Press ESC to close

Musuh Utama Perokok

Seringkali perokok dihadapkan pada satu masalah perihal aktivitas merokoknya, terutama ketika di ruang publik, yakni ketidaktersediaan ruang merokok. Walhasil, tak sedikit perokok yang harus keluar gedung terlebih dahulu atau masuk ke dalam kafe tertentu untuk bisa merokok. Adapula yang dengan cueknya merokok pada kawasan yang dilarang, hingga akhirnya tak jarang kena tegur petugas, yang kadang menimbulkan percekcokan. Artinya, sebagai konsumen produk legal, nasib perokok jauh dari kata beruntung dibanding mereka yang mengonsumsi produk lain yang memiliki risiko setara.

Jika kita ketik satu kata kunci “rokok” saja melalui mesin pencarian google, sederet berita maupun tulisan lepas perihal sisi negatif rokok demikian mengemuka. Iya perilaku perokoknya, juga nasib orang lain yang dianggap terdampak. Selain itu, tampil pula pemerintah daerah beserta Perda KTR-nya yang kerap kebablasan. Hal-hal tersebut kemudian seperti menjadi hidangan informasi generik yang demikian berulang hingga saya merasa, apa bedanya media semacam itu dengan warteg?

Dari itu semua, apa yang dilakukan perokok dengan rokoknya terbingkai selalu layaknya tindak kriminal yang harus diperangi. Sementara kejahatan terselubung di balik itu, misalnya soal tafsir manasuka yang dilakukan rezim kesehatan atas peruntukan DBH-CHT, jauh dari ekspos media. Iya paling tidak, harusnya media turut mengabarkan berapa besaran dana dari DBH-CHT yang digunakan Kementrian Kesehatan untuk kampanye memerangi rokok dari lalu.

Baca Juga:  Indro Warkop dan Fenomena Perokok Hijrah

Padahal seperti yang juga kerap ditekankan oleh Komunitas Kretek, mestinya ada sikap progresif dari pemerintah dan para pihak untuk segera menyikapi pengadaan ruang merokok di Kawasan Tanpa Rokok. Tetapi hal itu terus dibiarkan sebagai harapan. Agaknya malah perang terhadap perokok sajalah yang terus lestari. Seakan-akan amanat Undang-undang terkait kewajiban pengadaan ruang merokok tak teragendakan sebagai yang krusial.

Jadi, dari gambaran di atas dan berpijak dari yang teralami, musuh utama yang dihadapi perokok tak lain adalah sikap diskriminatif. Terutama dari mereka yang sesat nalar dalam memaknai hak, iya hak sebagai konsumen juga hak sebagai warga negara.

Dan memang diskriminasi terhadap pilihan bebas itu bukan hanya terjadi pada perokok. Pada kehidupan beragama pun tak kalah kompleks. Kepenganutan yang dianggap tak sebangun dengan kepentingan politik tertentu juga diperangi. Kondisi semacam itu sepertinya sengaja dipelihara agar kontrak kerja antara negara dan rakyat senantiasa ada terlihat. Agar bisnis keamanan dan bisnis kebijakan tetap berjalan tokcer. Rakyat terbelah dan diklasterisasi oleh isu-isu yang mengusik keharmonisan hidup berbangsa. Mulai dari perkara kepenganutan sampai pilihan konsumsi.

Baca Juga:  Tolak Inter-Tabac 2014, Save Kretek

Wajar saja jika akal sehat kita akhirnya mempertanyakan, bagaimanakah sesungguhnya negara memandang rasa keadilan? Tidak hanya rasa keadilan bagi perokok. Jika memang itu semua untuk kepentingan kesehatan publik, mestinya pada persoalan produk konsumsi lain pun diposisikan sama.

Jibal Windiaz

anak kampung sebelah