruh kultivar typica. Itu menyebabkan kopi toraja – termasuk kopi yang ada di Jawa, Sumatera, dan daerah penghasil kopi lainnya hampir hilang.

Tapi rasanya saya tidak menghormati kopi jika tidak membahas rokok. Rokok bagi sebagian orang – termasuk saya, adalah satu kesatuan. Ungkapan tidak ada kopi, tidak ada rokok berlaku. Meskipun saya bukan penikmat kopi level ketagihan, tapi kopi tanpa rokok itu seperti shalat tapi tidak berwudhu.

***

Seperti anak kecil pada umumnya, saya berpendapat bahwa kopi itu adalah minuman khas orang dewasa yang belum pantas diminum oleh anak kecil. Tapi setelah saya masuk di pesantren dan bertemu dengan Victor – seorang muallaf dari Toraja, saya mulai mengenal kopi.

Kebetulan saya menghabiskan masa SMA di pesantren dan Victor adalah pindahan salah satu sekolah di Toraja. Tradisi minum kopi bagi kami itu dimulai sejak Victor membawa sebungkus besar kopi torja. Menggunakan perlengkapan yang seadanya, kami memasak air panas dan mendidihkan air hingga cukup panas untuk melarutkan kopi.

Dengan bantuan minyak kelapa yang disimpan di atas piring besi dan gumpalan kertas, api dibakar di kertas itu dan mampu bertahan lama. Lumayanlah untuk memanaskan air hingga mendidih. Gelas besi besar yang berisi air yang disimpan di atas api itu.

Baca Juga:  Ragam Tempat Rokok dan Korek Keren

Saya mengakui kecerdasan Victor dalam meracik kopi. Ia bahkan marah jika salah seorang dari kami membantunya. Katanya, kopi itu kehilangan cita rasa jika dikerjakan bersama. Yah, meskipun saya tidak percaya tapi rasa kopi yang Victor buat memang sangat khas.

Setelah kopi selesai, kami menuangnya dalam satu gelas besar. Berapapun jumlah kami – yang ikut majelis malam asrama, gelas besar itu selalu cukup. Tapi ada pengalaman baru yang saya dapatkan. Setelah menyeduh kopi, kami menggigit kecil gula merah. Yah gula merah. Rasa pahit kopinya terasa sangat alami.

Beberapa orang di antara kami ada yang merokok. Saat saya menulis bagian ini, rasa takut jika kedapatan sama pembina asrama masih terasa.

Bermula dari lingkaran ini banyak cerita dan pengalaman yang saling bertukar. Membahas banyak hal, agama, kebudayaan, sejarah, mitos, kisah horror, bahkan sampai pengalaman bersama perempuan.

Bagian yang paling seru adalah saat salah seorang dari kami bercerita tentang siapa perempuan yang ia suka dan kami dengan bebas memberi saran. Pernah sekali, kami bermain jujur berani. Kami semua menulis di kertas siapa perempuan yang ingin kami tiduri. Salah seorang teman ternyata menulis nama perempuan yang disuka oleh teman saya. Mampus. Tentu ini adalah masalah. Tidak terima nama perempuannya ditulis, dia berdiri dan memukul teman saya. Sejak itu majelis malam asrama terhenti.

Itu terjadi saat saya masih kelas dua SMA, menjelang ujian akhir di kelas tiga. Suatu malam Victor seorang diri menanak air dan menyeduh kopi toraja. Satu persatu kami datang. Tanpa aba-aba. Tanpa undangan. Tiba-tiba suasana mencair. Ahmad yang sudah berbulan-bulan berhenti merokok lari ke pagar samping asrama dan keluar membeli rokok. Aroma kopi dan asap rokok bersatu.

Baca Juga:  Jangan Coba-coba Boikot Rokok

***

Saya merasa kisah ini tidak ada hubungannya dengan bagaimana cara kita menikmati kopi dan rokok. Yang jelas, bahwa rokok dan kopi adalah satu kebudayaan yang dibangun dari narasi-narasi  yang panjang. Yang melalui proses kebudayaan yang melewati batas ruang dan waktu.

Setidaknya, kita harus tahu, kopi dan rokok yang kita nikmati itu asal usulnya dari mana. Apakah kopi dan rokok yang kita nikmati dari hasil keringat buruh ini tidak mengandung unsur keharaman. Atau apakah kopi dan rokok yang kita nikmati ini sudah sesuai dengan apa yang ditulis di kemasannya. Jangan-jangan kopi toraja tapi ternyata isinya hanya kopi jenis biasa. Serta beberapa asal usul lain yang harus kita ketahui.

Tentu saya tidak bermaksud untuk mengajak kita semua menjadi seorang pendakwah, tapi ada kalanya dengan mengetahui sejarah sesuatu, kita bisa semakin mencintainya.

Ibe S Palogai
Latest posts by Ibe S Palogai (see all)

Ibe S Palogai

Lahir di Takalar 07 Juli 1993. Saat ini menetap di Makassar. Selain tekun bergiat di Komunitas Kretek Makassar, saat ini juga sementara menyelesaikan studi yang entah kapan selesai.