Press ESC to close

Andil Mikrofon Gunawan Untuk Kemerdekaan

Mikrofon yang digunakan pada pembacaan teks proklamasi oleh Bung Karno dan Bung Hatta pada 17 Agustus 1945, tepatnya 70 tahun silam, jelas bukanlah mikrofon hasil curian dari Belanda atau Jepang. Jika ada orang yang terlanjur percaya hoax usang semacam itu semoga tercerahkan setelah membaca artikel ini.

Pemilik mikrofon bersejarah itu adalah Gunawan dari Radio Satrija. Yang rumah sekaligus tempat usahanya berada di Jl. Salemba Tengah No. 24, Jakarta. Gunawan membuat semua itu sendiri. Corongnya, standar (tiang mic), amplifier band-nya juga dibuat dari zilverpapier (selubung rokok).  Tak banyak orang yang tahu kalau grenjeng rokok (zilverpapier) termasuk unsur yang didaya-gunakan pada mikrofon bersejarah itu.

“Semuanya itu adalah hasil kecerdasan otak dan keterampilan tangan seorang Indonesia, yang bernama Gunawan itu,” tulis Sudiro (sekretaris pribadi Ahmad Soebardjo) dalam buku Pengalaman Saya Sekitar 17 Agustus 1945.

Pada 17 Agustus 1945, pagi-pagi betul kediaman Gunawan didatangi dua orang sekira berusia 35 tahun, keduanya turun dari mobil. Kemudian menyampaikan maksud kedatangan mereka untuk meminjam seperangkat mikrofon. Keduanya tidak menerangkan kepada Gunawan untuk keperluan apa mikrofon itu.

Kedua orang utusan tersebut adalah Wilopo dan Nyonoprawoto. Wilopo waktu itu bekerja di Balai Kota sebagai pembantu pak Suwirjo. Lantaran keduanya terbilang bukan yang ahli memasang barang semacam itu. Gunawan menyuruh seorang anggota keluarganya, pemuda berusia 21 tahun yang juga cukup ahli untuk ikut membantu mereka.

Baca Juga:  Atlet Merokok itu Biasa; Fakta Tour de France 1920

Barulah di dalam mobil, pemuda 21 tahun yang bernama Sunarto itu diberi tahu, perihal guna mikrofon itu untuk melantangkan Proklamasi Kemerdekaan. Sunarto inilah yang memasang mikrofon di Gedung Pegangsaan Timur 56 pada tanggal 17 Agustus 1945.

Tanpa bertele-tele, standar (tiang mic) didirikannya di ruang depan yang terbuka, dan amplifier diletakkan Sunarto di dalam kamar depan sebelah kiri ruang terbuka itu. Setelah beres digunakan, siang itu juga mikrofon diserahkan kembali oleh Wilopo kepada Gunawan.

Pada waktu dibawanya ke Pegangsaan Timur maupun pada waktu dibawa kembali ke Salemba Tengah, mikrofon tersebut seakan-akan mendapat ‘salvo kehormatan’ dari tentara Jepang, menurut keterangan Sunarto. Tembakan senapan itu terdengar di depan RS UP dan di depan Ika Daigaku (Sekolah Kedokteran UI sekarang). Tidak tersiar kabar adanya jatuh korban akibat dari suara tembakan senapan itu. Boleh jadi hanya semacam tembakan ‘gertakan belaka’.

Di kemudian hari ternyata mikrofon itu masih punya peranan lebih. Setelah dibawa hijrah pemiliknya ke Solo pada awal tahun 1946. Mikrofon tersebut disimpan utuh oleh keluarga Gunawan. Hanya kadang-kadang suka ditunjukan kepada sahabat-sahabatnya dan tidak pernah digunakan lagi.

Baca Juga:  Karya Seni dari Abu Rokok

Pada akhir tahun 1949, memenuhi anjuran pemerintah RI, keluarga Gunawan kembali lagi ke Jakarta. Mikrofon bersejarah itu dibawanya, amplifier-nya telah rusak, dan ditinggal di Jogja. Berkali-kali barang yang mempunyai nilai sejarah itu telah ditawar orang untuk dibeli, tetapi Keluarga Gunawan selalu menolaknya.

Mikrofon beserta standarnya tanpa amplifier lagi itu, telah diminta oleh Harjoto, waktu itu Sekjen Kementerian Penerangan, dengan perantaraan Darmosugondo untuk diserahkan kepada Presiden, agar disimpan di dalam Monas (Monumen Nasional).

Bisa dibayangkan apa jadinya jika tidak ada pengeras suara buatan Gunawan pada waktu itu di tengah mendesaknya kehendak revolusi. Meski tanpa pengeras suara pun proklamasi akan tetap dibacakan. Tetapi andil ‘kreatifitas Gunawan’ pada waktu itu dapatlah menjadi kacamata baca kita akan sebuah kemerdekaan; tidak ada bangsa yang merdeka tanpa imajinasi dan daya kreasi. Dirgahayu bangsaku!

Jibal Windiaz

anak kampung sebelah