Press ESC to close

Agar Negara Senantiasa Makmur Belilah Rokok Bercukai

Perokok adalah konsumen yang memberi pemasukan bagi kas negara dari tiap batang rokok yang dihisapnya. Triliunan rupiah uang diterima negara dari tiga komponen pajak yang terserap dari produk legal tersebut. Berbeda dengan produk konsumsi lain yang tidak dikenakan cukai. Sejak dulu rokok diposisikan sebagai produk konsumsi yang membahayakan kesehatan. Tidak hanya pada rokok, produk beralkohol juga dikenakan sin tax atau cukai

Dari serapan tiga komponen pajak pada rokok, yakni cukai, PPN, dan PDRD (Pajak Daerah Retribusi Daerah) yang masuk ke dalam APBN itulah yang dipakai untuk mengongkosi keberlangsungan pembangunan, beberapa waktu lalu bahkan dari cukai rokok juga uang para perokok itu mampu menambal defisit anggaran BPJS-Kesehatan.

Tidak keliru juga kalau para perokok digadang-gadang juga sebagai pahlawan devisa. Namun yang perlu kita ketahui lagi, dari sekian banyak jenis rokok yang beredar di pasaran, terdapat golongan rokok yang disebut “rokok ilegal”. Kenapa disebut ilegal? Dari sisi pemerintah dinilai karena tidak bercukai. Kenapa tidak disebut saja “rokok tak bercukai”? Yang artinya disebut ilegal karena tidak membayar pajak dosa kepada pemerintah. Ini perkara pertama kenapa masih marak peredaran rokok tak bercukai itu di pasaran. Iya tentu bagi industri kecil tarif cukai rokok yang naik terus tiap tahun memberi dampak yang cukup serius.

Baca Juga:  3 Alasan Kita Harus Berhenti Merokok di Bulan Ramadhan

Iya memang fungsi cukai pada rokok menjadi alat kontrol sekaligus penjamin dari pemerintah, bahwa rokok tersebut telah memenuhi ketentuan yang berlaku. Paling tidak publik jadi tahu kalau produk itu terdaftar perusahaannya dan memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan. Namun kenaikan tarif cukai tiap tahun ini jelas memberi pukulan yang sangat berarti bagi sekian pabrikan skala rumahan.

Dan yang kedua, adanya beleid soal luas bangunan yang tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 200/2011 tentang Lahan Industri Rokok, dari minimal 50 m2 menjadi 200 m2. Dua perkara itu juga yang kemudian mengakibatkan jumlah pabrik rokok rumahan di Malang yang tadinya sebanyak 370 pabrik menjadi tinggal 70 pabrik tersisa.

Bukan tidak mungkin jika pada akhirnya untuk tetap memenuhi target penghidupan, pabrik yang sudah bertumbangan itu menempuh cara ilegal yang tidak dibenarkan pemerintah, yang artinya tidak membeli pita cukai untuk sejumlah batang rokok yang mereka produksi. Di lain itu, maraknya penggunaan pita cukai palsu juga memberi perseden buruk, cara ini juga tak jarang ditempuh untuk mengaburkan pengawasan pemerintah.

Baca Juga:  Bungkus Rokok dan Gambar Yang Tak Membuat Takut

Nah, bagi sebagaian konsumen rokok, tentu dalam melihat perkara ini menjadi ikut miris dan dilematis. Di satu sisi kita juga tidak ingin negara mengalami kerugian karena maraknya peredaran rokok tak bercukai yang murah harga ecerannya itu. Di lain hal, harga rokok di pasaran juga semakin mahal saja di tingkatan ritel. Meski sebetulnya kerugian terbesar negara bukan disebabkan oleh peredaran produk tak bercukai, melainkan perilaku koruptif yang dilakukan kaum elit. Namun halnya pelaku usaha yang melakukan tindakan ilegal itu bisa disetarakan pula telah berlaku koruptif kepada negara. Jika memang kita para perokok ini adalah pahlawan devisa, tentu pilihan kita membeli yang dapat memakmurkan negara. Meski pada akhirnya itu berpulang pada pilihan sikap masing-masing. Monggo.

Thohirin

Thohirin

Mahasiswa UIN Jakarta, aktif di Lembaga Pers Mahasiswa Institut